Kenaikan pangkat semestinya menjadi bukti atas kerja keras, prestasi, dan dedikasi seseorang dalam pekerjaannya. Namun sayangnya, hari ini kita hidup dalam realitas yang semakin memprihatinkan. Promosi jabatan tidak selalu diperoleh karena kinerja, tetapi karena faktor kedekatan, relasi, dan strategi pencitraan yang halus. Mereka yang bekerja siang malam, menjaga etika, dan mempertahankan kualitas kerja justru sering terpinggirkan oleh orang-orang yang lihai membangun relasi dengan atasan meskipun kontribusinya minim.
Fenomena ini menjadi semakin nyata di berbagai lini pekerjaan, baik di sektor publik maupun swasta. Profesionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi justru dikaburkan oleh praktik-praktik tidak etis seperti nepotisme, pencitraan, bahkan politik kantor. Dalam banyak kasus, bukan lagi soal siapa yang paling pantas, melainkan siapa yang paling pandai mengambil hati.
Konsekuensi dari situasi ini bukan hanya dirasakan oleh individu yang tidak mendapatkan apresiasi, tetapi juga memengaruhi kualitas organisasi secara keseluruhan. Budaya kerja menjadi tidak sehat, semangat kerja menurun, dan rasa keadilan pun memudar. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin etika profesi akan menjadi sekadar teori di atas kertas, tanpa makna di dunia nyata.
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis KPK, praktik suap dan gratifikasi masih marak terjadi dalam proses promosi dan mutasi jabatan. Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan KPK, menyebut bahwa 90% kasus suap terjadi di kementerian/lembaga dan 97% di pemerintah daerah. Bahkan, 36% responden internal mengaku pernah melihat atau mendengar langsung rekan kerjanya menerima pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas dari pengguna layanan.
Fenomena ini tak hanya terbaca dari data, tetapi juga tercermin dalam kasus yang baru-baru ini mencuat di publik. Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Marullah Matali, dilaporkan ke KPK karena diduga mengangkat anaknya sendiri menjadi Tenaga Ahli Sekda. Dalam laporannya, Wahyu Susilo menyebutkan bahwa tindakan tersebut melanggar ketentuan internal Pemprov DKI dan dianggap mencederai prinsip etika pemerintahan. Kasus ini memperkuat kekhawatiran bahwa promosi jabatan masih dapat dipengaruhi oleh relasi pribadi ketimbang prestasi yang objektif.
Ketika Relasi Mengalahkan Kinerja
Bayangkan seseorang yang datang paling pagi, pulang paling malam, menyelesaikan tanggung jawabnya tanpa cela, dan tak pernah sekali pun melanggar kode etik. Seseorang yang bekerja bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban, tetapi karena ia percaya bahwa kontribusi adalah bentuk penghormatan terhadap profesi.
Namun realitas hari ini jauh dari cerita ideal. Kinerja, kompetensi, dan dedikasi sering kali tidak lagi menjadi tiket menuju promosi. Justru yang diprioritaskan adalah mereka yang lihai menjalin kedekatan personal, pintar memainkan kata, dan tahu kapan harus “hadir” di ruang-ruang strategis, meskipun kontribusinya minim. Maka tidak mengherankan, ketika seseorang naik jabatan, pertanyaan yang muncul bukan lagi “apa prestasinya?”, tapi “siapa backing-nya?”.
Menurut beberapa temuan riset, praktik seperti ini bukan hanya merugikan secara individu, tapi juga secara sistemik. Organisasi yang mengandalkan relasi dalam promosi jabatan justru berisiko kehilangan orang-orang terbaiknya. Bahkan sebuah studi menyebutkan bahwa mayoritas promosi berbasis kedekatan personal justru menghasilkan kinerja yang lebih rendah dibanding yang dipilih melalui proses terbuka dan profesional.
Budaya seperti ini tidak hanya mencederai rasa keadilan individu, tetapi juga secara perlahan menghancurkan ekosistem kerja yang sehat. Ketika orang-orang melihat bahwa relasi lebih menjanjikan daripada kualitas, maka akan lahir dua tipe pekerja: mereka yang mulai meniru pola tidak sehat itu demi bertahan, dan mereka yang memilih diam, lalu pergi, karena merasa kecewa.
Di tengah sistem seperti ini, promosi jabatan sering kali bukan lagi hasil dari dedikasi dan kerja keras, melainkan buah dari kedekatan dan relasi. Nilai profesionalisme hanya terdengar di permukaan, tapi tak lagi dipegang sungguh-sungguh. Lebih menyedihkan lagi, banyak institusi justru tumbuh bukan karena diisi oleh talenta terbaik, melainkan oleh mereka yang paling pandai mengambil hati. Dari sanalah kemunduran perlahan dimulai, bukan karena kurangnya orang berbakat, tapi karena terlalu banyak basa-basi.
Saatnya Menyaring Bukan Sekadar Mengangkat
Selama ini, promosi di banyak organisasi lebih mirip ajang tukar favoritisme daripada penghargaan atas kerja keras. Ini adalah realitas pahit yang harus kita hadapi. Saatnya kita menghentikan siklus usang ini yang hanya menguntungkan segelintir orang. Organisasi harus berani merombak aturan main yang ketinggalan zaman. Bukan siapa yang dekat, tetapi siapa yang benar-benar layak yang harus naik.
Kita tidak bisa lagi membiarkan prestasi terabaikan demi hubungan pribadi. Ini adalah panggilan untuk perubahan. Mari kita bangun budaya yang menghargai dedikasi dan kinerja, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk bersinar. Jika kita ingin menciptakan organisasi yang inovatif dan berdaya saing, kita harus berani mengambil langkah tegas. Jangan biarkan favoritisme merusak potensi luar biasa yang dimiliki setiap karyawan.
Sistem penilaian kinerja harus berbasis data keras, indikator tajam, dan bukti yang tak terbantahkan. Transparansi wajib menjadi pondasi, agar tak ada celah bagi permainan politik, nepotisme, atau kolusi yang merusak.
Tanpa pengawasan independen yang tegas dan objektif, semua sistem yang terlihat ideal hanya akan menjadi sandiwara yang menipu banyak pihak. Proses seleksi harus diawasi oleh panel eksternal yang berintegritas, bukan oleh tim internal yang rawan kepentingan. Pengawas independen menjadi benteng terakhir agar promosi jabatan benar-benar mencerminkan kualitas, bukan manipulasi. Satu keputusan yang keliru bisa merusak semangat seluruh tim, sementara satu keputusan yang adil bisa membangkitkan energi positif bagi organisasi secara keseluruhan.
Kita juga perlu memperkuat budaya keterbukaan. Siapa yang naik jabatan, mengapa ia dipilih, dan apa dasar keputusannya harus bisa diakses oleh siapa pun yang berkepentingan. Ini bukan untuk menciptakan drama, tetapi agar publik tahu bahwa tidak ada yang disembunyikan. Transparansi bukan ancaman, melainkan penguat kepercayaan. Dengan begitu, kita tidak hanya membangun sistem yang sehat, tetapi juga membentuk mental organisasi yang dewasa dan bertanggung jawab.
Penting juga untuk menciptakan ruang pengaduan yang aman dan dihormati. Mereka yang merasa keputusan promosi merugikan atau tidak adil harus diberi ruang untuk bicara dan suaranya harus didengar, bukan dibungkam. Keberanian menerima kritik adalah fondasi dari organisasi yang ingin tumbuh, bukan hanya bertahan.
Penulis berharap organisasi dan para pemimpinnya mulai membuka mata dan telinga terhadap pentingnya keadilan dalam promosi jabatan. Jika praktik favoritisme terus dibiarkan, maka integritas akan runtuh dan semangat kerja perlahan padam. Sudah saatnya kita membangun sistem yang memberi ruang bagi prestasi, bukan sekadar kedekatan.
Penulis:
- Devi Tarigan merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E., M.M. merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.