Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Moderasi Beragama dalam Hubungan Antaragama

Moderasi beragama merupakan sikap dan cara pandang yang menempatkan ajaran agama secara proporsional, adil, dan seimbang dalam kehidupan ...

ABSTRAK

Indonesia sebagai negara yang plural secara agama, suku, dan budaya menghadapi tantangan serius dalam menjaga keharmonisan sosial, terutama akibat meningkatnya intoleransi dan ekstremisme berbasis agama. Moderasi beragama muncul sebagai pendekatan strategis untuk membangun toleransi, keadilan, dan perdamaian antarumat beragama tanpa menghilangkan identitas keyakinan masing-masing. Artikel ini membahas konsep, nilai, urgensi, serta implementasi moderasi beragama dalam konteks hubungan antaragama di Indonesia. Nilai-nilai fundamental seperti toleransi, keadilan (wasathiyah), dan anti-kekerasan menjadi landasan utama dalam menciptakan kehidupan yang harmonis. Peran tokoh agama, pendidikan, serta dialog lintas iman sangat penting dalam memperkuat sikap moderat. Meski demikian, tantangan seperti fanatisme, eksklusivisme, serta penyebaran hoaks berbasis agama di era digital masih menjadi hambatan signifikan. Oleh karena itu, penguatan moderasi beragama perlu dilakukan secara sistematis dan kolaboratif demi menjaga persatuan bangsa.

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari segi suku, budaya, maupun agama. Keberagaman ini merupakan kekayaan bangsa yang harus dijaga dan dirawat dengan penuh kesadaran. Dalam konteks kehidupan beragama, tantangan seperti intoleransi, fanatisme, dan gesekan antarumat beragama masih sering terjadi, yang dapat mengganggu keharmonisan sosial. Untuk itu, diperlukan sebuah pendekatan yang mampu menjembatani perbedaan tanpa menghilangkan identitas keagamaan masing-masing. Salah satu pendekatan tersebut adalah moderasi beragama. Moderasi beragama bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama, melainkan bersikap adil, seimbang, dan menghargai perbedaan dengan tetap teguh pada keyakinan masing-masing. Dalam hubungan antaragama, moderasi beragama berperan penting sebagai fondasi dalam menciptakan kehidupan yang rukun, damai, dan saling menghormati. Oleh karena itu, pembahasan mengenai moderasi beragama menjadi relevan dan mendesak untuk dikaji secara lebih mendalam sebagai upaya menjaga keutuhan dan perdamaian di tengah masyarakat yang plural.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Moderasi Beragama

Moderasi beragama menurut Kementerian Agama RI didefinisikan sebagai "cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini" (Amin, 2023) dan telah menjadi program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam konteks yang lebih luas, moderasi beragama merupakan semangat untuk "mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama" (Hidayatullah, 2020) yang memungkinkan terciptanya keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama.

Moderasi Beragama dalam Hubungan Antaragama

Ciri-ciri utama moderasi beragama mencakup sikap yang tidak ekstrem dan tidak berlebihan dalam menjalankan ajaran agama. Prinsipnya ada dua: adil dan berimbang (Uinfas, 2020), di mana bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dengan proporsional. Moderasi beragama juga ditandai dengan kemampuan untuk menghargai perbedaan keyakinan dan agama orang lain, serta memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengekspresikan keyakinan tanpa rasa takut atau tekanan. Toleransi menjadi nilai fundamental yang menciptakan lingkungan kondusif bagi setiap individu untuk menjalankan kehidupan beragamanya dengan damai.

2. Urgensi Moderasi Beragama di Era Kontemporer

Era globalisasi menghadirkan tantangan kompleks bagi kehidupan beragama di Indonesia. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempercepat penyebaran berbagai ideologi dan pemahaman keagamaan, termasuk yang bersifat ekstrem. Di Indonesia, yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya, sikap intoleran sangat berpotensi memicu konflik yang lebih besar (Albar, 2024). Pluralitas keagamaan yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia justru dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan bijaksana melalui pendekatan moderasi beragama.

Meningkatnya intoleransi dan ekstremisme menjadi ancaman nyata bagi stabilitas sosial Indonesia. Paham radikalisme, intoleransi dan terorisme tidak hanya menjangkiti kalangan-kalangan dewasa atau organisasi garis keras saja, tetapi juga telah menyusup ke dunia pendidikan khususnya sekolah dan perguruan tinggi (Uir, 2023). Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat netral dan bebas dari pemahaman ekstrem justru terpapar ideologi yang dapat mengancam stabilitas nasional.

Moderasi beragama berperan krusial dalam menciptakan stabilitas sosial karena berfungsi sebagai "jembatan untuk membangun toleransi, saling menghargai, dan kerukunan antar umat beragama" (Sisyanto, 2024). Dalam konteks Indonesia yang majemuk, moderasi beragama bukan sekadar pilihan tetapi merupakan keharusan untuk menciptakan perdamaian dan persatuan nasional. Moderasi beragama adalah solusi terbaik untuk melawan tindakan kekerasan, terutama yang mengatasnamakan agama seperti ekstremisme dan intoleransi (Albar, 2024) sehingga penguatannya harus terus dilakukan untuk menjaga keharmonisan dan persatuan Indonesia.

3. Nilai-Nilai Moderasi dalam Ajaran Agama

Toleransi dan saling menghormati merupakan pilar fundamental dalam moderasi beragama. Moderasi Beragama meyakini bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Manusia harus saling menghargai dan menghormati tanpa membeda-bedakan agama, ras dan suku (Adawiyah, 2020). Nilai toleransi ini bukan sekadar sikap permisif, tetapi kesadaran yang mendalam bahwa keberagaman merupakan bagian dari rencana Ilahi yang harus diterima dan dihormati. Dalam praktiknya, toleransi menciptakan ruang bagi setiap individu untuk menjalankan keyakinannya tanpa takut akan diskriminasi atau tekanan dari kelompok lain.

Keadilan dan keseimbangan atau yang dalam Islam dikenal sebagai wasathiyah merupakan nilai inti moderasi beragama. Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan "wasathiyah", bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil (Aliyatil, 2023). Wasathiyah adalah ajaran Islam yang membimbing manusia untuk bersikap adil, seimbang, bermanfaat dan proporsional. Konsep wasathiyah mencakup sebelas nilai fundamental: Tawazun (seimbang), Tawasuth (mengambil jalan tengah), Tasamuh (toleransi), I'tidal (lurus dan tegas), Syura (musyawarah), Musawah (egaliter), Awlawiyah (mendahulukan yang prioritas), Islah (reformis), Tahadhur (berkeadaban), Qudwah (pelopor), dan Muwathonah (berwawasan kebangsaan) (Mursidin, 2021)

Anti kekerasan dan penghargaan terhadap perbedaan menjadi manifestasi konkret dari nilai-nilai moderasi beragama. Ada empat indikator moderasi beragama, yaitu: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal (Hasan, 2021). Sikap anti kekerasan dalam moderasi beragama berarti menolak segala bentuk tindakan yang menggunakan agama sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan fisik maupun psikologis. Penghargaan terhadap perbedaan juga mencakup kemampuan untuk mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, sehingga terciptanya harmoni antara ajaran universal agama dengan kearifan lokal masyarakat.

4. Moderasi Beragama dalam Konteks Hubungan Antaragama

Praktik hidup berdampingan secara damai antar pemeluk agama di Indonesia telah menjadi kekuatan sosial yang memungkinkan stabilitas nasional. Indonesia merupakan negara multikultural dengan berbagai keragaman antara lain suku, ras, bahasa dan juga agama. Keberagaman ini merupakan asset bangsa Indonesia yang harus dijaga dan rawat bersama (Kemenko, 2023). Dalam kehidupan sehari-hari, moderasi beragama terwujud melalui sikap saling menghormati ritual keagamaan masing-masing, gotong royong lintas agama dalam menghadapi masalah sosial, dan pemberian ruang yang setara bagi semua kelompok agama untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Praktik ini mencerminkan kematangan beragama yang tidak hanya fokus pada kepentingan internal kelompok, tetapi juga mempertimbangkan keharmonisan sosial yang lebih luas.

Dialog lintas iman merupakan instrumen penting dalam membangun saling pengertian antar umat beragama. Dialog antar agama merupakan konsep perdamaian yang bagus, yang bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini karena dalam dialog antar agama tersebut, antar umat beragama dituntut untuk bisa saling memahami dan menghormati keyakinannya masing-masing (Sisyanto, 2024). Guna menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai, negara berperan untuk mengupayakan pencapaian integrasi nasional dengan cara menjaga keselarasan antarbudaya dan agama. Salah satu upaya yang sering kali dan telah dilakukan adalah dengan menyelenggarakan dialog lintas agama (Kemenko, 2023). Dialog ini bukan bermaksud untuk menyamakan keyakinan, melainkan untuk menciptakan ruang komunikasi yang memungkinkan setiap kelompok agama memahami perspektif dan kekhawatiran kelompok lain, sehingga dapat meminimalkan prasangka dan stereotip negatif.

Peran tokoh agama dan lembaga keagamaan sangat strategis dalam memfasilitasi moderasi beragama. Dengan adanya dialog tokoh lintas agama ini dapat memberikan masukan akan gagasan kerukunan antar umat beragama, karena dengan dialog maka kita akan saling mengenal, saling memahami, dan menambah pengetahuan (Mursidin, 2021).Tokoh agama memiliki otoritas moral dan spiritual yang memungkinkan mereka menjadi mediator dalam konflik antar agama, sekaligus menjadi teladan bagi umatnya dalam menerapkan nilai-nilai moderasi. Lembaga keagamaan juga berperan dalam menyelenggarakan program-program yang mendorong interaksi positif antar umat beragama, seperti kegiatan sosial bersama, seminar kerukunan, dan pelatihan moderasi beragama yang dapat membentuk generasi yang lebih toleran dan moderat dalam beragama.

5. Tantangan dan Hambatan Moderasi Beragama

Fanatisme dan eksklusivisme beragama merupakan tantangan utama yang mengancam implementasi moderasi beragama di Indonesia. Fanatisme muncul karena adanya sikap egois dan merasa paling benar dan yang lain salah, sikap fanatisme berlebihan ini biasanya mengarah pada eksklusivisme. Eksklusivisme yaitu suatu pandangan yang merasa dirinya paling benar dalam beragama dan yang lain dianggapnya salah. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena sikap fanatik terhadap tokoh agama dan politik sering kali menimbulkan tantangan tersendiri dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Fanatisme ini kadang-kadang berujung pada sikap eksklusif yang menghambat dialog antaragama dan mengurangi toleransi terhadap perbedaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, fanatisme dan eksklusivisme dapat mengikis nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar persatuan bangsa (Nurul, 2020).

Penyebaran ujaran kebencian dan hoaks berbasis agama telah menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial di era digital. Tantangan besar Indonesia di tahun politik (2018-2019) adalah meningkatnya hoaks dan ujaran kebencian, terutama dengan isu etnisitas, agama, ras dan antargolongan (SARA). Keduanya berpotensi menjadi alat pemecah belah bangsa. Hoaks dengan mudahnya dipercaya oleh banyak anggota masyarakat Indonesia karena masyarakat tengah menghadapi enam tantangan. Tiga di antaranya, banyaknya kekacauan informasi, rendahnya literasi media dan digital, dan polarisasi politik (Woro, 2021).Ujaran kebencian dan hoaks berbasis agama sangat berbahaya karena dapat memicu konflik horizontal, merusak kerukunan antarumat beragama, dan bahkan memiliki dampak buruk bagi masyarakat, bahkan menghilangkan nyawa. Utamanya hoaks dan ujaran kebencian terkait SARA dan kesehatan.

KESIMPULAN

Moderasi beragama merupakan sikap dan cara pandang yang menempatkan ajaran agama secara proporsional, adil, dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat yang plural. Di tengah keragaman keyakinan, moderasi menjadi kunci utama dalam membangun hubungan antaragama yang harmonis dan damai. Nilai-nilai seperti toleransi, saling menghormati, dan menolak kekerasan menjadi fondasi penting dalam menjalin interaksi lintas iman. Di Indonesia, penerapan moderasi beragama telah diupayakan melalui berbagai program pemerintah, pendidikan, dan peran aktif tokoh agama serta masyarakat. Meski demikian, tantangan seperti fanatisme, ujaran kebencian, dan rendahnya literasi keagamaan masih menjadi hambatan yang perlu diatasi. Oleh karena itu, penguatan moderasi beragama harus dilakukan secara sistematis melalui pendidikan, dialog antaragama, dan kolaborasi lintas sektor.

Referensi:

  • Adawiyah, R. (2020, September 15). Islam dan moderasi beragama. UIN Antasari. https://www.uin-antasari.ac.id/islam-dan-moderasi-beragama/
  • Albar, R. (2024, Oktober 4). Membangun toleransi beragama: Refleksi dari kasus larangan ibadah oleh ASN terhadap tetangga. Jateng NU. https://jateng.nu.or.id/opini/membangun-toleransi-beragama-refleksi-dari-kasus-larangan-ibadah-oleh-asn-terhadap-tetangga-xWCFA
  • Aliyatil. (2023, Juni 5). Wasathiyah al-Islam: Perspektif Al-Qur’an tentang moderasi beragama. Tanwir. https://tanwir.id/wasathiyah-al-islam-perspektif-al-quran-tentang-moderasi-beragama/
  • Amin, K. (2023, April 1). Mengapa moderasi beragama? Kementerian Agama RI. https://kemenag.go.id/kolom/mengapa-moderasi-beragama-02MbN
  • Hasan, H. (2021, Oktober 16). Mengembangkan alat ukur moderasi beragama. Kementerian Agama RI. https://kemenag.go.id/opini/mengembangkan-alat-ukur-moderasi-beragama-7mmv05
  • Hidayatullah. (2020, Oktober 13). Inilah definisi ‘moderasi beragama’ menurut Kementerian Agama. Hidayatullah.com. https://hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/2020/09/15/192076/inilah-defenisi-moderasi-beragama-menurut-kementerian-agama.html
  • Kemenko PMK. (2023, Mei 1). Menko PMK: Toleransi antar-umat beragama kunci kemajuan bangsa. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. https://www.kemenkopmk.go.id/menko-pmk-toleransi-antar-umat-beragama-kunci-kemajuan-bangsa
  • Mursidin. (2021, November 12). Insersi nilai wasathiyyah dalam moderasi beragama pada proses pendidikan dan pembelajaran di madrasah. Pendis Kemenag. https://pendis.kemenag.go.id/read/insersi-nilai-wasathiyyah-dalam-moderasi-beragama-pada-proses-pendidikan-dan-pembelajaran-di-madrasah
  • Nurul, A. (2020, Desember 13). Menghindari fanatisme berlebihan dalam beragama. Patinews. https://www.patinews.com/menghindari-fanatisme-berlebihan-dalam-beragama/
  • Sisyanto, S. (2024, November 3). Pentingnya moderasi beragama bagi pelajar lintas negara. Kementerian Agama RI. https://kemenag.go.id/kolom/pentingnya-moderasi-beragama-bagi-pelajar-lintas-negara-g9ybE
  • UIN FAS Bengkulu. (2020). Apa itu moderasi? https://uinfasbengkulu.ac.id/pusat-informasi/moderasi-beragama/
  • Universitas Islam Riau. (2023, Agustus 3). Memutus intoleransi, radikalisme dan terorisme yang ekstremisme di lingkungan pendidikan. https://uir.ac.id/memutus-intoleransi-radikalisme-dan-terorisme-yang-ekstremisme-di-lingkungan-pendidikan.html
  • Woro, G. (2021, Februari 3). Tantangan kebebasan berpendapat di era digital: Hoaks dan ujaran kebencian. Freedom of Speech. https://www.freiheit.org/id/indonesia/tantangan-kebebasan-berpendapat-di-era-digital-hoaks-dan-ujaran-kebencian

Penulis:

Maria Angelita Tania Atie, lahir pada tanggal 30 Juni 2005 di Pekalongan, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.