Apa Itu Rasisme dalam Sepak Bola?
Rasisme adalah pandangan yang menganggap satu ras lebih unggul dari yang lain, sehingga memicu diskriminasi berdasarkan warna kulit, etnis, atau asal usul. Dalam sepak bola, masalah ini telah lama ada sejak olahraga ini mendunia dan melibatkan berbagai latar belakang. Sepak bola yang seharusnya menjadi simbol persatuan justru sering mencerminkan ketegangan sosial, di mana pemain, pelatih, dan suporter minoritas masih kerap menjadi korban ejekan, pelecehan, hingga perlakuan tidak adil. Pada era 1970-an hingga 1990-an, pemain kulit hitam di Eropa bahkan dilempari pisang dan diteriaki sorakan rasis dari tribun. Meskipun kampanye seperti Kick It Out dan No to Racism telah digalakkan, insiden rasisme tetap terjadi, baik di stadion maupun media sosial. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan mencoreng nilai-nilai sportivitas dalam sepak bola.
Kampanye Anti-Rasisme yang Pernah Dilakukan
"Kick Racism Out of Football" adalah kampanye anti-rasisme yang dimulai di Inggris pada awal 1990-an dan berkembang menjadi organisasi independen bernama Kick It Out pada tahun 1997. Kampanye ini bertujuan menghilangkan rasisme dan segala bentuk diskriminasi dalam sepak bola, baik di dalam maupun di luar lapangan, serta menciptakan lingkungan yang adil, inklusif, dan setara bagi semua pihak termasuk pemain, pelatih, official, dan pendukung.
Di tingkat internasional, FIFA mulai mengampanyekan slogan “Say No to Racism” pada tahun 2002 sebagai bagian dari komitmen global melawan diskriminasi. UEFA juga bekerja sama dengan organisasi Football Against Racism in Europe (FARE) sejak 2001 untuk mengadakan berbagai aksi anti-diskriminasi di kompetisi seperti Liga Champions dan Piala Eropa. Kampanye-kampanye ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga mencakup pendidikan, pelaporan insiden, dan dukungan kebijakan guna memperkuat nilai-nilai kesetaraan dalam sepak bola. Namun, apakah kampanye ini hanyalah slogan tanpa tindakan? Sebab, meskipun pesan anti-rasisme sering diucapkan, kasus diskriminasi terus terjadi, menunjukkan bahwa pelaksanaan di lapangan belum sepenuhnya bekerja.
Kasus-Kasus Rasisme yang Menonjol
- Dani Alves, Barcelona (2014): Dilempari pisang saat melawan Villarreal
- Kalidou Koulibaly, Napoli (2018): Dihina dengan suara monyet saat lawan Inter Milan.
- Vinícius Jr, Real Madrid (2023): Disebut “monyet” oleh suporter Valencia.
- Mario Balotelli, Brescia (2019): Hentikan permainan karena sorakan rasis.
- Marcus Rashford, Jadon Sancho, Bukayo Saka, Inggris (Euro 2020): Dihina secara rasial di media sosial setelah gagal penalti.
Semua kasus ini menunjukkan bahwa rasisme dalam sepak bola masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan nyata, meskipun berbagai kampanye anti-rasisme terus digalakkan di seluruh dunia.
Dampak Buruk Rasisme dalam Sepak Bola
1. Dampak bagi Pemain
- Pemain yang menjadi korban rasisme sering mengalami stres, kecemasan, hingga depresi akibat hinaan dan perlakuan diskriminatif.
- Rasisme bisa membuat pemain merasa tidak dihargai, yang berdampak pada performa dan motivasi di lapangan.
- Beberapa pemain memilih meninggalkan klub, bahkan pensiun dini karena tekanan psikologis yang terlalu berat.
2. Dampak bagi Suporter
- Suporter dari kelompok minoritas merasa terancam dan tidak nyaman saat hadir di stadion, karena takut mendapat perlakuan serupa.
- Banyak suporter yang akhirnya tidak mau hadir langsung di pertandingan atau menjadi bagian dari komunitas sepak bola.
Dunia sepak bola secara keseluruhan sangat terpengaruh oleh rasisme. Tindakan diskriminatif justru merusak nilai-nilai sportivitas dan persatuan yang seharusnya menjadi dasar dari olahraga ini. Sepak bola, yang seharusnya menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, malah menimbulkan konflik. Selain itu, kejadian rasisme yang menjadi perhatian publik mempengaruhi reputasi klub, liga, bahkan negara di mata dunia. Reputasi sepak bola sebagai olahraga yang inklusif di seluruh dunia juga terancam. Hal ini akan mengurangi kepercayaan publik dan mengurangi keterlibatan berbagai elemen dalam dunia sepak bola, seperti pemain, suporter, dan pelaku industri.
Tindakan Nyata yang Mulai Diterapkan
Perlawanan terhadap rasisme dalam sepak bola kini semakin kuat dan mendapat perhatian lebih besar. Organisasi seperti FIFA dan UEFA mulai mengambil tindakan tegas, termasuk penghentian pertandingan, denda, hingga pengurangan poin bagi klub yang gagal mengendalikan rasisme. Di tambah dengan adanya teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk melacak ujaran kebencian di media sosial, dan kampanye digital seperti #StopRacism serta #NoRoomForRacism terus digaungkan. Pemain, klub, dan organisasi kini juga lebih aktif menyuarakan dukungan terhadap keberagaman dan menolak diskriminasi. Selain itu, pendidikan sangat penting untuk melawan rasisme dalam jangka panjang. Toleransi, saling menghargai, dan keberagaman sekarang menjadi bagian dari program pembinaan pemain muda di beberapa akademi sepak bola. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menciptakan generasi pemain sepak bola baru yang sadar sosial dan mampu membawa perubahan. Banyak komunitas suporter yang berpartisipasi dalam gerakan anti-diskriminasi, membentuk aliansi yang berfokus pada pembentukan tribun yang aman dan ramah untuk semua.
Rasisme di sepak bola bukanlah masalah kecil yang dapat dibiarkan. Tindakan diskriminatif ini tidak hanya melukai para korban secara pribadi, tetapi juga menghilangkan rasa persatuan dan sportivitas yang seharusnya ada dalam olahraga. Selain itu, rasisme merusak reputasi, kepercayaan, dan masa depan industri sepak bola di seluruh dunia. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak klub, pemain, otoritas, dan suporter berkolaborasi untuk benar-benar menghapus rasisme dari sepak bola. Sepak bola dapat benar-benar menjadi tempat yang menggabungkan, bukan memecah-belah. Kita harus mencapai dunia sepak bola yang adil dan adil bagi semua orang.
Biodata Penulis:
Dias Ghany Arrofi saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.