Di beberapa tahun terakhir, istilah Starboy sering terdengar di telinga kita, terutama di kalangan anak muda Gen Z dan Milenial. Gaya hidup yang sering kita dengar ini identik dengan seseorang yang memiliki popularitas di sosial media, berpenampilan stylish, menggunakan barang-barang branded, dan memiliki pesona percaya diri yang tinggi. Tapi yang menjadi pertanyaan: Apakah ini benar-benar gaya hidup atau hanya topeng sosial untuk mendapat validasi dari orang lain?
Apa Itu "Starboy"?
Awalnya, istilah Starboy sendiri populer melalui lagu milik The Weeknd yang menggambarkan sosok pria kaya raya, misterius, dan keren. Namun, seiring waktu, istilah ini bergeser dan diadopsi oleh anak muda untuk menggambarkan gaya hidup yang fashionable, keren, disukai banyak wanita, memiliki popularitas, dan tentunya—Instagrammable.
Starboy masa kini adalah sosok yang selalu tampil maksimal. Rambut klimis, sneakers mahal, outfit yang selalu on point, dan gaya hidup yang tampak mewah—meski itu semua kadang hanya untuk kebutuhan konten semata. Mereka identik dengan nongkrong di kafe estetik, liburan ke tempat yang mahal, dan rutinitas yang selalu tampak sibuk dan sukses. Tapi, benarkah semua itu sesuai dengan kehidupan di dunia nyata?
Dorongan Eksistensi di Era Digital
Tak bisa dipungkiri, media sosial kini sudah mengubah cara anak muda memandang eksistensi. Dulu, menjadi populer adalah hasil dari karya nyata dan proses yang panjang. Kini, cukup dengan konsistensi unggah konten, sudut foto yang tepat, dan caption keren, seseorang bisa dianggap “punya gaya hidup keren” walaupun kenyataannya belum tentu demikian.
Gaya hidup Starboy menjadi salah satu bentuk bagaimana anak muda berusaha “menjadi terlihat”. Dalam budaya yang menilai dari tampilan luar dan jumlah likes, banyak orang merasa harus membangun tampilan di sosial media yang lebih menarik dan keren daripada realitas mereka sendiri di kehidupan nyata. Fenomena ini dikenal sebagai “performative lifestyle” atau gaya hidup yang dijalani bukan karena kebutuhan, tetapi karena tuntutan citra.
Starboy dan Konsumerisme
Tren Starboy ini sangat erat kaitannya dengan konsumsi, tetapi bukan konsumsi fungsional, melainkan konsumsi simbolik. Barang-barang branded, jam tangan mahal, hingga motor atau mobil mewah menjadi simbol status sosial yang baru.
Yang sangat disayangkan, tak sedikit yang rela berutang, menyewa, atau hanya “pinjam pakai” demi bisa menciptakan ilusi visual di media sosial. Barang-barang tersebut bukan lagi soal fungsi, tetapi menjadi alat yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dirinya keren.
Dalam dunia Starboy ini, harga diri bisa dikaitkan langsung dengan harga outfit. Bahkan, muncul istilah “OOTD check” yang menunjukkan betapa pentingnya identitas visual dalam membentuk nilai diri di mata public yang dinilai dari harga pakaian.
Topeng Sosial yang Melelahkan?
Bagi sebagian orang, menjalani gaya hidup Starboy memang menyenangkan. Mereka menikmati proses berdandan, memotret, membangun personal branding, dan menjadikan media sosial sebagai portofolio digital. Tak sedikit pula yang akhirnya benar-benar menghasilkan cuan lewat gaya hidup ini menjadi influencer, model, atau content creator.
Namun, di sisi lain, banyak pula anak muda yang terjebak dalam tekanan untuk selalu tampil sempurna. Setiap unggahan harus terlihat estetik, setiap momen harus layak untuk diposting, dan setiap hari harus terlihat produktif. Ketika semua itu hanya dibuat-buat, kelelahan mental menjadi tak bisa dihindari.
Fenomena toxic productivity dan comparison culture membuat banyak anak muda merasa tidak cukup baik jika tidak seperti Starboy lain di linimasa mereka. Mereka lupa bahwa banyak dari kehidupan yang tampak di media sosial hanyalah hasil kurasi dan editan.
Antara Aspirasi dan Ilusi
Apakah salah jika ingin tampil keren dan percaya diri? Tentu tidak. Menjadi Starboy bisa menjadi bentuk ekspresi diri dan pencarian identitas. Namun, ketika gaya hidup ini dijalani demi memenuhi ekspektasi sosial atau demi validasi dari luar, maka di situlah masalahnya.
Sebagai anak muda seharusnya perlu menyadari bahwa tidak semua yang terlihat di media sosial adalah kenyataan. Ada perbedaan besar antara “inspirasi” dan “ilusi”. Mengagumi gaya hidup orang lain boleh saja, tapi membandingkan diri secara berlebihan hanya akan membawa rasa cemas dan tidak puas.
Membangun Gaya Hidup yang Lebih Otentik
Jika ingin benar-benar menjadi Starboy, dalam artian yang positif maka kuncinya bukan sekadar tampil gaya, tapi menemukan keseimbangan antara ekspresi diri dan kejujuran terhadap realita. Gaya berpakaian, selera musik, tempat nongkrong, dan kebiasaan bukanlah alat untuk memenuhi gengsi, melainkan cara memperkaya identitas.
Beberapa tips untuk membangun gaya hidup yang sehat namun tetap ekspresif:
- Fokus pada kualitas, bukan kuantitas konten.
- Berani tampil apa adanya, tanpa filter berlebihan.
- Menghindari membandingkan diri dengan standar orang lain.
- Menggunakan media sosial sebagai alat, bukan cermin harga diri.
Starboy, Tapi Tetap Jadi Diri Sendiri
Gaya hidup Starboy memang sedang naik daun, dan tidak sedikit yang merasa terinspirasi olehnya. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap gaya hidup seharusnya membawa kebahagiaan, bukan tekanan. Jika kita terus-menerus merasa harus menjadi orang lain demi diterima, maka kita sedang menjauh dari diri kita sendiri.
Jadilah seseorang yang bukan hanya fashionable, tapi juga autentik dan berani hidup dengan memegang nilai-nilai sendiri.
Biodata Penulis:
Ananda Tsalis Hidayat, biasa dipanggil Tsalis, lahir pada tanggal 25 Juli 2006 di Surakarta. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret. Penulis (yang hobinya membaca, billiard, dan berenang) bisa disapa di Instagram @tsalishhh