Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pendidikan Indonesia: Salah Arah atau Tanpa Arah

Ketimpangan pendidikan antara kota dan desa di Indonesia masih menjadi masalah serius. Sekolah di kota besar umumnya memiliki fasilitas lengkap ...

Pendidikan Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius, seperti rendahnya kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains menurut PISA 2022, seringnya pergantian kurikulum tanpa kesiapan di lapangan, serta ketimpangan kualitas pendidikan antara kota dan daerah terpencil. Kebijakan yang sering berubah juga belum menunjukkan hasil signifikan, padahal pendidikan sangat penting untuk membentuk generasi masa depan yang siap menghadapi tantangan. Di sini kita akan membahas penyebab pendidikan Indonesia dianggap “salah arah” atau “tanpa arah” serta solusi untuk memperbaikinya secara menyeluruh.

Pendidikan Indonesia

Kurikulum yang Terus Berubah, Tapi Tidak Membumi

Seringnya pergantian kurikulum di Indonesia dalam dua dekade terakhir-mulai dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka, Deep Learning menjadi tantangan utama pendidikan. Masing-masing kurikulum memiliki fokus berbeda, seperti pengembangan karakter, kemandirian, atau kompetensi siswa. Namun, perubahan ini sering kali tidak diikuti dengan kesiapan yang memadai di lapangan, seperti pelatihan guru yang kurang, ketersediaan materi dan buku yang belum merata, serta fasilitas belajar yang terbatas di banyak sekolah. Akibatnya, pergantian kurikulum justru menimbulkan kebingungan dan beban tambahan bagi guru dan siswa, karena saat guru mulai menyesuaikan diri dengan satu sistem, sistem baru sudah diberlakukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan kurikulum tanpa persiapan dan arah yang jelas menyebabkan pendidikan kehilangan fokus dan stabilitas.

Fokus pada Nilai, Bukan pada Penilaian

Banyak sekolah dan orang tua di Indonesia masih terlalu fokus pada nilai tanpa pemahaman mendalam. Siswa didorong meraih nilai tinggi dan belajar keras, tapi belum tentu benar-benar mengerti materi. Hasil PISA 2022 menunjukkan peringkat Indonesia naik 5-6 posisi dibanding 2018, namun kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa masih rendah, berada di peringkat 67-69 dari 81 negara. Hal ini menandakan banyak siswa mengandalkan hafalan tanpa kemampuan berpikir kritis dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Sistem ujian yang menekankan hafalan dan jawaban benar-salah memperkuat budaya belajar dangkal, sehingga siswa kurang terbiasa berpikir kritis dan memecahkan masalah, yang sangat dibutuhkan di dunia nyata. Fokus berlebihan pada nilai tanpa pemahaman konseptual menjadi kendala utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Ketimpangan Pendidikan Antara Kota dan Desa

Ketimpangan pendidikan antara kota dan desa di Indonesia masih menjadi masalah serius. Sekolah di kota besar umumnya memiliki fasilitas lengkap seperti laboratorium, perpustakaan, listrik, dan internet stabil, serta didukung oleh guru terlatih dan berpengalaman. Sebaliknya, banyak sekolah di daerah terpencil kekurangan fasilitas dasar, seperti meja, buku, bahkan guru tetap, dengan kondisi bangunan yang rusak dan keterbatasan akses teknologi. Data Kementerian Pendidikan menunjukkan ribuan sekolah di wilayah 3T masih kekurangan guru, sehingga proses belajar mengajar kurang optimal. Tingkat pendidikan penduduk desa juga jauh lebih rendah dibandingkan kota, dengan hanya sekitar 28% menyelesaikan pendidikan menengah atas, sementara di kota hampir 50%. Ketimpangan ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di masa depan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya serius dari pemerintah dan berbagai pihak dalam meningkatkan infrastruktur, distribusi tenaga pengajar, serta akses teknologi pendidikan agar semua anak Indonesia mendapatkan kesempatan belajar yang setara dan berkualitas.

Pendidikan yang Kurang Relevan dengan Dunia Nyata

Banyak siswa merasa pelajaran di sekolah kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari karena sistem pendidikan Indonesia masih terlalu berfokus pada teori, bukan keterampilan praktis seperti berpikir mandiri, kerja sama, dan adaptasi. Kurikulum Merdeka berusaha mengatasi hal ini dengan menekankan pengembangan karakter, kreativitas, dan kemampuan sosial melalui metode pembelajaran yang lebih kontekstual dan proyek. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kesiapan guru yang belum optimal, keterbatasan sarana prasarana, dan ketimpangan kebijakan di berbagai daerah. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pelatihan guru yang berkelanjutan, peningkatan infrastruktur, kolaborasi dengan komunitas, serta monitoring dan evaluasi yang konsisten agar pendidikan lebih relevan dan berkualitas.

Peran Guru yang Terpinggirkan oleh Administrasi

Mulai Januari 2025, pemerintah Indonesia akan mengurangi beban administrasi guru dengan menyederhanakan sistem pengelolaan kinerja. Guru hanya perlu mengisi laporan kinerja sekali setahun tanpa harus mengunggah dokumen secara mandiri, karena verifikasi dilakukan oleh atasan. Pengembangan kompetensi juga tidak lagi berbasis poin, melainkan refleksi diri yang diverifikasi. Kebijakan ini bertujuan agar guru lebih fokus pada pengajaran dan pembimbingan siswa, mengurangi kelelahan akibat tugas administratif yang berlebihan. Langkah ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Federasi Serikat Guru Indonesia, sebagai upaya mengembalikan peran guru sebagai ujung tombak pendidikan.

Perubahan yang Tidak Konsisten

Ketidakkonsistenan kebijakan antar periode pemerintahan menjadi salah satu penyebab pendidikan Indonesia terkesan “tanpa arah.” Setiap pergantian menteri pendidikan sering membawa program baru yang berbeda jauh dari kebijakan sebelumnya, seperti pergantian dari program zonasi ke digitalisasi, lalu ke Kurikulum Merdeka, dan kembali ke sistem penjurusan di SMA. Kondisi ini membuat pendidikan terasa seperti proyek jangka pendek tanpa arah besar yang berkelanjutan, padahal pembangunan pendidikan membutuhkan konsistensi dan komitmen jangka panjang agar menghasilkan sumber daya manusia berkualitas. Ketidakkonsistenan ini juga menimbulkan kebingungan dan beban bagi pelaku pendidikan, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang stabil dan efektif. Idealnya, kebijakan pendidikan harus berkesinambungan dan didasarkan pada analisis kebutuhan masa kini dan masa depan agar memberikan arah yang jelas bagi pengembangan pendidikan nasional.

Kurangnya Partisipasi Pelajar dalam Menentukan Arah Pendidikan

Pelajar di Indonesia sering hanya menjadi objek kebijakan pendidikan, bukan subjek yang aktif dilibatkan dalam pengambilan keputusan, padahal mereka paling memahami pengalaman belajar sehari-hari. Di beberapa negara maju, siswa diajak berdiskusi dan memberi masukan agar sistem pembelajaran lebih sesuai kebutuhan mereka, menciptakan suasana belajar yang partisipatif. Kurikulum Merdeka mendorong pelibatan siswa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, namun implementasinya masih terbatas. Siswa biasanya hanya bisa berpendapat di tingkat kelas, sementara keputusan di tingkat sekolah lebih banyak diwakili orang dewasa seperti orang tua. Ini menunjukkan suara siswa belum sepenuhnya didengar dalam kebijakan pendidikan. Untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dan relevan, sistem perlu membuka ruang lebih luas bagi partisipasi aktif pelajar, bukan hanya menuntut mereka mengikuti aturan yang belum tentu cocok bagi semua.

Pendidikan Indonesia kini berada pada titik krusial dengan berbagai tantangan seperti kebijakan yang sering berubah, pelaksanaan yang belum merata, dan hasil belajar siswa yang masih tertinggal secara global. Pergantian kurikulum tanpa kesiapan lapangan serta beban administratif guru semakin memperumit kondisi. Oleh karena itu, pendidikan perlu diarahkan secara konsisten, relevan dengan kebutuhan nyata, dan melibatkan guru serta siswa. Sudah saatnya Indonesia memiliki visi pendidikan jangka panjang yang menekankan kualitas, pemerataan, dan kepedulian, karena masa depan bangsa bergantung pada generasi muda yang tumbuh melalui sistem pendidikan yang baik.

Amirah Rahma Maisun

Biodata Penulis:

Amirah Rahma Maisun, lahir pada tanggal 31 Desember 2005 di Jakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Ia memiliki hobi memasak dan bisa disapa di Instagram @amiiraamsn

© Sepenuhnya. All rights reserved.