Sepak bola bukan hanya sekadar olahraga di Indonesia. Namun sepak bola adalah bagian dari identitas nasional suatu bangsa, pemersatu suatu bangsa, dan juga sebagai sumber emosi kolektif dari jutaan rakyat yang menggantungkan harapan besar pada setiap langkah tim nasional. Setiap kali tim nasional yang kita juluki sebagai Garuda berlaga, semua mata tertuju ke langit, seolah harapan seluruh bangsa menggantung bersama lambang burung garuda di dada para pemain. Namun, di balik semangat dan antusiasme yang luar biasa itu, terbentang sejumlah tantangan besar yang dapat menghambat mimpi Indonesia untuk berjaya di kancah dunia.
Sepak bola telah memiliki tempat tersendiri di hati rakyat Indonesia sejak masa penjajahan. Sekitar tahun 1914, olahraga ini diperkenalkan oleh komunitas Belanda di kota-kota besar. Seiring waktu, banyak pelajar pribumi mulai terlibat dan ikut bermain, hingga akhirnya menyebar luas ke seluruh penjuru negeri. Pada tahun 1930, lahirlah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang diketuai oleh Soeratin Sosrosoegondo. Organisasi ini dibentuk sebagai wadah untuk menyatukan semangat nasionalisme para pemuda melalui sepak bola. Sejumlah klub seperti Persis Solo dan Persib Bandung mulai berdiri, dan berbagai kompetisi digelar untuk membentuk ekosistem sepak bola profesional di tanah air. PSSI kemudian bergabung dengan FIFA pada tahun 1952, dan juga menjadi anggota AFC sebagai bentuk integrasi Indonesia dalam sistem sepak bola global.
Mimpi indah sepak bola Indonesia sempat tercoreng pada 1 Oktober 2022. Dalam laga antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Terjadi tragedi kelam yang menewaskan 135 orang. Kerusuhan yang dipicu oleh kekecewaan suporter berubah menjadi kepanikan massal ketika gas air mata ditembakkan ke tribun penonton. Tragedi ini menjadi sorotan dunia, dan sejak saat itu, PSSI melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan pertandingan.
Pembenahan infrastruktur, perbaikan mekanisme pengamanan, serta penguatan sistem kompetisi menjadi langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan publik. Meski menyakitkan, tragedi ini menjadi momentum penting dalam reformasi sepak bola nasional.
Impian masyarakat Indonesia tetap sama, melihat Garuda bersinar di pentas internasional menjadi juara Asia, tampil di Olimpiade, hingga lolos ke Piala Dunia. Generasi demi generasi melahirkan pemain bertalenta, dari Bambang Pamungkas hingga Egy Maulana Vikri. Antusiasme publik pun kembali meningkat, dengan dukungan terhadap Timnas maupun pembinaan usia muda yang kian berkembang melalui akademi-akademi sepak bola berstandar internasional.
PSSI juga mengambil langkah naturalisasi terhadap pemain keturunan Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Proses ini dilakukan dengan seleksi ketat melalui hasil pemantauan (scouting) dan rekomendasi pelatih. Tujuannya bukan sekadar memperkuat skuad jangka pendek menjelang Kualifikasi Piala Dunia 2026, melainkan juga meningkatkan persaingan dan memotivasi pemain lokal untuk terus berkembang. Lalu ada juga tantangan yang masih menghantui Sepak Bola Indonesia meski harapan yang sangat tinggi. Secara tantangan struktural dan kultural yang masih menjadi batu yang dapat menyandung persepakbolaan Indonesia.
Namun untuk jangka panjang, pembinaan talenta muda asli Indonesia tetap menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, pembenahan akademi dan sistem pembinaan usia dini menjadi keharusan. Di balik semua optimisme tersebut, sejumlah tantangan struktural dan kultural masih menghambat kemajuan sepak bola nasional:
- Manajemen dan Pengelolaan yang Belum Stabil: Kisruh organisasi, pergantian kepengurusan yang sering serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan sepak bola menjadi masalah klasik. Tanpa fondasi manajemen yang kuat, mimpi kita yang besar akan sulit terwujud.
- Infrastruktur tidak Merata: Meskipun banyak stadion-stadion megah di kota-kota besar namun masih banyak stadion stadion di indonesia yang kurang dalam hal fasilitas serta banyak anak-anak berbakat di pelosok yang kerap mendapatkan tempat latihan yang tak layak apalagi untuk di lirik oleh tim scouting.
- Kompetisi Usia Dini yang Masih Lemah: Minimnya kompetisi reguler untuk kelompok usia dini bermain itu juga yang menghambat pembentukan mental dan skill para pemain muda.
- Intervensi Non-teknis: Banyak isu-isu yang terjadi di liga indonesia seperti match fixing, kepentingan politik serta tekanan dari berbagai pihak yang menyebabkan rusaknya integritas kompetisi dan runtuhnya kepercayaan masyarakat atas sepak bola di indonesia.
Biodata Penulis:
Arya Kusuma Febriantara, lahir pada tanggal 18 Februari 2006 di Brebes, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Matematika, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @arya_kusuma_27