Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Implementasi Manajemen Sekolah dalam Mendukung Pendidikan Inklusif di MI 01 Kranji Kabupaten Pekalongan

Pendidikan inklusif di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009. Regulasi ini ...

Abstrak

Menurut Permendiknas RI No. 70 tahun 2009, pendidikan inklusi adalah metode pendidikan yang memperhatikan perbedaan fisik, emosional, mental, sosial, dan bakat khusus dari semua peserta didik. Sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing, kebijakan ini berupaya menjamin kesempatan belajar yang sama bagi semua. MI 01 Kranji di Kabupaten Pekalongan, yang telah mempromosikan pendidikan inklusi sejak tahun 2011, adalah salah satu sekolah yang menggunakan strategi ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pendidikan inklusif diimplementasikan di sekolah tersebut dan mengetahui hambatan dalam penerapannya. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif interaktif untuk mengumpulkan informasi dengan melakukan wawancara dengan staf, kepala sekolah, dan guru, serta mengamati secara dekat proses pembelajaran di kelas inklusi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang implementasi tersebut.

PENDAHULUAN

Pendidikan inklusif di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009. Regulasi ini muncul berdasarkan sejumlah pertimbangan bahwa setiap peserta didik, baik yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, maupun sosial, serta mereka yang memiliki bakat luar biasa, berhak memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan merupakan hak asasi setiap individu, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pendidikan khusus dapat diselenggarakan dalam bentuk inklusif, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 hingga 15 peraturan tersebut. Sebagai langkah implementasi, pemerintah daerah diminta menunjuk minimal satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah di setiap kecamatan untuk menjalankan pendidikan inklusif (Izzah, 2022: 231).

Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memberikan layanan pendidikan yang maksimal dan berkualitas tanpa membedakan kemampuan siswa (Smith, 2018: 45). Konsep pendidikan inklusif hadir sebagai upaya menjamin hak belajar bagi semua anak, termasuk anak-anak difabel dan berkebutuhan khusus. Namun, keberhasilan pelaksanaannya sangat bergantung pada peran serta manajemen sekolah. Manajemen sekolah memiliki posisi yang strategis dalam memastikan pendidikan inklusif dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan (Olivia, 2017: 5).

Peran manajemen sekolah meliputi perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap program pendidikan inklusif. Selain itu, mereka juga bertugas mengoordinasikan keterlibatan berbagai pihak seperti guru, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Tidak kalah penting, manajemen sekolah harus menyediakan pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi para guru agar mampu mengajar dan membimbing siswa berkebutuhan khusus dengan efektif (Schwab, 2019: 235). Pendidikan inklusif bertujuan agar tidak ada jurang pemisah antara anak berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya, serta membantu mereka mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

Salah satu lembaga pendidikan yang telah mengembangkan pendidikan inklusif adalah MI 01 Kranji di Kabupaten Pekalongan (Andini, 2020: 15-18). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal dengan kepala madrasah, Bapak Ni’amil Hida, yang juga merupakan penggagas pendidikan inklusif di sekolah tersebut, diketahui bahwa MI 01 Kranji telah menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak tahun 2011. Hal ini juga merupakan bentuk kepatuhan terhadap kebijakan yang mewajibkan setiap wilayah memiliki sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif. Tidak hanya menerima peserta didik berkebutuhan khusus, madrasah ini juga berusaha menyediakan sarana pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan para siswa.

Peserta didik berkebutuhan khusus di MI 01 Kranji didominasi oleh anak-anak dengan kondisi tuna daksa dan autisme, dengan dua siswa berkebutuhan khusus di setiap kelas dari jenjang kelas rendah hingga tinggi. Program pendidikan inklusif diterapkan di semua kelas, disertai penyusunan berbagai program pendukung. Materi pembelajaran dirancang agar sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Bapak Ni’amil Huda menekankan bahwa pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif tidak boleh hanya berhenti pada tataran formalitas, tetapi harus berjalan secara ideal dan sesuai dengan semangat yang diamanatkan dalam Permendiknas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif melalui penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan di MI 01 Kranji berlokasi di Kab. Pekalongan, Kecamatan Kedungwuni, Provinsi Jawa Tengah. Sekolah tersebut memiliki 27 orang siswa. berkebutuhan khusus yang tersebar di beberapa tingkatan kelas yang berbeda. Waktu pelaksanaan yaitu pada bulan Mei tahun 2025. Sasaran yang diteliti pada penelitian ini adalah kepala sekolah, guru dan siswa dengan kebutuhan khusus, yang dilakukan analisis berdasar pada teori-teori inklusif dalam ruang lingkup pendidikan dasar yang relevan dengan temuan di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan kegiatan observasi, dokumentasi, dan wawancara.

Adapun aspek yang diteliti yakni tentang penerapan pendidikan inklusi mulai dari perencanaan, pengelolaan, penerapan, kendala yang dihadapi, dan solusi. Kemudian data yang didapatkan dianalisis dan diolah melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan sehingga hasil penelitian valid dan relevan dengan yang terjadi di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode observasi dan wawancara untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai implementasi pendidikan inklusi di lingkungan sekolah. Pendekatan ini dipilih karena mampu menggambarkan realitas sosial secara alami, serta menangkap makna di balik tindakan dan interaksi yang terjadi dalam proses pendidikan inklusi.

1. Subjek dan Lokasi Penelitian

Subjek penelitian meliputi guru, dan kepala sekolah. Penelitian dilakukan di salah satu sekolah dasar negeri yang telah menerapkan pendidikan inklusi di MI 01 Kranji Kab. Pekalongan.

2. Teknik Pengumpulan Data

  • Observasi: Observasi dilakukan secara non-partisipatif di dalam kelas dan lingkungan sekolah. Peneliti mengamati interaksi antar siswa, dan perlakuan guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Observasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana prinsip kesetaraan diterapkan dalam praktik pendidikan sehari-hari.
  • Wawancara: Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur kepada kepala sekolah. Pertanyaan wawancara dirancang untuk menggali pandangan, pengalaman, dan tantangan yang mereka hadapi dalam melaksanakan pendidikan inklusi.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif melalui wawancara kepada kepala sekolah. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyalin atau mentranskrip hasil wawancara yang telah direkam, agar isi pembicaraan dapat dibaca dan dipahami secara menyeluruh. Selanjutnya, peneliti menandai bagian-bagian penting dari jawaban guru, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan inklusi, seperti strategi mengajar, tantangan yang dihadapi, dan respon siswa terhadap keberagaman. Setelah itu, data yang memiliki kesamaan makna dikelompokkan ke dalam beberapa kategori atau tema, misalnya "tantangan guru", "dukungan sekolah", dan "penerimaan siswa reguler terhadap siswa inklusi". Berdasarkan pengelompokan ini, peneliti kemudian menarik kesimpulan mengenai pelaksanaan pendidikan inklusi berdasarkan pengalaman guru. Untuk memastikan kebenaran dan keakuratan data, dilakukan triangulasi dengan membandingkan hasil wawancara antar guru dan mencocokkannya dengan hasil observasi maupun dokumen pendukung lainnya dari sekolah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

MI 01 Kranji merupakan salah satu Madrasah Ibtidaiyah negeri yang telah berdiri sejak tahun 1925. Secara geografis, madrasah ini berlokasi di Desa Kranji, Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. MI 01 Kranji telah terakreditasi "B" oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M). Saat ini, MI 01 Kranji menerapkan Kurikulum Merdeka di bawah kepemimpinan kepala madrasah, Lalu Ni’amil Hida. Di sekolah tersebut terdapat 27 siswa merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mendapatkan layanan pembelajaran. 

Wawancara Kepala Sekolah
Gambar 1 menunjukkan wawancara kepada kepala sekolah.

Jenis kebutuhan khusus dari kesembilan siswa tersebut dikategorikan sebagai lamban belajar, yaitu siswa yang tidak tergolong retardasi mental, namun memiliki performa akademik rendah dalam satu atau lebih bidang pelajaran (di bawah rata-rata teman sebayanya). Ciri-ciri umum anak lamban belajar mencakup sikap pasif, kurang percaya diri, kesulitan komunikasi dan konsentrasi, serta memerlukan pengulangan materi agar dapat memahaminya (Amasya et al., 2023).

Keberadaan siswa lamban belajar cukup sering ditemukan namun tidak selalu mudah dikenali. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk memberikan dukungan dalam bentuk akomodasi pembelajaran di kelas inklusif. Pendekatan ini menuntut guru menggunakan strategi pembelajaran yang membuat siswa merasa dihargai dan diperlakukan setara dengan siswa lainnya (Widodo et al., 2020).

Observasi
Gambar 2 Selesai observasi

Program ini bertujuan menciptakan kebiasaan positif sebelum proses pembelajaran dimulai, yang melibatkan seluruh siswa termasuk ABK. Kegiatan seperti senam, menyanyi lagu wajib, hafalan teks proklamasi atau tabel perkalian, hingga doa bersama dilakukan untuk menyegarkan tubuh, pikiran, dan emosi siswa.

1. Pengintegrasian Program Pendidikan Inklusif

a. Perencanaan

Perencanaan pendidikan inklusif dilakukan setiap awal semester dengan merujuk pada hasil observasi semester sebelumnya. Langkah ini diambil untuk mengevaluasi kemampuan siswa ABK dan menyesuaikan pembelajaran selanjutnya. Penilaian awal menjadi kunci dalam menentukan intervensi yang tepat (Rahayu, D., 2018). Sekolah memperhatikan Kurikulum Merdeka, kemampuan SDM, identifikasi siswa ABK, serta Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam menyusun rencana pendidikan inklusif.

b. Pengelolaan

Pengelolaan program inklusi melibatkan kepala madrasah dan guru-guru untuk mendukung kualitas pembelajaran inklusif.

c. Penerapan

Model pembelajaran yang diterapkan adalah kelas reguler inklusif, di mana siswa ABK belajar bersama siswa reguler tanpa pembatasan khusus. Meski tidak ada perlakuan khusus terprogram, partisipasi bersama antara siswa reguler dan ABK diharapkan mampu meningkatkan kemampuan adaptasi sosial dan akademik siswa ABK. Hasilnya, siswa yang semula mengalami kesulitan belajar mulai menunjukkan kemajuan, seperti mampu menghafal perkalian, teks nasional, dan menunjukkan partisipasi aktif.

Program ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, seperti camat, puskesmas, TNI, Polri, dan masyarakat. Keterlibatan lintas sektor ini penting untuk mendukung kelangsungan pendidikan inklusif sebagaimana ditegaskan oleh Kesti Anggreani et al. (2024), bahwa dukungan pemerintah sangat krusial melalui kebijakan dan penyediaan sumber daya.

2. Kendala dan Solusi

a. Kendala

Beberapa hambatan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di MI 01 Kranji antara lain:

  • Belum memiliki sarana yang lengkap di sekolahan.
  • Guru hanya mengandalkan observasi langsung dalam mendiagnosis.
  • Kesulitan dalam menyusun pembelajaran yang sesuai untuk siswa dengan latar belakang dan kemampuan berbeda.
  • Minimnya pelatihan guru mengenai strategi pengajaran untuk siswa berkebutuhan khusus, baik dari aspek akademik, sosial, maupun fisik.

Guru dituntut untuk menguasai manajemen kelas yang kompleks serta pendekatan yang beragam sesuai dengan karakteristik setiap anak, namun belum semua guru merasa siap atau memiliki keahlian yang memadai (Kesti Anggreani et al., 2024).

b. Solusi

MI 01 Kranji mengembangkan solusi strategis sebagai berikut:

  1. Pendataan dan pencatatan perkembangan siswa ABK secara berkala untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
  2. Kolaborasi dengan orang tua siswa guna mengetahui kondisi anak di luar madrasah, memperkuat data dari sekolah.
  3. Pelatihan guru secara berkala terkait pembelajaran inklusif, termasuk teknik pengajaran adaptif, manajemen kelas, serta penilaian khusus.
  4. Kerja sama tim antara guru reguler dan guru pendamping atau spesialis pendidikan khusus untuk merancang strategi pengajaran yang optimal.

PENUTUP

Kesimpulan

Pertama dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis inklusi, proses ini melibatkan tiga tahap utama yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, sekolah mengidentifikasi dan menginput peserta didik, termasuk melakukan asesmen awal untuk menentukan kebutuhan khusus siswa. Kemudian kedua adalah tahap pelaksanaan, melibatkan aspek-aspek penting selama belajar mengajar.

Modifikasi kurikulum dan pengembangan program pembelajaran individual (PPI) untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa berkebutuhan khusus. Sedangkan tahap evaluasi dilakukan melalui tes tertulis maupun lisan, tes tertulis sendiri disesuaikan dengan kemampuan siswa dan laporan siswa hasil belajar atau rapor yang mencerminkan pencapaian individual setiap siswa. Kedua, terdapat berbagai tantangan seperti halnya keterbatasan anggaran sekolah, kurangnya tenaga guru pendamping khusus dan tantangan administrasi berupa laporan hasil belajar siswa atau rapot. Ketiga, terdapat berbagai faktor pendukung dalam mengimplementasikan Pendidikan inklusi yaitu kebijakan sekolah dan dukungan manajemen, kesiapan guru dan staf mengajar, kurikulum pembelajaran, dan penilaian evaluasi.

Saran

Dalam simpulan tersebut maka penulis memberikan saran-saran yang dapat membantu MI Walisongo Kranji 01 Kabupaten Kota Pekalongan agar dapat menerapkannya dengan baik lagi. Berikut saran-saran diberikan:

  1. Peningkatan pelatihan dan pengembangan guru, menyediakan pelatihan berkelanjutan bagi guru dalam bidang pendidikan inklusi, penyesuaian kurikulum dan penilaian untuk siswa. Pelatihan ini harus mencakup teknik pengajaran yang efektif, strategi penilaian yang tepat serta cara menyusun rencana pendidikan individual yang komprehensif.
  2. Pengembangan sistem informasi terpadu, mengadopsi sistem informasi yang terintegrasi untuk mengelola data penilaian dan rapor siswa. Sistem ini akan membantu meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses administrasi, serta memudahkan akses dan analisis data oleh guru dan staf sekolah.
  3. Dukungan pemerintah dan kebijakan, pemerintah perlu memberikan dukungan yang lebih kuat dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan kebijakan untuk pendidikan inklusi. ini termasuk penyediaan sumber daya yang memadai, program pelatihan bagi guru, serta kebijakan yang mendukung pengembangan dan implementasi pendidikan inklusi secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Agus, G. (2024). Mengungkap filsafat pendidikan di balik kurikulum merdeka. Jakarta: Kencana.
  2. Ahmad, S. (2015). Pendidikan inklusi: Konsep dan praktis. Jakarta: Kencana.
  3. Aminah, S. (2019). Metode pembelajaran inklusi. Jakarta: Kencana.
  4. Andini, D. W., dkk. (2020). Pengembangan kurikulum dan implementasi pendidikan inklusi di sekolah dasar. Yogyakarta: PT Kanisius.
  5. Annur, C. M. (2022, Maret 7). Jumlah sekolah di Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan (Tahun Ajaran 2021/2022). Katadata. https://databooks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/07/jumlah-sekolah-di-indonesia-berdasarkan-jenjang-pendidikan (Diakses 25 Desember 2022, pukul 08.00 WIB)
  6. Arismunandar, dkk. (2021). Ku teori dan inovasi pendidikan. Sukabumi: CV Jejak.
  7. At-Taubany, T. L. B., dkk. (2022). Mengembangkan pendidikan inklusi di sekolah atau madrasah. Jakarta: Kencana.
  8. Baharun, H., & Awwaliyah, R. (2020). Pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus dalam perspektif epistemologi Islam. Jurnal Program Studi PGMI, 5(1).
  9. Bilqis. (2014). Lebih dekat dengan anak tuna daksa. Jakarta: Diandra Kreatif.
  10. Dela. (2023). Pengaruh kompetensi guru dalam proses pembelajaran inklusi di sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 8(3).
  11. Djaali, & Muljono, P. (2018). Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta: Grasindo.
  12. Ernawati. (2022). Pendidikan inklusi. Jakarta: Kencana.
  13. Fetrimen, & Saroh, S. (2022). Penerapan pendidikan inklusi sekolah dasar selama masa pandemi Covid-19 di DKI Jakarta. Jurnal Bahana Manajemen Pendidikan, 1(1).
  14. Hanifah, D., Haer, A. B., Widuri, S., & Santoso, M. B. (2021). Tantangan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam menjalani pendidikan inklusi di tingkat sekolah dasar. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPMM), 2(3), 473–483.
  15. Harfiani, R. (2021). Manajemen program pendidikan inklusif: Studi analisis Raudhatul Athfal (H. R. Setiawan, Ed.; Edisi pertama). UMSU Press.
  16. Widhyastuti, L. K. (2025). Implementasi pendidikan inklusi di sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Telaah, 2–6.

                              Penulis:

                              1. Azifa saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid.
                              2. Juju' Amalia saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid.
                              3. Safa Riska Fajriani saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid.
                              4. Sarah Maulida Nurkhayati saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid.

                              © Sepenuhnya. All rights reserved.