Fenomena kekerasan verbal oleh dosen terhadap mahasiswa sering kali tenggelam di balik narasi akademik yang berpusat pada prestasi dan pencapaian institusi. Padahal, bagi banyak mahasiswa, kata-kata yang merendahkan, mempermalukan, atau bernada intimidatif dari seorang dosen bisa menjadi luka psikologis yang panjang, bahkan memengaruhi masa depan mereka sebagai individu maupun profesional.
Pentingnya etika komunikasi dalam relasi dosen dan mahasiswa. Diperkuat oleh temuan Komnas HAM dan sejumlah kasus nyata yang mencuat ke publik, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang profesi dosen, melainkan sebagai dorongan agar pendidikan tinggi benar-benar menjadi ruang tumbuh, bukan trauma.
Masalah Nyata, Bukan Keluhan Emosional
Di balik gelar akademik dan status intelektual yang melekat pada sosok dosen, terdapat tanggung jawab moral yang tidak kalah penting dari tanggung jawab ilmiah: menjaga etika profesi. Dosen bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga pembentuk karakter dan teladan bagi mahasiswa. Namun, realitasnya, kita masih sering menjumpai atau mendengar kisah mahasiswa yang terluka secara emosional akibat sikap atau ucapan dosen yang kasar, merendahkan, bahkan menjatuhkan harga diri di hadapan publik.
Namun, realitasnya jauh dari ideal. Ini bukan semata-mata dugaan atau asumsi pribadi, Komnas HAM RI mencatat adanya laporan intimidasi terhadap mahasiswa dalam konteks kebebasan berekspresi dan akademik. Salah satu kasus terjadi pada Februari 2024, ketika sekelompok mahasiswa salah satu universitas ternama menjadi korban intimidasi saat hendak mengadakan diskusi ilmiah. Komnas HAM mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran atas hak mahasiswa untuk berpikir dan berekspresi secara bebas.
Lebih celaka lagi, sebagian besar kampus masih cenderung permisif terhadap perilaku seperti ini. Tidak sedikit mahasiswa merasa tidak memiliki ruang aman untuk menyampaikan keluhan, apalagi berharap keadilan. Sistem pengaduan internal kampus kerap kali memihak dosen sebagai “otoritas”. Etika profesi pun hanya menjadi dokumen mati, atau sekadar kutipan dalam pelatihan, bukan prinsip yang benar-benar hidup dalam praktik sehari-hari.
Ucapan kasar dari dosen bukan hanya sekadar “kesalahan komunikasi”. Dalam banyak kasus, ini adalah bentuk kekerasan verbal dan psikologis. Dampaknya bisa serius: mahasiswa merasa rendah diri, kehilangan motivasi belajar, bahkan mengalami tekanan mental yang berkepanjangan. Di tengah meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental di kalangan mahasiswa, sikap dan tutur kata dosen harus menjadi perhatian khusus. Banyak mahasiswa yang hanya bisa diam ketika dihina atau dipermalukan karena takut nilai mereka dipermainkan atau dicap sebagai pembangkang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa dosen wajib bersikap objektif, adil, dan tidak diskriminatif dalam interaksi dengan mahasiswa. Tindakan verbal yang merendahkan jelas melanggar semangat ini. Mengajar tidak memberi legitimasi untuk mempermalukan. Mendampingi bukan berarti mengintimidasi.
Peran Dosen yang Sesungguhnya
Menjadi dosen bukan sekadar menyampaikan materi ajar atau menulis jurnal ilmiah. Lebih dari itu, dosen adalah penjaga ruang aman belajar dan panutan dalam berpikir kritis sekaligus bersikap santun. Maka ketika kata-kata seorang dosen justru menjadi sumber luka, kita harus bertanya kembali: apa sebenarnya makna menjadi pendidik?
Dosen seharusnya hadir sebagai pembina, bukan penghukum; sebagai fasilitator pertumbuhan, bukan penghambat potensi. Dalam konteks ini, dosen perlu menyadari bahwa relasi akademik bukan relasi kuasa absolut, melainkan relasi pendampingan yang dilandasi empati dan penghormatan terhadap martabat mahasiswa sebagai insan pembelajar.
Institusi pendidikan tinggi harus lebih aktif dalam memastikan penegakan kode etik dosen. Kode etik bukan hanya harus dimiliki, tetapi juga dijadikan bagian dari budaya organisasi kampus. Pelatihan etika profesi perlu menjadi agenda berkelanjutan, bukan hanya saat pengangkatan jabatan fungsional, tetapi juga sebagai bagian dari evaluasi kinerja rutin.
Di sisi lain, mahasiswa juga perlu diberi ruang yang adil dan terlindungi untuk menyuarakan pengalaman mereka tanpa takut akan konsekuensi akademik. Sistem pengaduan harus dibuat transparan, melibatkan pihak ketiga yang independen jika perlu, dan memastikan perlindungan identitas pelapor.
Etika bukan sekadar teori yang diajarkan dalam ruang kuliah, melainkan sikap hidup yang seharusnya menjadi napas setiap dosen dalam menjalankan tugas akademiknya. Ketika kata-kata seorang dosen tidak lagi menjadi sumber semangat, melainkan pemicu luka, maka sudah waktunya kita mengevaluasi ulang wajah pendidikan tinggi kita.
Jika dunia akademik ingin tetap relevan dan dihormati, maka ia harus mulai dari hal yang paling mendasar: menjadikan etika sebagai napas dalam setiap interaksi. Karena sebanyak apapun gelar dan jurnal yang dimiliki seorang dosen, tidak akan berarti jika ucapannya justru membuat mahasiswa merasa hina, bukan berkembang.
Lebih penting lagi, kampus harus mengubah paradigma: dari “melindungi nama baik institusi” menjadi “melindungi nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan”. Sebab kampus bukan ruang kekerasan satu arah. Kampus adalah ruang pertumbuhan intelektual dan kemanusiaan. Dalam ruang itu, dosen harus menjadi teladan, bukan trauma.
Penulis:
- Arisna Natalia Br Ginting merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E., M.M. merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.