Gunung Lewotobi Laki-Laki Meletus: Bencana yang Menggugah Kesadaran Kolektif

Letusan Lewotobi Laki-Laki memiliki dampak yang jauh lebih luas dari sekadar kawasan sekitar gunung. Bandara Frans Seda di Maumere terpaksa ditutup ..

Letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, kembali menjadi sorotan nasional. Pada pertengahan Juni 2025, gunung ini memuntahkan kolom abu setinggi lebih dari 10 kilometer, memaksa ribuan warga mengungsi dan melumpuhkan aktivitas transportasi udara di wilayah timur Indonesia. Media seperti metrosuara, yang selama ini konsisten memberitakan perkembangan regional, mencatat dampak bencana ini bukan hanya lokal, tetapi juga berdimensi nasional, bahkan internasional.

Gunung Lewotobi Laki-Laki Meletus
Sumber: Instagram | @tatiboimau

Indonesia memang terletak di Cincin Api Pasifik—sebuah fakta geografis yang tak terbantahkan. Namun, ketika bencana alam terjadi, pertanyaan lama kembali muncul: sejauh mana kesiapan kita dalam menghadapinya? Bencana memang tidak bisa dicegah, tetapi dampaknya bisa diminimalisir jika mitigasi dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Sayangnya, letusan Lewotobi Laki-Laki kembali menyingkapkan betapa rapuhnya sistem tanggap bencana di negeri ini.

Gunung dan Ketahanan Warga

Bagi masyarakat Flores Timur, Gunung Lewotobi Laki-Laki bukan sekadar bentang alam, tetapi simbol kehidupan. Gunung itu telah menjadi bagian dari identitas dan spiritualitas lokal. Namun dalam beberapa hari terakhir, wujud keagungan itu berubah menjadi ancaman. Desa-desa seperti Pululera, Boru, dan Waiula harus dikosongkan dengan cepat. Penduduk setempat kehilangan lahan pertanian, tempat tinggal, dan sumber air bersih akibat hujan abu dan lontaran kerikil.

Evakuasi besar-besaran yang dilakukan menunjukkan adanya sistem tanggap awal yang berjalan. Namun di sisi lain, muncul pula fakta bahwa tidak semua warga mendapat akses evakuasi yang layak. Beberapa harus berjalan kaki puluhan kilometer tanpa kendaraan, menempuh medan berbukit sambil membawa anak-anak dan lansia. Ini bukan hanya persoalan darurat, tetapi refleksi dari ketimpangan dalam distribusi perlindungan terhadap warga negara.

Pemerintah daerah memang sudah berusaha keras. Posko-posko darurat dibentuk, bantuan logistik mulai disalurkan. Namun sebagaimana sering terjadi dalam penanganan bencana di Indonesia, koordinasi antarlembaga masih menjadi masalah klasik. Data pengungsi simpang siur, bantuan menumpuk di satu titik dan langka di titik lain. Padahal, waktu adalah segalanya dalam situasi krisis.

Dampak yang Melampaui Geografis

Letusan Lewotobi Laki-Laki memiliki dampak yang jauh lebih luas dari sekadar kawasan sekitar gunung. Bandara Frans Seda di Maumere terpaksa ditutup karena visibilitas terganggu. Beberapa penerbangan menuju dan dari Kupang dibatalkan. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya jaringan transportasi udara di Indonesia Timur yang sangat tergantung pada satu-dua bandara utama.

Abu vulkanik juga mengganggu aktivitas perdagangan, distribusi bahan pangan, dan layanan kesehatan. Petani tidak bisa memanen karena tanaman tertutup abu. Nelayan takut melaut karena visibilitas buruk dan kekhawatiran akan arah angin membawa debu hingga ke laut. Dalam situasi seperti ini, bencana geologis berubah menjadi bencana ekonomi dan sosial.

Tidak hanya warga sipil yang terkena dampak, instansi pemerintah pun terdampak dalam operasionalnya. Sekolah-sekolah ditutup, layanan publik terbatas, dan rumah sakit kewalahan menerima warga dengan gangguan pernapasan akibat debu vulkanik. Bahkan, distribusi vaksin dan obat-obatan penting tertunda karena jalur transportasi yang terputus.

Kegagapan dalam Sistem Peringatan Dini

Salah satu aspek yang patut dikritisi adalah lemahnya sistem peringatan dini. Meskipun PVMBG telah mengamati peningkatan aktivitas vulkanik sejak beberapa minggu sebelumnya, tidak semua warga menyadari potensi bahaya. Sirene peringatan tidak terdengar di beberapa desa, dan pesan peringatan di ponsel tidak masuk secara serentak. Dalam era digital ini, semestinya komunikasi darurat bisa menjangkau lebih luas dan cepat.

Peringatan dini bukan sekadar soal alat, tetapi juga soal edukasi masyarakat. Tanpa pemahaman yang kuat tentang makna setiap tingkatan status gunung, masyarakat akan bingung dan bisa mengambil keputusan yang keliru. Banyak warga memilih bertahan karena takut kehilangan harta benda, dan sebagian lainnya karena tidak tahu bahwa zona tempat tinggalnya sudah masuk kategori bahaya.

Dalam bencana seperti ini, edukasi kebencanaan harusnya menjadi fondasi. Tidak cukup hanya memberikan informasi teknis; perlu ada komunikasi yang membumi, yang menghubungkan sains dengan kearifan lokal dan realitas sosial masyarakat.

Ketimpangan dalam Perlindungan dan Akses

Bencana selalu mengungkapkan ketimpangan. Dalam kasus Lewotobi, desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan cenderung mendapat bantuan lebih lambat. Hal ini mengindikasikan lemahnya infrastruktur distribusi bantuan dan ketergantungan pada jalur logistik yang sempit.

Pengungsi dari desa-desa terpencil harus menempuh jarak lebih jauh ke tempat pengungsian, kadang tanpa kendaraan dan perlengkapan memadai. Kelompok rentan—seperti ibu hamil, lansia, dan anak-anak—menjadi yang paling terdampak. Tidak semua lokasi pengungsian memiliki fasilitas kesehatan atau sanitasi yang layak, dan ini bisa memicu masalah kesehatan lanjutan seperti infeksi saluran pernapasan, penyakit kulit, dan diare.

Peristiwa ini seharusnya membuka mata kita bahwa sistem perlindungan sosial di daerah rawan bencana harus diperkuat secara struktural. Bantuan tidak boleh bergantung pada relawan semata; negara harus hadir dengan sistem yang tangguh dan adil.

Rekonstruksi: Momentum untuk Perubahan Nyata

Letusan ini bukan hanya menjadi tragedi, tetapi juga bisa menjadi momentum untuk rekonstruksi yang lebih adil dan berkelanjutan. Setelah fase darurat berakhir, perhatian harus diberikan pada tahap pemulihan dan pembangunan kembali. Di sini, kesalahan umum sering terjadi: pembangunan hanya mengejar kecepatan, bukan ketahanan jangka panjang.

Rumah-rumah yang dibangun kembali sering tidak mempertimbangkan aspek mitigasi bencana. Infrastruktur publik dipasang tanpa kajian lingkungan. Akibatnya, masyarakat kembali rentan ketika bencana berikutnya datang. Padahal, rekonstruksi semestinya menjadi peluang untuk membangun desa-desa yang lebih tangguh dan ramah lingkungan.

Pemerintah harus belajar dari banyak contoh kegagalan rekonstruksi di masa lalu. Desa-desa yang dibangun ulang seharusnya melibatkan partisipasi warga dalam desain dan perencanaan. Kearifan lokal harus menjadi bagian dari proses, bukan diabaikan demi efisiensi.

Peran Media dan Penguatan Literasi Bencana

Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan memberikan informasi yang akurat. Namun media juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam narasi sensasional. Liputan harus memperlihatkan wajah kemanusiaan dari bencana, bukan sekadar angka-angka kerugian atau visual letusan yang dramatis.

Literasi bencana harus menjadi bagian dari budaya kita. Tidak cukup hanya mengetahui nama gunung atau statusnya. Masyarakat perlu tahu bagaimana cara menyelamatkan diri, bagaimana membaca arah angin, dan bagaimana merancang rencana keluarga dalam situasi darurat. Ini semua bisa dimulai dari media, sekolah, tempat ibadah, hingga forum warga.

Media massa, terutama media lokal, juga berperan dalam menagih akuntabilitas dari pemerintah. Bagaimana distribusi bantuan dikelola? Siapa yang bertanggung jawab jika ada keterlambatan? Apakah dana bencana disalurkan secara transparan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus terus digaungkan agar pemerintah tidak terlena dalam rutinitas birokrasi.

Bencana Adalah Peluang Menata Ulang Sistem

Letusan Lewotobi Laki-Laki memang membawa kesedihan. Namun di balik kepulan abu, ada ruang untuk refleksi dan perubahan. Kita harus mulai membangun sistem yang lebih proaktif, bukan reaktif. Pendidikan kebencanaan harus dimulai sejak usia dini. Sistem peringatan dini harus menjangkau semua, bukan hanya kota. Logistik bencana harus dirancang dengan mempertimbangkan keragaman kondisi geografis.

Lebih penting lagi, kita perlu menata ulang cara berpikir tentang relasi manusia dan alam. Pembangunan harus ramah lingkungan, tidak memaksakan kehendak terhadap bumi. Wilayah-wilayah rawan bencana harus mendapat perhatian lebih, bukan dipinggirkan. Ketimpangan perlindungan harus dihapuskan agar tidak ada lagi warga yang ditinggalkan saat bencana datang.

Dalam konteks ini, peran Metro Suara sebagai media lokal yang dekat dengan masyarakat sangat strategis. Media bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga bisa menjadi jembatan antara suara warga dan kebijakan publik. Bencana ini bukan akhir dari segalanya, tetapi awal dari tanggung jawab bersama: membangun Indonesia yang lebih tangguh, adil, dan manusiawi.

© Sepenuhnya. All rights reserved.