Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mahasiswa dalam Jerat Flexing: Ketika Etika Hilang, Masa Depan Bangsa Dipertaruhkan

Di tengah arus modernisasi, banyak mahasiswa yang kehilangan arah, lebih sibuk mengejar eksistensi di media sosial daripada memahami esensi ...

Mahasiswa sering disebut sebagai "agent of change", ujung tombak perubahan yang diharapkan mampu membawa bangsa ke arah yang lebih baik. Namun, apa jadinya jika generasi mahasiswa justru tersesat dalam kegelapan? Mereka yang seharusnya menjadi harapan bangsa kini menghadapi kenyataan pahit: peran mereka semakin kabur, nilai-nilai moral kian terpinggirkan, dan tanggung jawab sosial mulai terabaikan. “Generasi Mahasiswa dalam Kegelapan: Ketika Etika Hilang, Masa Depan Dipertaruhkan” bukan sekadar ungkapan, melainkan refleksi dari kondisi yang nyata terjadi di sekitar kita.

Di tengah arus modernisasi, banyak mahasiswa yang kehilangan arah, lebih sibuk mengejar eksistensi di media sosial daripada memahami esensi perjuangan intelektual. Etika yang seharusnya menjadi fondasi berpikir dan bertindak kini sering dianggap sebagai aturan kaku yang bisa diabaikan. Akibatnya, pragmatisme tumbuh subur, kepentingan pribadi lebih diutamakan, dan kepedulian terhadap sekitar semakin terkikis. Mereka yang dulu dikenal sebagai penggerak perubahan kini justru sering terjebak dalam konflik dangkal, lebih sibuk mengkritik tanpa menawarkan solusi, atau bahkan memilih diam saat ketidakadilan terjadi di depan mata.

Mahasiswa dalam Jerat Flexing
Sumber: Freepik

Ketika etika hilang, bukan hanya individu yang merugi, tetapi juga masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Tanpa integritas, tanggung jawab, dan kesadaran akan peran sosialnya, mahasiswa hanya akan menjadi generasi yang cerdas di atas kertas tetapi kosong dalam kontribusi nyata. Pertanyaannya, apakah generasi ini masih memiliki kesadaran untuk keluar dari kegelapan ini, atau justru semakin tenggelam dalam pragmatisme yang mengorbankan nilai-nilai fundamental?

Mahasiswa mempunyai kedudukan sebagai generasi muda penerus bangsa ini di masa yang akan datang kelak. Mahasiswa harus bisa menjadi pelopor masyarakat, memberikan perubahan-perubahan yang berdampak positif dan membangun kehidupan masyarakat serta menanamkan nilai-nilai positif dalam masyarakat (Martadinata, 2019).

Idealisme yang Terkikis

Di dunia akademik, pendidikan kehilangan esensinya. Plagiarisme, mencontek, dan sekadar mengejar nilai tanpa memahami materi menjadi hal yang lumrah. Budaya instan menggantikan pemikiran kritis, menciptakan generasi yang unggul di atas kertas tetapi minim integritas dan kreativitas.

Secara sosial, mahasiswa lebih banyak sibuk dengan eksistensi semu di media sosial dibandingkan aksi nyata. Solidaritas mulai terkikis, kepedulian terhadap isu sosial memudar, dan debat tanpa solusi menjadi kebiasaan. Sementara dalam politik, idealisme yang dulu menjadi kekuatan kini mulai terkikis. Banyak mahasiswa memilih diam, atau bahkan larut dalam kepentingan pragmatis, mengorbankan peran mereka sebagai motor perubahan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah fenomena budaya flexing— banyak mahasiswa lebih tertarik menampilkan citra sukses, gaya hidup mewah, dan pencapaian semu di media sosial daripada menghadapi realita yang sebenarnya. Mereka lebih sibuk mempertahankan tampilan luar daripada memperjuangkan substansi perubahan bagi bangsa. Ketimbang menyingsingkan lengan dan turun ke lapangan, banyak dari mereka berlomba menunjukkan keberhasilan yang belum tentu berdampak sosial. Flexing bukan hanya soal materi, tapi juga tentang pencapaian akademik yang dikemas hanya untuk disorot, bukan untuk memberi kontribusi. Gaya hidup dan eksistensi digital justru menjadi pengalih perhatian dari realitas kompleks bangsa ini yang seharusnya mereka hadapi.

Jika kondisi ini terus berlanjut, kita akan menghadapi generasi mahasiswa yang cerdas dalam teori tetapi kosong dalam kontribusi. Kini, pertanyaannya bukan lagi seberapa lantang mereka berbicara, tetapi apakah mereka masih memiliki keberanian untuk menjalankan peran sejatinya?

Perubahan Butuh Aksi

Mengembalikan peran mahasiswa sebagai agen perubahan membutuhkan kesadaran dan aksi nyata. Pendidikan bukan sekadar soal gelar atau nilai, tetapi tentang membangun karakter dan kompetensi yang berintegritas. Kampus harus menanamkan kembali nilai etika dan tanggung jawab akademik, menekan budaya instan, serta mendorong mahasiswa berpikir kritis dan inovatif. Dosen juga berperan membimbing mahasiswa, tidak hanya dalam akademik, tetapi juga dalam membangun kepedulian sosial.

Mahasiswa harus beralih dari eksistensi maya menuju aksi nyata. Kritik tanpa solusi harus digantikan dengan keterlibatan langsung dalam gerakan sosial dan komunitas. Solidaritas yang memudar perlu dibangun kembali melalui interaksi bermakna dan kepedulian terhadap sesama. Mereka tidak bisa hanya menjadi pengamat, tetapi harus terlibat dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Dalam ranah politik, idealisme yang terkikis harus dihidupkan kembali. Perubahan tidak cukup hanya dengan kritik dan demonstrasi, tetapi juga solusi nyata dan keberanian untuk terlibat dalam sistem. Organisasi mahasiswa dan gerakan independen harus menjadi wadah untuk membangun kepemimpinan yang berintegritas.

Budaya flexing juga harus dihentikan. Mahasiswa yang lebih sibuk membangun citra pribadi tanpa kontribusi nyata terhadap bangsa justru memperburuk keadaan. Eksistensi digital seharusnya menjadi sarana membangun pengaruh positif dan kepedulian sosial, bukan sekadar media untuk membanggakan pencapaian pribadi yang terlepas dari realitas sekitar. Belajar dan berkembang di mana pun, termasuk di luar negeri atau dalam jaringan digital global, seharusnya menjadi peluang untuk membawa energi perubahan kembali ke tanah air, bukan untuk menghindari keterlibatan.

Mahasiswa memiliki peran penting sebagai agen perubahan, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak dari mereka kini kehilangan arah. Krisis etika, hilangnya idealisme, dan budaya pragmatisme semakin menjauhkan mahasiswa dari tanggung jawab sosialnya. Jika generasi ini terus larut dalam eksistensi semu, kepentingan pribadi, dan sikap apatis, maka masa depan bangsa berada dalam ancaman.

Namun, masih ada harapan. Dengan kesadaran kolektif, mahasiswa dapat kembali menjalankan peran sejatinya. Etika, kepedulian sosial, dan idealisme harus dikembalikan sebagai nilai fundamental dalam dunia akademik, sosial, dan politik. Perubahan tidak akan terjadi jika hanya sebatas wacana—diperlukan aksi nyata, keberanian, dan komitmen untuk memperbaiki kondisi bangsa. Kini, keputusan ada di tangan mahasiswa: tetap tenggelam dalam kegelapan atau bangkit dan menjadi generasi yang benar-benar membawa perubahan.

Penulis:

  1. Rika Pergina Br Tarigan merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  2. Helena Sihotang, S.E., M.M merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.