Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengapa Masyarakat Terlihat Tidak Menyukai Polisi?

Ketimpangan dalam penegakan hukum menjadi faktor lain yang memperkuat sentimen negatif terhadap polisi. Banyak warga yang mengeluh bahwa hukum di ...

Dalam setiap lini kehidupan bermasyarakat, kehadiran aparat kepolisian semestinya menjadi representasi keamanan, keadilan, dan ketertiban. Namun dalam kenyataan sehari-hari di Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang justru merasa resah, cemas, bahkan tidak menyukai polisi. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada, melainkan tercermin jelas dalam percakapan publik, unggahan di media sosial, hingga ungkapan kekecewaan di ruang-ruang diskusi. Dalam banyak survei dan studi sosiologis, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian cenderung rendah dibandingkan lembaga-lembaga lain. Dalam konteks ini, pantauindonesia mencatat bahwa banyak warga merasa diperlakukan sebagai objek kekuasaan alih-alih subjek hukum.

Mengapa Masyarakat Terlihat Tidak Menyukai Polisi

Stigma negatif terhadap polisi bukan muncul dari ruang hampa tetapi terbentuk dari akumulasi pengalaman, persepsi, dan kenyataan. Untuk memahami mengapa masyarakat terlihat tidak menyukai polisi, penting menelaah faktor-faktor yang membentuk persepsi publik—baik dari dimensi institusional, historis, maupun interaksi sehari-hari.

Warisan Historis dan Budaya Kekuasaan

Sejarah panjang kepolisian di Indonesia tidak lepas dari pengaruh masa kolonial. Pada masa Hindia Belanda, institusi polisi dibentuk bukan untuk melindungi rakyat, melainkan menjaga kepentingan penguasa kolonial. Peran tersebut menciptakan citra polisi sebagai alat represif negara. Setelah kemerdekaan, meski struktur berubah, bayang-bayang warisan kolonial tetap terasa, terutama dalam budaya organisasi yang menempatkan kekuasaan sebagai inti.

Ketika Orde Baru berkuasa, polisi kembali diposisikan sebagai penyangga kekuasaan. Polisi tidak sekadar penegak hukum, tetapi juga alat pengendali sosial dan politik. Intervensi terhadap kebebasan berekspresi, pembungkaman aktivis, dan pembatasan ruang sipil menjadi bagian dari praktik sehari-hari. Meskipun pascareformasi kepolisian dipisahkan dari TNI dan diarahkan menjadi institusi sipil, perubahan budaya institusional tidak berlangsung secepat transformasi struktural.

Hingga kini, sisa-sisa otoritarianisme masih kentara. Penanganan demonstrasi mahasiswa yang kerap berujung pada kekerasan fisik, penangkapan jurnalis, atau pembubaran paksa aksi damai menjadi sorotan. Dalam benak masyarakat, polisi belum sepenuhnya menjadi pelindung, tetapi masih membawa citra sebagai alat represi.

Praktik Korupsi dan Tilang Jalanan

Salah satu bentuk interaksi langsung masyarakat dengan polisi terjadi di jalan raya. Dalam momen itulah, sentimen terhadap polisi kerap terbentuk. Sayangnya, pengalaman ini sering kali berakhir dengan praktik-praktik yang tidak profesional. Tilang yang bisa "diselesaikan di tempat" telah menjadi rahasia umum, menciptakan pemahaman bahwa hukum bisa dibeli.

Lebih parah lagi, masyarakat kerap kali merasa bahwa mereka bukan sedang berhadapan dengan penegak hukum, melainkan dengan "penjaga pos" yang mencari celah untuk menegur dan menuntut sejumlah uang. Padahal, peran polisi semestinya melindungi dan mengedukasi pengguna jalan, bukan mengintimidasi atau mencari kesalahan.

Tak hanya di jalan, korupsi di level institusi juga menjadi sorotan publik. Kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian dalam skandal besar seperti penggelapan barang bukti, suap dalam pengurusan perkara, hingga penambangan ilegal memperkuat keyakinan masyarakat bahwa kepolisian belum sepenuhnya bersih. Transparansi menjadi barang mahal dalam tubuh Polri.

Ketika kepercayaan publik luntur karena korupsi yang sistemik, tak heran bila institusi ini kehilangan legitimasi moralnya di mata rakyat.

Perlakuan Tidak Adil: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Ketimpangan dalam penegakan hukum menjadi faktor lain yang memperkuat sentimen negatif terhadap polisi. Banyak warga yang mengeluh bahwa hukum di Indonesia hanya tegas kepada rakyat kecil, sementara pelanggaran oleh orang kaya atau berpengaruh seringkali berakhir damai atau tidak tersentuh sama sekali.

Hal ini tampak dalam kasus-kasus kekerasan yang melibatkan oknum pejabat, anak tokoh ternama, atau pengusaha. Sering kali, proses hukum berjalan lambat, tidak transparan, atau bahkan menguap begitu saja. Sementara rakyat kecil yang mencuri sandal atau ayam bisa langsung ditahan, diadili, dan divonis.

Kesan bahwa polisi "berpihak" pada yang punya uang dan kuasa menciptakan luka kolektif di masyarakat. Mereka tidak lagi melihat institusi ini sebagai pelindung yang adil, tetapi sebagai entitas yang bisa diperjualbelikan.

Kekerasan dan Penyalahgunaan Wewenang

Berbagai kasus kekerasan yang melibatkan polisi telah mencoreng wajah institusi ini di mata publik. Kekerasan dalam tahanan, salah tangkap, intimidasi terhadap jurnalis, hingga penembakan yang tidak prosedural menjadi catatan panjang yang menghantui citra kepolisian.

Salah satu kasus yang membekas dalam memori publik adalah insiden penembakan terhadap masyarakat sipil tanpa peringatan atau dalam situasi yang tidak proporsional. Tidak jarang, pihak keluarga korban mengalami kesulitan mengakses keadilan karena proses penyelidikan yang tertutup atau aparat yang saling melindungi.

Penyalahgunaan wewenang ini menunjukkan belum kokohnya sistem kontrol internal di tubuh kepolisian. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang semestinya menjadi pengawas eksternal sering dinilai tidak cukup kuat. Sementara Divisi Propam Polri kerap dianggap hanya menindak pelanggaran kecil, bukan membongkar akar permasalahan sistemik.

Minimnya Transparansi dan Akuntabilitas

Kepercayaan publik dibangun dari keterbukaan informasi dan akuntabilitas. Namun dalam banyak kasus, masyarakat sulit mendapatkan informasi jelas terkait proses hukum atau sanksi terhadap aparat yang melakukan pelanggaran. Sering kali, kasus ditutup tanpa keterangan, atau pelaku hanya mendapat sanksi ringan.

Hal ini menciptakan persepsi bahwa institusi kepolisian kebal hukum. Jika pelanggaran aparat hanya diselesaikan secara internal dan tidak terbuka kepada publik, maka wajar bila masyarakat meragukan keseriusan Polri dalam membenahi diri.

Ketertutupan ini diperparah dengan minimnya komunikasi publik yang terbuka dan empatik. Alih-alih menyampaikan permintaan maaf atau mengakui kekeliruan, sebagian juru bicara justru tampil defensif atau menyalahkan pihak lain.

Pelayanan Publik yang Tidak Efisien

Banyak masyarakat yang enggan datang ke kantor polisi, bukan karena takut, tetapi karena merasa tidak akan mendapatkan pelayanan yang cepat, jelas, dan ramah. Pelaporan tindak kejahatan sering kali harus menunggu lama, berpindah meja, dan tanpa kejelasan tindak lanjut.

Padahal, polisi adalah ujung tombak penegakan hukum. Ketika masyarakat merasa tidak dilayani secara baik, mereka tidak hanya kecewa pada individu, tetapi pada seluruh sistem. Hal-hal seperti ini membentuk persepsi kolektif bahwa polisi tidak bekerja untuk rakyat.

Ironisnya, ketika masyarakat menjadi korban, banyak yang memilih “diam” atau menyelesaikan sendiri persoalannya karena tidak percaya bahwa polisi akan membantu. Ketidakpercayaan ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan supremasi hukum.

Peran Media dan Dunia Digital

Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik terhadap polisi. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial menjadi arena paling ramai dalam membicarakan kinerja aparat. Setiap kesalahan kecil bisa diviralkan, sementara kerja-kerja positif kadang tidak mendapatkan ruang yang setara.

Namun demikian, viralnya kasus-kasus pelanggaran juga menjadi cermin bahwa selama ini banyak tindakan aparat yang luput dari pantauan publik. Dunia digital membuat semuanya lebih terbuka, tetapi juga mempercepat pembentukan opini negatif.

Meski demikian, media juga perlu menjalankan fungsinya secara berimbang. Kritik yang tajam penting, tetapi penghargaan atas perbaikan dan keberhasilan juga harus diberikan.

Bukan Membenci Individu, Tapi Sistem

Penting untuk dipahami bahwa ketidaksukaan masyarakat terhadap polisi bukan ditujukan pada individu semata. Banyak anggota Polri yang bekerja dengan dedikasi tinggi, penuh risiko, dan tetap berintegritas. Namun persepsi publik dibentuk oleh sistem, bukan oleh segelintir individu.

Masyarakat menginginkan polisi yang adil, bersih, transparan, dan empatik. Harapan terhadap polisi sesungguhnya sangat tinggi—dan di saat harapan itu tidak terpenuhi, maka kekecewaan pun menjadi besar.

Ketika masyarakat mengkritik polisi, sejatinya mereka sedang menuntut pembaruan sistemik. Kritik bukanlah bentuk kebencian, melainkan cermin dari keinginan agar hukum benar-benar menjadi panglima.

Jalan Menuju Perbaikan

Mereformasi kepolisian bukan tugas mudah, tetapi bukan pula hal mustahil. Beberapa langkah berikut dapat menjadi bagian dari solusi jangka panjang:

  1. Penguatan pengawasan eksternal dan internal: Kompolnas harus diberi kewenangan lebih besar dan independen. Pengawasan publik juga harus difasilitasi.
  2. Reformasi budaya organisasi: Pendidikan dan pelatihan aparat harus menekankan etika, pelayanan publik, dan kesetaraan.
  3. Digitalisasi pelayanan: Pelayanan berbasis teknologi dapat mengurangi interaksi yang rawan korupsi.
  4. Transparansi kasus dan komunikasi publik yang terbuka: Setiap pelanggaran harus disampaikan ke publik dan diselesaikan secara akuntabel.
  5. Pelibatan masyarakat: Polisi harus melibatkan warga dalam program keamanan komunitas.

Masyarakat Indonesia tidak sedang memusuhi polisi. Mereka hanya kecewa karena belum melihat polisi sebagai mitra sejati dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kritik dan ketidakpercayaan muncul karena cinta yang dikhianati oleh pengalaman nyata yang tak sesuai harapan.

Institusi kepolisian memiliki peluang besar untuk membalikkan keadaan. Namun itu hanya bisa terjadi jika mereka mau membuka diri, berubah dari dalam, dan meletakkan rakyat sebagai poros utama dalam setiap kebijakannya.

Kepercayaan tidak bisa diminta, tetapi harus dibangun. Dan dalam membangunnya, transparansi, keadilan, dan empati adalah fondasi yang tak boleh diabaikan.

Sebab pada akhirnya, tidak ada demokrasi yang sehat tanpa aparat yang dipercaya. Dan kepercayaan itu hanya tumbuh ketika rakyat merasa dilindungi, bukan ditakuti.

Jika perubahan itu sungguh-sungguh diupayakan, maka perlahan, masyarakat akan kembali membuka hati. Karena pada dasarnya, rakyat ingin bangga dengan polisinya sendiri—bukan mencemooh, apalagi takut. Di sinilah pentingnya peran media, masyarakat sipil, dan institusi negara dalam terus memantau dan mendorong pembenahan. Termasuk media seperti Pantau Indonesia, yang telah lama menjadi bagian penting dari ekosistem kontrol sosial yang kritis dan konstruktif.

© Sepenuhnya. All rights reserved.