Tradisi nelayan mencerminkan perpaduan antara sains dan keimanan yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat nelayan tidak hanya mengandalkan teknologi modern dalam aktivitas melaut, tetapi juga memadukan nilai-nilai spiritual dan tradisi lokal dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu manifestasi dari perpaduan ini adalah tradisi Sedekah Laut, yang merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada tuhan atas hasil laut yang diperoleh. Tradisi ini juga mencerminkan komunikasi dengan alam semesta, di mana masyarakat nelayan menunjukkan penghormatan terhadap laut sebagai sumber kehidupan sehari-hari mereka.
Sedekah Laut biasanya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Muharam atau Suro. Prosesi ini melibatkan arak-arakan seni tradisional, doa bersama, dan wujud syukur dan doa untuk keselamatan serta hasil laut yang melimpah di masa mendatang. Tradisi ini mencerminkan akulturasi Islam dan lokal. Unsur kepercayaan yang dahulu telah diadaptasi oleh para wali seperti Sunan Kalijaga, dengan memasukkan nilai-nilai Islam. Sedekah Laut memperkuat solidaritas sosial di kalangan nelayan dan menjadi daya tarik wisata (Badruzzaman, 2015).
Masyarakat nelayan di pesisir utara Jawa memiliki pengetahuan khas yang berkaitan dengan kehidupan laut, mencakup kemampuan memahami kondisi cuaca dan iklim, serta penggunaan teknologi perahu dan alat tangkap ikan. Pengetahuan ini erat kaitannya dengan nilai-nilai agama yang mereka anut, di mana keimanan menjadi dasar penting dalam menjalani profesi dan kehidupan sehari-hari sebagai nelayan (Singgih Tri Sulistiyono, 2014).
Selain dari perspektif keagamaan, kearifan lokal tradisi nelayan juga bisa dijelaskan dari perspektif sains dan keimanan. Penjelasannya sebagai berikut:
- Keimanan dan Pengetahuan Lokal: Nelayan pesisir Pekalongan memadukan ajaran Islam dengan kearifan lokal seperti tradisi Sedekah Laut yang menjadi wujud syukur kepada tuhan atas hasil tangkapan dan cerminan pandangan kosmologi Islam tentang penting nya menjaga alam. Nelayan di pesisir Utara mengalami pergeseran praktik keagamaan dari kepercayaan, seiring masuknya ajaran Islam dari organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, ini menunjukkan fleksibilitas dalam respons budaya lokal (Nurdin, 2020).
- Kearifan Lokal dalam Keagamaan: Tradisi masyarakat nelayan seperti Sedekah Laut tidak hanya mengandung dimensi spiritual, tetapi juga memainkan peran penting membangun solidaritas sosial dan menjaga kelestarian kelestarian lingkungan laut. Dalam praktiknya, nelayan secata bersama menggelar ritual dan doa sebagai bentuk permohonan atas kesempatan serta kelimpahan hasil tangkapan. Menjadikan tradisi tersebut sebagai sarana memperkuat solidaritas dan menegaskan jati diri para nelayan (Via Assalma Setiya Ramadhani, 2024).
- Perspektif Sains dalam Tradisi Nelayan: Terlihat melalui pendekatan antarpologis yang lebih kritis terhadap ilmu pengetahuan modern yang kaku. Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami tradisi secara mendalam dan sesuai dengan konteksnya, karena praktik budaya seperti ritual nelayan sebenernya merupakan cara masyarakat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan meng menghadapi berbagai risiko yang muncul dalam kehidupan mereka di laut (M. Sayiful, 2022).
Menurut pandangan saya bahwa kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat nelayan merupakan wujud dari keterpaduan antara nilai sains dan keimanan yang telah mengakar dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi mereka laut bukan hanya sumber penghasilan atau ruang aktivitas ekonomi, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Tradisi seperti Sedekah Laut menjadi cerminan nyata bahwa kehidupan nelayan tidak hanya didukung oleh teknologi modern, tetapi juga oleh nilai-nilai religius dan budaya yang telah menjadi bagian dari identitas para nelayan.
Saya melihat bahwa kehidupan masyarakat nelayan di Pekalongan mencerminkan perpaduan erat antara nilai keimanan Islam dan kearifan lokal. Tradisi seperti Sedekah Laut mencerminkan rasa syukur dan harmoni dengan alam, sekaligus bentuk perubahan budaya agama. Mereka mengandalkan pengetahuan tradisional yang menunjukkan bahwa iman dan sains bisa berjalan seiring. Ajaran Islam masuk lewat NU dan Muhammadiyah memperkuat tradisi, tanpa menghilangkan jati diri mereka.
Menurut saya kearifan lokal dalam kehidupan nelayan bukan semata persoalan keyakinan atau ritual, melainkan tentang cara manusia memahami posisinya dalam semesta. Dalam kehidupan mereka, terdapat keterpaduan antara tradisi, keilmuan lokal, dan spiritualitas yang berjalan seiring, dari sini bahwa perpaduan antara nilai-nilai keimanan, kearifan tradisional,dan ilmu pengetahuan modern bisa menciptakan sebuah tatanan hidup yang seimbang dan penuh makna dalam kehidupan mereka ada keyakinan, rasa syukur, dan sikap hormat terhadap alam sebagai ciptaan tuhan.
Referensi:
- Badruzzaman. (2015). Keluwesan Berdakwah dalam Pelestarian Tradisi Pesisir (Kajian Mengenai Bilasan pada Kegiatan Sedekah Laut di Kabupaten Rembang). Jurnal Bimas Islam, 8(2), 351–388. https://doi.org/10.37302/jbi.v8i2.178
- Sulistiyono, S. T. (2014). Mengenal Sistem Pengetahuan, Teknologi, dan Ekonomi Nelayan Pantai Utara Jawa. Jurnal Agastya, 4(2), 2–24.
- Nurdin, A. (2020). Budaya Islam Nelayan Pesisir Utara Lamongan Jawa Timur. IBDA: Jurnal Kajian Islam dan Budaya, 18(1), 118–138. https://doi.org/10.24090/IBDA.V18i1.3359
- Ramadhani, V. A. S. (2024). Konstruksi Makna Penyelenggaraan Petik Laut bagi Masyarakat Islam di Dusun Grajagan Pantai, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi. Seminar Nasional Universitas Negeri Surabaya, 276–285.
- Sayful, M. (2022). Eksistensi Ritual Tolak Bala pada Masyarakat Nelayan Kodingareng: Tinjauan Antropologi terhadap Kepercayaan Lokal Masyarakat Nelayan di Pulau Kodingareng Makassar. Jurnal Interdisiplin Sosiologi Agama (JINSA), 3(1), 31–42.
Biodata Penulis:
Fanika Saza, lahir pada tanggal 3 Februari 2006 di Pekalongan, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Manajemen Dakwah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Penulis bisa disapa di Instagram @Xlyvanii