Di era digital yang kian masif, arus informasi melintasi batas geografis dan budaya dengan cepat, memudahkan kita mengakses berbagai sumber berbahasa asing—terutama bahasa Inggris. Fenomena ini tak pelak menghadirkan tantangan besar bagi kelangsungan bahasa Indonesia sebagai identitas dan instrumen komunikasi nasional. Tanpa upaya sistematis, kita berisiko melihat generasi muda lebih fasih “ngobrol” dalam campuran bahasa asing daripada meresapi kekayaan bahasa ibu.
Latar Belakang dan Kerentanan Bahasa Indonesia
Perkembangan teknologi informasi—mulai media sosial, aplikasi pesan instan, hingga platform pembelajaran daring—membawa bahasa asing masuk ke ruang privat dan publik secara intensif. Istilah-istilah seperti “update”, “follower”, “streaming”, dan “feedback” semakin lazim dipakai, menggantikan padanan bahasa Indonesia yang sahih. Sementara itu, konten global berbahasa Inggris (film, musik, tutorial, artikel ilmiah) lebih mudah diakses ketimbang karya lokal.
Akibatnya, bahasa Indonesia menghadapi dua tekanan:
- Tekanan dari luar: kecepatan adopsi istilah asing tanpa padanan yang baku, serta superioritas konten global yang “lebih modern”.
- Tekanan dari dalam: lemahnya kurikulum bahasa Indonesia yang masih mengedepankan aspek sastra klasik ketimbang literasi digital, serta minimnya dukungan kebijakan dan insentif bagi pengembangan konten lokal.
Dampak Negatif Kehilangan Kelestarian Bahasa
1. Erosi Identitas Budaya
Bahasa adalah wadah nilai, sejarah, dan kearifan lokal. Kehilangan kedalaman makna kata akan memengaruhi cara kita memaknai pengalaman hidup, norma sosial, dan narasi kolektif bangsa. Contohnya, istilah “gotong royong” yang sarat nilai komunitas sulit diterjemahkan dalam satu kata asing, sehingga maknanya berpotensi kabur jika digantikan istilah generik seperti “collaboration”.
2. Kesenjangan Akses Informasi
Tidak semua lapisan masyarakat memiliki kompetensi bahasa asing. Dengan dominasi konten global, kelompok rentan—seperti lansia, masyarakat di daerah terpencil, dan pekerja dengan latar pendidikan terbatas—akan terkucil dari arus informasi dan peluang ekonomi digital. Hal ini menimbulkan ketimpangan sosial dan budaya yang semakin melebar.
3. Menurunnya Daya Saing Inovasi Lokal
Dalam dunia riset dan industri teknologi, publikasi dan dokumentasi dalam bahasa ibu sangat krusial untuk transfer pengetahuan. Tanpa istilah baku bahasa Indonesia untuk konsep-konsep baru (misalnya “edge computing”, “blockchain”, “digital twin”), peneliti dan praktisi lokal kesulitan berkomunikasi secara efektif, bahkan di lingkup nasional. Akibatnya, inovasi berpotensi “terkunci” dalam domain berbahasa asing dan kurang menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
Pilar-Pilar Penyelamatan Bahasa Indonesia
1. Penguatan Kebijakan dan Regulasi
- Peraturan Pemerintah: Mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia yang benar dalam dokumen resmi pemerintahan, iklan, dan konten layanan publik digital.
- Insentif bagi Konten Lokal: Subsidi pajak atau hibah bagi pelaku industri kreatif yang menghasilkan aplikasi, situs web, dan media pembelajaran berbahasa Indonesia.
2. Revitalisasi Kurikulum dan Pelatihan
- Kurikulum Literasi Digital: Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah dan perguruan tinggi diperluas mencakup penulisan konten web (SEO writing), blog, podcast, dan penulisan ilmiah digital.
- Pelatihan Guru dan Pengajar: Workshop rutin tentang pedagogi digital, pemanfaatan platform daring, serta kaidah ejaan dan istilah terbaru agar guru menjadi agen perubahan literasi bahasa yang relevan dengan zaman.
3. Standarisasi Terminologi dan Glosarium Digital
- Badan Bahasa Aktif: Mempercepat penerbitan dan sosialisasi daftar istilah baku teknologi dan sains dalam bahasa Indonesia.
- Kolaborasi Multistakeholder: Menggandeng universitas, komunitas TI, penerbit, dan organisasi internasional (seperti ISO) demi mengadopsi istilah yang konsisten dan mudah dipahami.
4. Pengembangan Ekosistem Konten Lokal
- Platform Lokal Unggul: Mendukung keberadaan platform streaming, e‑commerce, dan media sosial buatan Indonesia dengan infrastruktur andal dan model bisnis bersaing.
- Inkubator Kreator Digital: Membentuk sanggar digital yang menyediakan pendampingan teknis, storytelling, dan pemasaran bagi penulis, ilustrator, videografer, dan podcaster berbahasa Indonesia.
5. Kampanye Literasi dan Kesadaran Publik
- Gerakan “Bahasa Kita, Identitas Kita”: Kampanye nasional di media sosial, billboards, dan televisi untuk menanamkan kebanggaan berbahasa Indonesia.
- Influencer dan Tokoh Publik: Mengajak figur publik viral mempraktikkan padanan kata Indonesia dalam konten sehari‑hari, misalnya “unggah” (upload), “unduh” (download), “sunting” (edit).
Menjawab Skeptisisme dan Tantangan Implementasi
1. Keterbatasan Anggaran dan Sumber Daya
Solusi: Skema hibah bergilir, kemitraan publik‑swasta, dan crowdfunding untuk membiayai proyek literasi digital.
2. Resistensi Masyarakat Terhadap Perubahan Istilah
Solusi: Uji coba publikasi istilah baru di media lokal, kumpulkan masukan, dan terjemahkan istilah melalui proses iteratif hingga dapat diterima luas.
3. Persaingan dengan Platform Global
Solusi: Diferensiasi nilai: platform lokal menonjolkan konten bernuansa lokal (kearifan budaya, bahasa daerah) sekaligus menawarkan antarmuka penuh bahasa Indonesia.
Menjaga eksistensi bahasa Indonesia di era digital bukan sekadar tugas akademis, melainkan kewajiban kolektif yang berdampak pada identitas, inklusivitas, dan inovasi nasional. Melalui kebijakan proaktif, revitalisasi pendidikan, standarisasi terminologi, pengembangan konten lokal, serta kampanye kesadaran, kita dapat memastikan bahasa Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sebagai bahasa yang relevan dan dinamis.
Rekomendasi Aksi
- Pemerintah memperkuat regulasi penggunaan bahasa Indonesia di ranah digital dan memberikan insentif bagi kreator lokal.
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengintegrasikan literasi digital berbahasa Indonesia ke dalam kurikulum nasional.
- Badan Bahasa mempercepat penerbitan istilah baku, dilengkapi portal daring interaktif.
- Pelaku industri teknologi dan media membangun ekosistem platform lokal dengan dukungan storyteller dan pakar bahasa.
- Masyarakat luas aktif mengikuti Gerakan Cinta Bahasa Ibu dana mempraktikkan padanan kata Indonesia dalam keseharian digital. “Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan roh bangsa dalam merangkai masa depan digital.” Dengan sinergi semua pihak—pemerintah, akademisi, kreator, pendidik, dan pengguna internet—bahasa Indonesia akan terus menjadi fondasi kokoh di tengah arus globalisasi digital.