Di tengah derasnya gelombang perubahan global, Indonesia tengah menghadapi badai yang tak kalah berat: krisis kepercayaan dan kemerosotan etika di berbagai lini kehidupan. Di kalangan generasi muda, kekecewaan terhadap wajah bangsa hari ini kian nyata. Korupsi yang mengakar, ketimpangan sosial yang mencolok, dan kepemimpinan yang kerap abai terhadap moral publik membuat banyak anak muda bertanya-tanya: apakah negeri ini masih pantas diperjuangkan?
Alih-alih menjadi bagian dari solusi, sebagian memilih menjauh. Sebagian pergi meninggalkan tanah air demi mencari peluang hidup yang lebih baik, sementara yang lain mengubur idealismenya dalam sikap apatis. Dalam diam mereka, terkandung kekecewaan yang berlapis-lapis: kegagalan sistemik yang terus berulang, janji perubahan yang sekadar retorika, serta realitas yang memperlihatkan betapa etika seringkali menjadi barang mewah di negeri sendiri.
Melihat kondisi adab dan etika pada generasi muda masa kini sungguh memprihatinkan. Di usia remaja yang seharusnya diisi dengan kegiatan positif dan pengembangan ilmu pengetahuan, banyak yang justru menghabiskan waktu dengan aktivitas yang merugikan diri sendiri dan orang lain. (Kurniawati dkk., 2024).
Krisis Etika di Tengah Generasi Penerus Bangsa
Di saat harapan seharusnya tumbuh subur di tangan generasi muda, justru kini kita menyaksikan bagaimana etika perlahan tergeser oleh pragmatisme. Mereka yang mestinya menjadi penjaga moralitas publik, kini banyak yang terseret arus kepentingan pribadi. Orientasi hidup pun bergeser: dari memperjuangkan nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, menuju mengejar kenyamanan, prestise, dan materi semata.
Fenomena ini sesungguhnya bukan muncul tiba-tiba tetapi lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap sistem yang terus mempertontonkan lemahnya penegakan hukum, merebaknya korupsi, serta ketidakadilan struktural yang menekan mereka sejak dini. Ketika hukum terlihat lunak pada pemilik kuasa, ketika pejabat terlibat skandal namun tetap dipertahankan, dan ketika pendidikan diperlakukan sebatas formalitas administratif, maka lahirlah generasi yang secara perlahan kehilangan kepercayaan pada pentingnya integritas.
Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng utama pembentukan karakter — justru seringkali ikut terjerumus. Mahasiswa lebih banyak mengejar gelar ketimbang ilmu, nilai ketimbang integritas. Budaya instan tumbuh subur, mulai dari praktik mencontek, plagiarisme, hingga fenomena "jasa pembuatan skripsi". Seperti diungkapkan oleh Kurniawati dkk. (2024), masa remaja yang seharusnya diisi dengan pengembangan diri justru dihabiskan dalam aktivitas yang merugikan diri sendiri dan lingkungannya.
Di ruang digital, krisis etika pun kian menampakkan wajahnya. Media sosial yang seharusnya menjadi arena edukasi dan dialog, berubah menjadi ladang konflik, polarisasi, bahkan penyebaran hoaks. Aktivisme digital yang ramai justru sering kehilangan akar moralnya: lebih banyak seruan kosong, minim aksi nyata. Generasi yang dahulu dikenal sebagai agen perubahan, kini terjebak dalam debat kusir di ruang maya yang miskin substansi.
Semua ini mengarah pada pertanyaan besar: ke manakah perginya etika dalam kehidupan berbangsa kita? Jika generasi mudanya mulai lelah memperjuangkan nilai moral, siapa lagi yang akan menjaga nurani bangsa?
Kebutuhan Mendesak: Menghidupkan Kembali Etika Publik
Meski krisis etika tampak demikian akut, harapan tidak sepenuhnya sirna. Justru dalam kondisi inilah diperlukan keberanian moral yang lebih besar dari generasi muda untuk melawan arus pragmatisme dan memperjuangkan kembalinya nilai etika ke ruang publik.
Etika sejatinya bukan sekadar ajaran teoritis yang dipelajari di ruang kelas, melainkan pondasi hidup bermasyarakat. Ia terwujud dalam kejujuran menjalankan tugas, keberanian menyuarakan kebenaran, kesetiaan pada prinsip keadilan, dan keikhlasan mengutamakan kepentingan umum di atas ego pribadi. Di tengah lemahnya institusi, maka individu-individulah yang harus kembali menjadi benteng terakhir etika.
Pendidikan harus kembali diletakkan pada hakikatnya sebagai proses pembentukan manusia berkarakter. Kampus tak boleh lagi menjadi pabrik ijazah. Setiap ruang kuliah, organisasi mahasiswa, dan forum diskusi harus menjadi laboratorium penguatan integritas. Kurikulum pun perlu menempatkan etika profesional, pendidikan karakter, dan kepemimpinan moral sebagai elemen wajib dalam setiap bidang keilmuan.
Di sisi lain, ruang digital pun harus direbut kembali sebagai sarana penguatan literasi moral. Generasi muda mesti membangun budaya berdiskusi yang sehat, memperluas wawasan, mengedepankan data dan argumentasi, serta menolak kampanye kebencian. Aktivisme sejati bukan diukur dari banyaknya unggahan, tetapi dari seberapa jauh aksi nyata dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kita tak boleh lagi hanya mengandalkan kecerdasan intelektual. Negeri ini membutuhkan generasi baru yang cerdas secara moral. Karena bangsa yang maju bukan sekadar bangsa yang pintar, tetapi bangsa yang menjunjung tinggi etika di setiap sendi kehidupan. Tanpa etika, kecerdasan hanyalah pisau bermata dua yang bisa melukai siapa saja.
Maka selama masih ada anak muda yang berani berkata jujur di tengah kebohongan, berani adil di tengah ketidakadilan, dan berani peduli di tengah ketidakpedulian, selama itu pula negeri ini masih punya harapan. Etika bukan sekadar ajaran, melainkan fondasi eksistensi kita sebagai bangsa. Dan tugas itu kini berada di pundak generasi muda Indonesia.
Penulis:
- Theresia Octavianti Aritonang merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E., M.M merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.