Beberapa waktu terakhir, ruang publik diramaikan oleh isu lama yang kembali diangkat: tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu dalam pencalonan dirinya. Isu ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan telah berkali-kali muncul sejak awal masa jabatannya. Namun, munculnya kembali isu ini menjelang momen politik penting kembali menggugah perhatian masyarakat. Di tengah riuhnya pembelaan dan tudingan, penting untuk melihat bahwa persoalan utama yang diangkat bukan sekadar soal keaslian dokumen, melainkan tentang bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elite politik dan sistem pendidikan nasional terus menurun. Inilah yang menjadi perhatian utama dalam ulasan ini, sebagaimana telah dibicarakan secara hangat di kanal-kanal seperti fokustempo yang terus mengawal isu-isu publik secara kritis dan tajam.
Validasi yang Sudah Selesai, Tapi Isu Terus Dihidupkan
Secara resmi, Universitas Gadjah Mada (UGM) tempat Jokowi menempuh pendidikan telah menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah alumnus sah Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985. Pernyataan ini telah berkali-kali ditegaskan oleh pihak kampus, termasuk oleh rektor UGM sendiri. Tak hanya itu, tim forensik dari kepolisian bahkan telah melakukan uji keaslian terhadap ijazah tersebut dan menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya pemalsuan.
Dengan demikian, dari sisi hukum dan administratif, seharusnya persoalan ini sudah selesai. Namun, kenyataannya tidak demikian. Di media sosial dan bahkan dalam forum-forum publik, sebagian masyarakat tetap mempertanyakan keabsahan dokumen tersebut. Fenomena ini menjadi penanda adanya jurang kepercayaan yang besar antara masyarakat dan institusi, baik itu institusi pendidikan, institusi pemerintahan, maupun lembaga penegak hukum.
Politik Ketidakpercayaan: Warisan yang Terus Menumpuk
Di negara demokratis manapun, kepercayaan publik merupakan fondasi dari legitimasi kekuasaan. Namun di Indonesia, sejarah panjang pemerintahan yang elitis, penuh intrik, serta sarat korupsi dan nepotisme telah meninggalkan luka kolektif. Masyarakat telah terlalu sering dibohongi oleh para pemimpin, hingga pada akhirnya setiap bentuk pernyataan resmi—bahkan yang didukung bukti empiris—kerap dipandang sebagai kebohongan sistematis.
Dalam konteks ini, munculnya kembali isu ijazah palsu Jokowi tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan upaya menjatuhkan secara personal. Yang lebih mencemaskan justru adalah bahwa sebagian besar publik begitu mudah percaya pada narasi konspiratif, sekalipun tanpa bukti kuat. Ini menandakan bahwa yang tengah digugat oleh publik bukan hanya individu Jokowi, melainkan keseluruhan sistem yang dianggap tidak lagi mampu menjamin transparansi dan keadilan.
Sistem Pendidikan yang Terlalu Tertutup
Salah satu akar persoalan dalam krisis kepercayaan ini adalah minimnya keterbukaan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Akses terhadap data mahasiswa dan alumni, arsip akademik, serta sistem pelacakan digital atas ijazah dan gelar masih sangat terbatas. Berbeda dengan negara-negara maju yang telah menerapkan sistem verifikasi publik terhadap data akademik, di Indonesia, informasi semacam ini hanya bisa diakses melalui jalur birokratis yang panjang dan tidak transparan.
Jika masyarakat bisa dengan mudah mengecek legalitas ijazah melalui platform daring yang terpercaya, maka isu seperti ini tidak akan menjadi bola liar. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak hanya masyarakat umum, bahkan beberapa kalangan media dan tokoh publik pun mengalami kesulitan dalam mengakses bukti langsung. Kondisi ini memperparah kesangsian publik dan membuka ruang bagi manipulasi informasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Media Sosial: Lahan Subur Teori Konspirasi
Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan informasi sekaligus disinformasi. Isu ijazah palsu Jokowi menjadi contoh klasik tentang bagaimana sebuah narasi dapat tumbuh liar dan menjadi keyakinan massal, bahkan ketika fakta-fakta objektif telah disajikan. Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung memperkuat bias pengguna, sehingga narasi konspiratif bisa terasa lebih meyakinkan dibandingkan pernyataan resmi.
Kecepatan penyebaran informasi tidak diimbangi dengan kecakapan literasi digital yang memadai. Masyarakat lebih tertarik pada narasi yang menghibur atau menggugah emosi dibandingkan dengan laporan yang berbasis data dan logika. Ini menjadi tantangan serius, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi dunia pendidikan dan media massa.
Perlu Reposisi Peran Institusi Pendidikan
Dalam konteks ini, institusi pendidikan tinggi seperti UGM sebenarnya memiliki peran strategis yang jauh lebih besar dari sekadar menerbitkan klarifikasi. Perguruan tinggi adalah benteng terakhir dalam menjaga integritas ilmu dan moralitas publik. Jika publik mulai meragukan institusi seperti UGM, maka itu pertanda ada sesuatu yang keliru dalam cara lembaga-lembaga ini berinteraksi dengan masyarakat.
Sudah saatnya institusi pendidikan membuka diri terhadap sistem verifikasi digital dan publikasi data akademik yang transparan. Sistem seperti blockchain verification untuk ijazah, open-access terhadap skripsi dan tugas akhir, serta audit akademik secara periodik perlu dikembangkan agar publik tidak lagi mudah termakan oleh isu-isu yang tidak berdasar.
Narasi Elite yang Tidak Membumi
Selain masalah sistemik pada pendidikan, krisis kepercayaan ini juga terkait dengan narasi elite politik yang kian menjauh dari realitas rakyat. Dalam berbagai kesempatan, pejabat tinggi negara kerap menggunakan bahasa yang teknokratis, defensif, bahkan meremehkan kritik publik. Ketika publik menuntut kejelasan, yang diberikan adalah jargon legalistik atau serangan balik yang justru memperburuk persepsi masyarakat.
Alih-alih menjawab dengan pendekatan humanis dan dialogis, respons elite justru sering kali menambah jurang sosial. Ketika Presiden Jokowi menggugat balik pihak yang menuduhnya, banyak masyarakat merasa bahwa yang terjadi bukan klarifikasi, melainkan upaya pembungkaman. Ini adalah dilema klasik di mana legalitas tidak cukup untuk membangun kepercayaan—yang dibutuhkan adalah komunikasi yang jujur dan membumi.
Demokrasi Tanpa Kepercayaan
Demokrasi ideal dibangun di atas prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kepercayaan timbal balik antara rakyat dan pemerintah. Namun, ketika kepercayaan itu mulai runtuh, maka proses demokrasi akan berubah menjadi arena konflik yang penuh kecurigaan. Isu ijazah palsu Jokowi adalah cermin dari kondisi ini. Ia bukan lagi soal dokumen semata, melainkan simbol dari kerapuhan hubungan antara warga dan negara.
Lebih jauh, fenomena ini juga menggambarkan kegagalan elite dalam menjelaskan dirinya sendiri kepada rakyat. Dalam masyarakat modern, legitimasi tidak hanya berasal dari pemilu atau pernyataan resmi, tetapi juga dari kemampuan untuk mempertanggungjawabkan setiap aspek kehidupan publik secara terbuka. Ketika hal itu gagal dilakukan, maka rakyat akan mencari jawaban sendiri—seringkali melalui jalur yang tidak rasional.
Jalan Tengah: Edukasi, Keterbukaan, dan Reformasi
Lalu, bagaimana menyelesaikan krisis semacam ini? Pertama-tama, diperlukan edukasi publik secara massif mengenai pentingnya verifikasi data dan cara membedakan antara informasi dan disinformasi. Ini menjadi tugas bersama antara pemerintah, media, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil.
Kedua, sistem informasi publik, khususnya yang berkaitan dengan data akademik dan rekam jejak pejabat, harus dibuka secara proporsional dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Ketiga, pemerintah harus memosisikan diri bukan sebagai pihak yang tersinggung, melainkan sebagai fasilitator transparansi. Alih-alih menggugat balik, akan lebih bermakna jika menjawab dengan langkah-langkah konkret yang bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Dan yang paling penting, elite politik harus merubah pola komunikasi mereka. Bukan dengan menghindar dari kritik, tetapi dengan membuka ruang dialog dan menjadikan dirinya sebagai contoh integritas dan keterbukaan.
Ijazah Itu Sah, Tapi Rasa Percaya Publik yang Hilang
Pada akhirnya, publik memang layak mempertanyakan dan mencari tahu latar belakang siapa pun yang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Tapi ketika pertanyaan itu sudah dijawab secara valid dan sah, namun masih terus diulang, maka persoalannya bukan lagi soal dokumen. Yang sedang dihadapi bangsa ini adalah krisis kepercayaan yang jauh lebih dalam, menyentuh relasi rakyat dengan elite, serta cara pandang masyarakat terhadap sistem pendidikan dan birokrasi. Jika kepercayaan tidak dibangun dengan serius, maka demokrasi akan terus diganggu oleh hantu-hantu masa lalu yang tak kunjung selesai.
Untuk itu, mari bergeser dari perdebatan dokumen ke diskusi yang lebih bermakna: bagaimana menciptakan negara yang transparan, sistem pendidikan yang bisa diakses semua, dan elite politik yang benar-benar mau mendengar suara rakyat.
Isu ini bukan hanya milik satu individu, tetapi milik kita semua sebagai bangsa. Karena hanya melalui keterbukaan dan integritas, kita bisa memulihkan kepercayaan yang telah lama hilang. Seperti yang sering diangkat dalam berbagai ulasan di Fokus Tempo, jalan keluar dari krisis ini bukan terletak pada pengadilan, tetapi pada kejujuran kolektif dan pembaruan sistem yang menyeluruh.