Dalam dekade terakhir, dunia menyaksikan transformasi budaya pop yang begitu cepat, dipelopori oleh generasi muda yang dikenal dengan sebutan Gen-Z. Generasi ini, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam lanskap digital yang terhubung, cepat, dan penuh tekanan. Salah satu respons paling mencolok terhadap tekanan tersebut adalah kecenderungan mereka untuk menjadikan hiburan seperti musik, drama Korea (K-Drama), dan konser sebagai coping mechanism. Fenomena ini bukan sekadar tren budaya pop, tetapi juga cerminan dari dinamika psikososial yang kompleks di tengah kehidupan Gen-Z.
Gen-Z hidup dalam realitas yang sering kali paradoksal: serba terkoneksi namun merasa terisolasi, terbuka terhadap perubahan namun dihantui ketidakpastian masa depan. Di tengah tekanan akademik, tuntutan produktivitas, krisis iklim, hingga kecemasan ekonomi, mereka mencari tempat yang aman dan nyaman untuk melarikan diri — dan di sinilah musik, K-Drama, serta konser memainkan peran penting. Musik, misalnya, bukan hanya hiburan. Bagi Gen-Z, ia adalah bahasa emosional yang mampu memvalidasi perasaan mereka. Lirik-lirik yang jujur, nada yang melankolis, atau irama yang membangkitkan semangat bisa menjadi semacam terapi emosional. Band atau musisi seperti BTS, Taylor Swift, hingga NIKI, misalnya, tak hanya digemari karena musikalitasnya, tapi juga karena narasi emosional yang menyentuh dan terasa personal bagi pendengarnya.
Begitu juga dengan drama Korea. K-Drama bukan hanya hiburan visual, tapi media pelarian yang menawarkan cerita-cerita emosional, karakter yang relatable, dan sinematografi yang indah. Dalam narasi-narasi drama Korea, Gen-Z menemukan representasi konflik internal mereka: pencarian identitas, trauma keluarga, perjuangan meraih mimpi, dan relasi yang kompleks. Drama-drama seperti It's Okay to Not Be Okay, Reply 1988, atau Twenty-Five Twenty-One tak hanya ditonton untuk hiburan, tapi juga sebagai cermin kehidupan.
Jika musik dan K-Drama adalah pelarian personal, maka konser adalah bentuk katarsis emosional kolektif. Konser menghadirkan ruang di mana individu bisa merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dalam kerumunan yang menyanyikan lagu yang sama, menyalakan lightstick bersama, atau menangis saat musisi idola menyampaikan pesan penuh empati, Gen-Z menemukan rasa keterhubungan yang selama ini hilang dalam dunia maya yang soliter. Bagi banyak anak muda, menghadiri konser bukan sekadar menonton musisi tampil — itu adalah momen afirmasi eksistensial. Mereka merasa dilihat, didengar, dan menjadi bagian dari komunitas yang memahami mereka. Dalam dunia yang sering kali membuat mereka merasa asing, konser menjadi tempat di mana mereka bisa "pulang".
Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah ini benar-benar mekanisme koping yang sehat, atau sekadar bentuk pelarian (escapism) dari realitas yang terlalu menyakitkan? Di satu sisi, menjadikan musik, drama, dan konser sebagai cara untuk mengatur emosi adalah hal yang valid. Dalam psikologi, coping mechanism merupakan respons adaptif yang membantu individu mengatasi stres dan tekanan. Bila dilakukan secara seimbang, hal ini bisa mencegah depresi, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kesehatan mental. Namun, jika ketergantungan pada hiburan ini menjadi satu-satunya cara bertahan, dan menghalangi individu dari menghadapi akar masalah yang sebenarnya, maka ia berpotensi menjadi escapism yang tidak sehat. Ketika seseorang menonton drama berjam-jam demi menghindari kecemasan, atau mengejar konser ke berbagai kota sebagai pelarian dari perasaan hampa, kita patut bertanya: apa yang sebenarnya sedang dicari?
Kita juga tidak bisa menutup mata pada bagaimana algoritma media sosial, budaya konsumsi instan, dan ekonomi perhatian turut memperkuat fenomena ini. Gen-Z dibombardir oleh konten-konten yang mengarahkan mereka untuk merasa bahwa "healing" bisa dibeli — lewat tiket konser, langganan platform streaming, atau merchandise idola. Industri hiburan mengambil peran ganda: sebagai penyedia pelipur lara dan sebagai entitas ekonomi yang mengeksploitasi kerentanan emosional audiensnya. Ironisnya, dalam upaya mencari ketenangan, banyak Gen-Z justru terjebak dalam siklus FOMO (fear of missing out), perbandingan sosial, dan tekanan untuk terus mengikuti tren agar tetap relevan secara sosial. Konser yang seharusnya menjadi ruang pembebasan bisa berubah menjadi ajang status sosial. Musik yang seharusnya menjadi penghibur bisa menjadi pemicu tekanan, ketika algoritma hanya memunculkan lagu-lagu yang mempertegas kesedihan.
Maka penting bagi Gen-Z — dan juga masyarakat luas — untuk menyadari batas tipis antara coping yang sehat dan pelarian yang melelahkan. Musik, drama, dan konser memang bisa menjadi bagian dari perjalanan penyembuhan, tetapi mereka sebaiknya bukan satu-satunya jalan. Mengembangkan kesadaran diri, membangun koneksi sosial yang nyata, serta mencari bantuan profesional ketika dibutuhkan tetap menjadi fondasi penting dalam merawat kesehatan mental. Selain itu, pendekatan edukatif dari sekolah, keluarga, dan media tentang pentingnya literasi emosional perlu lebih digalakkan. Ketimbang hanya menganggap kecintaan Gen-Z pada K-Drama dan konser sebagai tren, akan lebih bijak jika kita memaknainya sebagai sinyal: bahwa generasi ini sedang mencari tempat aman untuk merasa, untuk didengar, dan untuk menjadi diri mereka sendiri.
Fenomena kegandrungan Gen-Z terhadap musik, drama Korea, dan konser bukanlah sesuatu yang terjadi dalam ruang hampa. Ia muncul sebagai respons terhadap tekanan zaman yang begitu besar, dan menjadi cara unik generasi ini dalam bertahan. Kita tidak perlu menghakimi, namun justru perlu memahami. Karena di balik layar ponsel yang memutar drama hingga larut malam, atau di balik jeritan histeris saat idola muncul di panggung konser, tersembunyi kisah-kisah pencarian makna dan ketenangan — yang mungkin sedang kita perjuangkan juga.
Biodata Penulis:
Nadia Widyadhana Puspita Nugroho, lahir pada tanggal 8 Januari 2007 di Surakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @lallaboahh