Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Fenomena Ketindihan (Sleep Paralysis): Telaah Teoretis dari Aspek Neurologis dan Spiritualitas Keagamaan

Pemahaman terhadap ketindihan (Sleep Paralysis) sebagai fenomena yang memiliki penjelasan ilmiah sangat penting untuk menghindari rasa takut yang ...

Sleep paralysis atau ketindihan adalah kondisi saat seseorang sudah sadar dari tidur, tetapi tidak bisa menggerakkan tubuhnya maupun berbicara, seolah-olah tubuhnya terkunci. Gangguan ini bisa dialami oleh siapa saja, tanpa memandang usia atau kondisi fisik. Saat ketindihan, banyak orang merasakan hal-hal aneh seperti melihat bayangan hitam, mendengar suara yang tidak jelas, atau merasa ada sesuatu yang menekan tubuh (Adawiyah & Dodi, 2024).

Dalam (Halodoc), ketindihan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu gangguan pola tidur. Ketidakmampuan tubuh untuk beristirahat dengan baik ini dapat meningkatkan risiko terjadinya ketindihan. Selain itu, gangguan mental seperti stres, dan tekanan psikologis dapat memperburuk kondisi tersebut karena memengaruhi kualitas tidur dan kestabilan sistem saraf. Tidak hanya itu, posisi tidur juga dapat memicu terjadinya sleep paralysis, sehingga menjaga pola tidur yang konsisten dan mengelola stres menjadi sangat penting untuk mencegahnya.

Fenomena Ketindihan (Sleep Paralysis)

Secara neurologis, ketindihan terjadi karena tubuh secara alami mengalami kelumpuhan otot saat memasuki fase tidur Rapid Eye Movement (REM). Pada fase ini, otak menghentikan kerja saraf penggerak otot menggunakan zat kimia seperti GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan glisin, agar tubuh tidak bergerak mengikuti mimpi. Mekanisme ini berfungsi melindungi tubuh dari gerakan tak terkendali yang bisa terjadi saat bermimpi. Ketindihan terjadi ketika kesadaran bangun lebih dulu dibanding pemulihan fungsi otot, sehingga tubuh terasa lumpuh. Dalam kondisi ini, bagian otak seperti amigdala yang mengatur rasa takut masih aktif, dan sering kali memicu halusinasi, meski sebenarnya ini bisa dijelaskan secara medis (Yuda et al., 2023).

Dalam pandangan Islam, fenomena ketindihan sering dikaitkan dengan gangguan makhluk halus. Hal ini dipercaya sebagai bagian dari ujian atau cobaan yang diberikan Allah SWT untuk menguji kekuatan iman dan kesabaran seorang hamba. Beberapa ulama meyakini bahwa jika seseorang mengalami ketindihan, hal itu bisa menjadi tanda peringatan bahwa dirinya sedang jauh dari perlindungan Allah. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa pengalaman ini justru bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat ketakwaan dan mendekatkan diri kepada Allah (Susilo & Jenuari, 2025).

Banyak individu yang pernah mengalami fenomena ketindihan melaporkan perasaan takut yang intens akibat ketidakmampuan untuk menggerakkan tubuh. Dalam kondisi tersebut, tidak jarang mereka merasakan tekanan di bagian dada seolah-olah ada beban yang menindih tubuh. Beberapa juga melaporkan mendengar suara-suara aneh atau melihat sosok bayangan gelap di sekitar mereka. Pengalaman semacam ini sering menimbulkan kecemasan yang berkelanjutan dan mengganggu kualitas tidur, sehingga penderitanya menjadi lebih waspada dan takut untuk tidur kembali.

Untuk mengurangi kejadian ketindihan, banyak orang berupaya memperbaiki pola tidur dengan menjaga durasi dan keteraturan waktu tidur. Disarankan pula untuk menghindari posisi tidur telentang karena posisi ini dianggap dapat memicu terjadinya ketindihan. Di samping itu, praktik spiritual seperti berdoa atau mengingat Tuhan sebelum tidur kerap dilakukan guna memperoleh rasa aman. Apabila ketindihan terjadi secara berulang dan mengganggu aktivitas harian, beberapa individu memilih untuk berkonsultasi dengan tenaga medis, seperti dokter atau psikolog. Langkah-langkah ini terbukti dapat mengurangi frekuensi dan dampak psikologis dari pengalaman tersebut.

Pemahaman terhadap ketindihan sebagai fenomena yang memiliki penjelasan ilmiah sangat penting untuk menghindari rasa takut yang berlebihan. Pengetahuan ini memungkinkan seseorang untuk tidak semata-mata mengaitkan ketindihan dengan hal-hal mistis, melainkan melihatnya sebagai reaksi biologis yang dapat dijelaskan secara rasional. Dengan demikian, individu yang mengalaminya dapat bersikap lebih tenang dan memahami strategi penanganan yang tepat, baik melalui pendekatan medis maupun berdasarkan keyakinan pribadi. Selain itu, berbagi pengalaman dengan orang lain juga dapat memberikan dukungan emosional dan mengurangi rasa kesendirian.

Oleh karena itu, mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dan nilai-nilai keagamaan dalam menghadapi ketindihan dapat menjadi pendekatan yang efektif. Ilmu pengetahuan membantu menjelaskan proses fisiologis yang terjadi saat ketindihan, sementara agama memberikan ketenangan batin melalui doa dan keyakinan spiritual. Kombinasi antara pemahaman ilmiah dan kekuatan iman dapat memperkuat individu dalam menghadapi pengalaman ini dengan lebih tenang dan tanpa kecemasan yang berlebihan.

Referensi:

  • Adawiyah, R., & Dodi, L. (2024). A SUFI INTERPRETATION OF SLEEP PARALYSIS: Al-Ghazali ’s Perspective on Psychological and Spiritual Wellbeing. Journal of Islamic Philosophy and Contemporary Thought, 2(2), 194–213.
  • Yuda, B. D., Putri, G. G., Ramadhan, N., & Asfari, N. A. B. (2023). Sleep Paralysis Ditinjau dari Perspektif Neuropsikologi: Kajian Literatur. Flourishing Journal, 3(6), 223–226. https://doi.org/10.17977/um070v3i62023p223-226
  • Halodoc. (n.d.). Mengenal Ketindihan Saat Tidur (Sleep Paralysis), Penyebab, Cara Mengatasinya.
  • Susilo, S. L. Z., & Jenuari. (2025). Analisis Keterkaitan Fenomena Sleep Paralysis dengan. 142–151. https://doi.org/10.23917/jkk.v4i1.360

Biodata Penulis:

Aulia Nur Indah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.