Membentuk Mahasiswa Unggul Lewat Etika

Etika bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi penting membentuk mahasiswa unggul. Yuk, bangun karakter kuat lewat budaya etis di kampus!

Dalam dunia pendidikan tinggi, keberhasilan mahasiswa tidak hanya diukur dari prestasi akademik semata, tetapi juga dari karakter dan integritas yang mereka tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa unggul adalah mereka yang mampu berpikir kritis, memiliki tanggung jawab sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap tindakan. Di sinilah etika memegang peran penting. Etika bukan hanya pelengkap dalam proses pendidikan, melainkan fondasi utama dalam membentuk kepribadian mahasiswa yang utuh dan dapat dipercaya.

Membentuk Mahasiswa Unggul Lewat Etika

Menurut Lickona (2012), “Karakter yang kuat dibangun melalui integrasi antara pengajaran nilai moral dan pembiasaan etika dalam lingkungan pendidikan.” Hal ini diperkuat oleh laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2020), yang menekankan bahwa pendidikan karakter berbasis etika menjadi kunci dalam menghasilkan lulusan berintegritas tinggi yang siap menghadapi tantangan global.

Tanpa etika, kecerdasan bisa berujung pada manipulasi; prestasi bisa dicapai dengan cara curang; dan status “mahasiswa” kehilangan maknanya sebagai pelopor perubahan. Mahasiswa yang hanya cerdas tapi tidak beretika akan kesulitan membangun kepercayaan, baik dalam skala kampus maupun di masyarakat luas. Padahal kepercayaan adalah kunci utama dalam setiap bentuk kepemimpinan dan kontribusi sosial.

Pendidikan etika seharusnya tidak hanya diajarkan dalam satu atau dua mata kuliah saja, melainkan menjadi budaya yang hidup dalam lingkungan kampus. Mulai dari sikap saling menghargai di kelas, kejujuran saat ujian, hingga tanggung jawab dalam organisasi, semuanya adalah bagian dari pembelajaran etika. Mahasiswa perlu dibekali kesadaran bahwa unggul bukan berarti menang sendiri, tetapi mampu memberi manfaat bagi orang lain dengan cara yang benar.

Dengan membangun etika sejak masa kuliah, kita sedang mencetak pemimpin masa depan yang bukan hanya cakap berpikir, tetapi juga bersih hati. Mahasiswa unggul adalah mereka yang tahu batas, tahu arah, dan mampu menempatkan diri di tengah dinamika sosial dengan cara yang bermartabat. Karena pada akhirnya, etika adalah bekal hidup yang tidak akan pernah usang.

Mahasiswa Kurang Sadar Pentingnya Etika

Kesadaran akan pentingnya etika di kalangan mahasiswa masih rendah banyak yang menganggap pencapaian akademik lebih utama daripada integritas. Padahal, tanpa pijakan moral, prestasi akademik bisa dicapai melalui plagiarisme, kecurangan, dan tindakan tidak bertanggung jawab lainnya. Kondisi ini mengancam reputasi kampus dan merusak kepercayaan publik terhadap lulusan yang dihasilkan.

Menurut Rahmian Rachman (2022) “masih kurangnya pemahaman tentang kesadaran mahasiswa akan etika berbicara, membuat janji bertemu, berkirim pesan dan berperilaku dalam kehidupan kampus” Ini menunjukkan bahwa aspek etika dasar seperti sopan santun dan komunikasi sering diabaikan.

Bagi saya, kesadaran etika harus dipahami sebagai landasan utama sebelum kemampuan akademik berkembang. Etika bukan hanya soal aturan formal, tetapi soal kesadaran menjadi pribadi yang dapat dipercaya, menghargai orang lain, dan bertindak dengan integritas baik di dalam kelas, maupun di dunia maya.

Selain itu, dosen dan pimpinan kampus harus menjadi teladan. Saat mahasiswa melihat kejujuran, rasa hormat, dan tanggung jawab ditunjukkan oleh figur yang mereka hormati, mereka lebih terdorong meneladani. Ditambah, sistem penghargaan dan sanksi berbasis etika akan memperkuat budaya baru ini.

Tumbuhkan Teladan dari Civitas Akademika

Menumbuhkan etika lewat keteladanan civitas akademika dosen, staf, dan pimpinan kampus merupakan strategi utama dalam membentuk budaya integritas. Ketika figur otoritas kampus menunjukkan kejujuran, rasa hormat, dan tanggung jawab, mereka memberikan contoh nyata bagi mahasiswa. Etika bukan hanya teori, tetapi gaya hidup yang paling efektif diajarkan lewat perilaku sehari-hari.

Studi akademik membuktikan bahwa ketika dosen dan pembimbing bertindak secara etis seperti menjaga integritas dalam penelitian, adil memberi nilai, dan transparan dalam penanganan konflik maka mahasiswa cenderung memiliki moral yang lebih baik serta berkurang perilaku menyimpang seperti plagiarisme.

Lingkungan akademik yang dipenuhi keteladanan etis akan membentuk “iklim etika” yang kuat. Artinya, mahasiswa tidak hanya diajari nilai-nilai etis secara teori, tetapi juga melihat bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam keseharian civitas.

Oleh karena itu, kampus perlu menciptakan program yang mendukung hal ini. Misalnya, pengakuan rutin seperti “dosen teladan etika” atau insentif bagi staf yang consistently menunjukkan nilai moral tinggi. Ditambah pelatihan kepemimpinan etis agar figur kampus semakin sadar dan terlatih menjadi panutan.

Selain itu, forum reflektif tentang dilema etis misalnya dalam pengajaran, penelitian, atau urusan administratif dapat dijadikan ruang diskusi terbuka. Dengan begitu, bukan hanya mahasiswa yang diajak berpikir, tetapi civitas juga saling belajar dan memperkuat komitmen pada nilai bersama.

Dengan keteladanan etis yang konsisten dan sistem penghargaan serta refleksi yang mendukung, kampus akan mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki integritas, rasa tanggung jawab, dan reputasi yang baik di masyarakat. Etika pun menjadi bagian hidup, bukan sekadar slogan di dinding.

Penulis:

  1. Fransiska Luri
  2. Helena Sihotang, S.E., M.M.

© Sepenuhnya. All rights reserved.