Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Loyal pada Target, Ingkar pada Etika

Di tengah budaya kerja yang menuntut pencapaian target, etika profesional sering terabaikan. Saat angka jadi segalanya, nilai-nilai moral perlahan ...

Dalam dunia kerja modern, kata “target” bisa jadi adalah mantra paling populer. Setiap awal bulan, akhir kuartal, atau penutupan tahun, target selalu menjadi fokus utama. Tidak ada rapat yang dimulai tanpa menyebutnya, dan tidak ada evaluasi yang selesai tanpa membandingkan pencapaian dengan target yang ditetapkan. Ia menjadi tolak ukur utama dalam menilai kinerja: apakah seseorang sukses atau gagal, layak dipromosikan atau harus tersisih. Namun, di balik dominasi angka dan pencapaian itu, ada sesuatu yang mulai kabur dari pandangan kita: etika.

Loyal pada Target, Ingkar pada Etika
Sumber: Freepik

Etika profesional bukanlah sesuatu yang mewah. Ia seharusnya menjadi fondasi dasar dari setiap tindakan, bukan aksesori yang dikenakan saat situasi menguntungkan. Tapi hari-hari ini, etika sering kali dianggap sebagai penghambat. Ia disebut terlalu idealis, tidak fleksibel, dan kadang, dianggap tidak realistis dalam dunia kerja yang serba cepat dan kompetitif. Maka tak heran jika pelanggaran-pelanggaran kecil dibiarkan, dimaklumi, bahkan dijustifikasi, asalkan tujuan akhirnya tercapai.

Kita tentu ingat bagaimana kasus PT Garuda Indonesia mencuat ke permukaan pada 2018. Di tengah tekanan untuk menunjukkan kinerja yang membaik, laporan keuangan perusahaan maskapai pelat merah itu tiba-tiba mencatatkan laba. Namun dua komisaris, termasuk Peter F. Gontha, menolak menandatangani laporan tersebut karena menganggap angka yang ditampilkan tidak jujur. “Kami berdua menolak menandatangani laporan karena kami melihat ini manipulatif dan tidak sesuai dengan prinsip akuntansi,” kata Peter, seperti dikutip dari CNBC Indonesia (27 Juni 2019).

Kutipan itu menjadi penanda bahwa bahkan di level tertinggi sekalipun, tekanan untuk tampil baik di atas kertas bisa menggeser nilai-nilai dasar dalam profesi. Target menjadi tujuan yang harus dicapai, apa pun konsekuensinya. Kejujuran, transparansi, dan integritas bisa jadi hanya akan dibawa pulang sebagai keresahan pribadi di luar kantor.

Sayangnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di satu perusahaan atau sektor. Ia menyebar seperti penyakit menahun di berbagai bidang. Di rumah sakit, dokter bisa ditekan untuk menawarkan prosedur tambahan demi peningkatan pendapatan. Di institusi pendidikan, guru “disarankan” agar meluluskan siswa demi menjaga angka kelulusan. Di lembaga negara, laporan program sering kali dirancang seolah-olah berjalan ideal, meskipun realitasnya jauh dari harapan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika semua ini mulai dianggap wajar. Ketika pelanggaran kecil dianggap bagian dari strategi. Ketika manipulasi data dilihat sebagai “cara kreatif menyampaikan informasi”. Etika tidak lagi menjadi fondasi, melainkan jadi pilihan—dan sering kali, pilihan terakhir. Namun di titik ini kita patut bertanya: jika prosesnya tidak jujur, apakah hasilnya masih bisa dibanggakan?

Banyak yang berkilah bahwa dalam dunia nyata, semua orang melakukan hal yang sama. Bahwa sistem memaksa, dan kadang, untuk bertahan, kita perlu berkompromi. Tapi justru karena semua orang mulai terbiasa, pelanggaran itu terasa normal. Bahkan mereka yang ingin tetap berjalan di jalur etis mulai merasa terasing, seolah prinsip adalah beban dan integritas adalah kelemahan. Padahal, dalam jangka panjang, keberhasilan yang tidak dibangun di atas etika hanya akan menghasilkan kehancuran yang tertunda. Organisasi yang mengabaikan etika akan kehilangan dua hal paling penting: kepercayaan dan rasa hormat. Tanpa keduanya, angka-angka yang ditampilkan hanya menjadi ilusi. Kita mungkin bisa menipu publik untuk sementara waktu, tapi kita tidak bisa menipu waktu selamanya.

Itulah mengapa penting untuk mengembalikan etika ke pusat pengambilan keputusan. Bukan sekadar jargon pelatihan atau isi buku pedoman kerja. Etika harus hadir dalam percakapan sehari-hari. Dalam rapat, dalam laporan, dalam diskusi antar-rekan, dan—yang paling penting—dalam hati nurani setiap profesional. Kita juga perlu meninjau ulang makna keberhasilan. Sukses tidak selalu berarti pencapaian tertinggi dalam angka. Sukses juga berarti bisa mempertahankan nilai, menjaga proses tetap bersih, dan merasa tenang saat menatap cermin di akhir hari. Dunia kerja seharusnya bukan arena pertarungan siapa paling cepat dan paling menguntungkan, tapi siapa yang tetap bisa dipercaya dan mampu bertanggung jawab.

Di tengah tekanan yang begitu besar untuk memenuhi target, kita memang tak selalu punya banyak pilihan. Tapi selama kita masih punya kendali atas cara kita bekerja, maka kita juga masih punya tanggung jawab untuk tidak kehilangan arah. Karena pada akhirnya, bukan angka yang membuat kita dihormati, tapi cara kita mencapainya.

Kristin Danda Yuliani Lingga

Penulis:

  • Kristin Danda Yuliani Lingga merupakan mahasiswa, Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  • Yessy Angelina Lingga merupakan mahasiswa, Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  • Helena Sihotang, S.E., M.M. merupakan dosen tetap, Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.