Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Nihilisme vs Eksistensialisme: Mencari Makna di Tengah Hiruk Pikuk Dunia Modern

Pernah merasa hidup penuh pencapaian tapi tetap terasa hampa? Yuk, selami lebih dalam pergulatan antara nihilisme dan eksistensialisme, temukan ...

Di era yang penuh peluang ini, banyak orang berlomba-lomba mengejar makna melalui karier, pencapaian akademik, aktivitas sosial, hingga spiritualitas. Media sosial dipenuhi narasi tentang self-growth, healing, dan hidup penuh tujuan. Tapi di balik itu semua, tidak sedikit orang, mungkin termasuk kita yang justru merasa kosong.

Nihilisme vs Eksistensialisme
Sumber: Freepik

Fenomena ini bukan sekadar rasa bosan biasa. Ini lebih dalam: perasaan hampa meskipun secara logika kita tahu hidup punya makna. Kita bisa meyakini bahwa hidup adalah perjalanan spiritual, atau bahwa kita harus "bermanfaat bagi sesama." Tapi tetap saja, ada jeda panjang di kepala setiap malam, bertanya "Kalau memang begitu, kenapa aku tetap merasa kosong?"

Inilah titik di mana banyak orang berada di antara dua kutub eksistensialisme dan nihilisme. Eksistensialisme percaya bahwa manusia punya tanggung jawab untuk menciptakan maknanya sendiri, sedangkan nihilisme memandang bahwa hidup memang pada dasarnya tidak punya makna objektif. Friedrich Nietzsche, salah satu filsuf paling terkenal yang membahas nihilisme, menyatakan bahwa "Tuhan telah mati" sebuah metafora tentang runtuhnya nilai-nilai absolut dalam masyarakat modern. Ia melihat nihilisme sebagai tantangan besar zaman modern, di mana manusia kehilangan arah karena runtuhnya makna tradisional.

Yang menarik, keduanya tidak saling bertentangan secara mutlak, karena di dunia nyata, kita bisa percaya bahwa hidup punya makna, tapi tetap merasa hampa.

Secara psikologis, kondisi ini bisa dikaitkan dengan fenomena yang disebut "existential vacuum" atau kehampaan eksistensial. Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi, menyebut ini sebagai bentuk krisis makna yang kerap dialami manusia modern. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl menjelaskan bahwa ketika seseorang tidak menemukan makna dalam hidup, mereka cenderung mengalami kehampaan batin yang bisa berujung pada depresi, kecemasan, bahkan keputusasaan.

Apalagi di era digital seperti sekarang, ketika hampir semua hal bisa dilihat, dibandingkan, dan diviralkan. Kita jadi sering merasa hidup kita kalah menarik, kalah penting, atau bahkan kalah bermakna dibanding orang lain. Akibatnya, kita tidak hanya merasa lelah secara fisik, tapi juga kosong secara mental dan emosional.

Isu ini makin relevan karena semakin banyak anak muda yang mengalami stres eksistensial tanpa tahu harus bicara ke siapa. Rasa "tidak baik-baik saja" sering dianggap sebagai kelemahan atau kurang bersyukur. Padahal, merasa kosong bukan berarti kita tidak beriman atau tidak waras. Itu adalah sinyal dari diri sendiri bahwa kita butuh jeda, refleksi, dan mungkin, arah baru.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

  1. Pertama, validasi dulu perasaannya. Tidak apa-apa merasa kosong. Justru itu bisa jadi titik awal untuk mulai menyusun ulang apa yang penting buat kita, tanpa harus mengikuti standar orang lain.
  2. Kedua, jangan terlalu mengandalkan makna besar dan dramatis. Kadang yang kita butuhkan bukan jawaban besar tentang hidup, tapi kehadiran kecil yang tulus: percakapan jujur, pekerjaan yang dilakukan sepenuh hati, atau rutinitas sederhana yang membuat kita merasa hidup.
  3. Ketiga, cari ruang untuk bertumbuh secara otentik. Entah itu lewat journaling, terapi, komunitas yang suportif, atau spiritualitas yang lebih mendalam dan personal. Bukan karena disuruh, tapi karena kita ingin mengenal diri sendiri lebih jujur.

Karena pada akhirnya, mungkin kita tidak harus selalu melihat kanvas yang penuh warna seperti orang lain. Kadang, cukup sadar bahwa kita sedang memegang kuas itu sudah langkah penting untuk mulai melukis makna yang sesuai dengan versi kita sendiri.

Biodata Penulis:

Syafira Dian Nurani saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret. Penulis bisa disapa di Instagram @syafiradiann

© Sepenuhnya. All rights reserved.