Pada awal Februari 2024, kabar yang selama bertahun-tahun hanya menjadi bisikan akhirnya menjadi kenyataan. Lewis Hamilton resmi bergabung dengan Ferrari untuk musim 2025. Setelah lebih dari satu dekade di Mercedes dan meraih enam gelar dunia bersama tim tersebut, sang juara memilih menutup kariernya dengan seragam merah legendaris. Keputusan ini bukan sekadar transfer biasa, ini adalah babak baru dalam Sejarah Formula 1.
Perpisahan dari Era Emas, Akhir Era Mercedes?
Lewis Hamilton pertama kali datang ke Mercedes pada 2013 dengan keraguan dari banyak pihak. Ia meninggalkan McLaren, tim yang membesarkannya–untuk bergabung dengan Mercedes. Saat itu, tim tersebut (Mercedes) belum dominan. Namun bersama Hamilton, Mercedes menulis era keemasan: delapan gelar konstruktor (kejuaraan dunia) berturut-turut dan Hamilton meraih enam dari total tujuh gelarnya di sana, tepatnya pada tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020, membentuk era kejayaan yang hanya bisa ditandingi oleh dominasi Schumacher bersama Ferrari dua dekade sebelumnya. Selama hampir satu dekade, Hamilton dan Mercedes menjadi sinonim. Mereka tak terkalahkan dalam kecepatan, strategi, dan inovasi. Tapi seperti semua kejayaan dalam sejarah olahraga, masa keemasan itu tak bertahan selamanya.
Tantangan Regulasi Baru dan Kemunduran Mercedes
Sejak FIA memperkenalkan regulasi baru yang diberlakukan pada musim 2022 dengan tujuan menyamakan level persaingan dan memudahkan mobil untuk saling menyalip, Mercedes tak lagi dominan. Adapun regulasi teknis baru meliputi kembalinya Ground Effect yaitu prinsip aerodinamika dari bawah mobil yang bertujuan menciptakan gaya tekan ke bawah yang lebih stabil, ban 18 inci, sayap depan & diffuser baru, mobil yang lebih berat, dan pembatasan pengembangan aerodinamis. Mercedes mencoba menghadapi era baru ini dengan pendekatan radikal: mereka memperkenalkan desain “zeropod”, hampir tanpa sidepod, yang berbeda dari tim lain.
Tapi eksperimen itu tak berhasil–yang membuat Mercedes kewalahan karena mobil jadi lebih sulit dikendalikan, hasil naik-turun, dan Hamilton belum mencetak kemenangan sejak 2021. Meskipun kadang masih kompetitif, mereka tak pernah benar-benar menjadi penantang serius Red Bull, yang justru tampil dominan dengan mobil yang lebih stabil dan efisien. Hamilton, yang terbiasa mendominasi, kini berada di posisi tak biasa: berjuang keras hanya untuk masuk podium. Frustasi mulai terlihat, meski ia tetpa tampil profesional dan loyal terhadap tim. Namun dalam situasi seperti ini, tawaran Ferrari datang–dan tampaknya, sulit ditolak.
Ferrari: Impian dan Tekanan
Bergabung dengan Ferrari bukan hanya soal performa, tapi juga soal legacy (warisan). Hamilton sudah lama mengagumi Ferrari, dan kini mendapat kesempatan menutup karier di tim paling bersejarah di F1.
“Saya rasa semua pembalap pernah bermimpi membalap untuk Ferrari,” ucap Hamilton saat pengumuman.
Ferrari adalah tim penuh romantisme, namun juga banyak tekanan tinggi. Sejak terakhir kali juara dunia pada 2007 oleh Kimi Räikkönen, mereka terus mencari pembalap yang bisa membawa mereka kembali ke puncak. Hamilton bisa jadi orang tersebut. Tapi tantangannya besar: struktur tim yang belum stabil, tekanan media Italia, dan Charles Leclerc, pembalap muda andalan tim yang kini akan menjadi rekan satu timnya.
Emosi di Balik Keputusan
Bagi banyak orang, keputusan ini terasa emosional. Hamilton tumbuh di era ketika Ferrari adalah puncak dari segala hal dalam F1. Bahkan sebagai pembalap kulit hitam pertama yang menembus dominasi Eropa kulit putih dalam olahraga ini, Hamilton selalu memegang peran simbolik. Kini, ia membawa simbol itu ke tim yang paling kaya sejarah, dan paling penuh dengan harapan.
Bagi fans Ferrari, ini seperti mimpi yang tertunda. Mereka belum pernah melihat pembalap dengan kaliber seperti Hamilton mengenakan seragam merah sejak masa keemasan Michael Schumacher. Dan bagi fans Mercedes, ini adalah luka terbuka.
Dinamika Hamilton-Leclerc: Duet atau Duel?
Kedatangan Hamilton ke Ferrari otomatis menimbulkan pertanyaan besar seperti bagaimana hubungan dan dinamika antara dia dan Charles Leclerc?
Leclerc adalah pembalap muda andalan Ferrari. Ia cepat, bertalenta, dan telah memperpanjang kontraknya hingga beberapa tahun ke depan. Ia juga sangat populer di kalangan tifosi. Namun, kehadiran Hamilton dengan reputasi besar dan pengalaman tak tertandingi secara otomatis akan mengubah keseimbangan dalam tim.
Ferrari punya sejarah buruk dalam mengelola dua bintang besar dalam satu tim. Rivalitas internal seperti Vettel-Leclerc atau bahkan masa lalu yang jauh seperti Prost-Mansell masih menjadi pelajaran. Namun, disisi lain, jika dikelola dengan bijak, duet hamilton-Leclerc bisa menjadi kombinasi mematikan: perpaduan antara pengalaman dan kecepatan muda, antara kedewasaan dan agresi. Bagaimana Ferrari mengatur prioritas, strategi tim, dan komunikasi internal akan sangat menentukan apakah ini menjadi kekuatan atau sumber konflik.
Dampak Besar untuk Formula 1
Kepindahan Lewis Hamilton ke Ferrari ini mengubah peta kekuatan F1, antara lain untuk Ferrari, Mercedes, dan juga F1 secara global. Ferrari mendapatkan juara dunia tujuh kali yang membawa pengalaman dan kredibilitas global. Gabungan Hamilton dan leclerc bisa jadi duet paling kuat ataupun paling menegangkan. Mercedes sendiri kehilangan tokoh utama mereka selama lebih dari satu dekade. Kini, fokus tertuju pada George Russel dan partner barunya yakni Kimi Antonelli. Dan F1 secara global mendapatkan narasi baru yang dramatis. Cerita Hamilton di Ferrari bisa jadi salah satu kisah paling dinanti sepanjang sejarah olahraga ini. Seorang legenda yang mengejar misi terakhirnya: mengembalikan Ferrari ke puncak.
Misi Terakhir?
Keputusan Hamilton bergabung dengan Ferrari memunculkan satu pertanyaan besar yang menggema di seluruh dunia F1: apakah ini misi terakhirnya untuk mengejar gelar dunia ke-8? Jika ya, maka ini adalah pertaruhan terbesar dalam kariernya. Di usia yang tak muda lagu untuk pembalap F1, ia meninggalkan zona nyaman untuk memasuki dunia yang penuh tekanan dan ekspektasi.
Ferrari adalah simbol. Memenangkan gelar dunia bersama tim ini, setelah 17 tahun puasa gelar–akan menjadi prestasi yang melampaui angka. Ia akan melampaui statistik dan masuk ke wilayah warisan abadi. Jika berhasil, Hamilton tak hanya memecahkan rekor Schumacher, tapi juga menyamai peran sang legenda: membangkitkan Ferrari dari keterpurukan dan membentuk era baru. Jika gagal, kisahnya tetap akan dikenang sebagai upaya berani dari seorang juara sejati yang memilih jalan paling sulit demi sesuatu yang lebih besar dari kemenangan yakni makna.
Akhir yang Layak untuk Sebuah Legenda
Seiring waktu, kita akan melihat keputusan ini akan berbuah manis atau menjadi bagian dari drama panjang Ferrari. Dengan mengenakan warna merah Ferrari, Lewis Hamilton tidak hanya menulis bab baru dalam kariernya, ia menulis ulang kisah Formula 1 itu sendiri. Karena pada akhirnya, dalam dunia F1, semua jalan, entah cepat atau lambat, memang menuju Ferrari.
Biodata Penulis:
Makaratu Anggit Paramahita, lahir pada tanggal 3 Januari 2007 di Pati, saat ini aktif sebagai mahasiswa Matematika di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @makaratuagt_