Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Peran Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Mendorong Budaya Manajemen Mutu Berbasis Total Quality Management (TQM) di Madrasah Ibtidaiyah

Mutu pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah menjadi perhatian strategis dalam pengembangan pendidikan dasar di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan ...

ABSTRAK 

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran gaya kepemimpinan kepala madrasah dalam mendorong budaya manajemen mutu berbasis Total Quality Management (TQM) di Madrasah Ibtidaiyah melalui pendekatan studi literatur. Latar belakang penelitian ini didasarkan pada kebutuhan akan kepemimpinan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mampu mendorong transformasi budaya dan mutu di lembaga pendidikan. Dengan metode kualitatif dan desain studi pustaka, penelitian ini menelaah berbagai sumber akademik yang membahas model kepemimpinan, implementasi TQM di sekolah, dan pengembangan budaya organisasi. Pembahasan difokuskan pada empat aspek utama: ragam gaya kepemimpinan kepala madrasah, peran strategis kepemimpinan dalam penerapan prinsip TQM, karakteristik pemimpin yang efektif, serta dampak kepemimpinan terhadap pembentukan budaya mutu yang berkelanjutan. Hasil studi menyimpulkan bahwa kepala madrasah yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional cenderung lebih berhasil menginternalisasi nilai-nilai TQM seperti perbaikan berkelanjutan, keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, dan fokus pada mutu, sehingga membentuk budaya mutu yang kuat di lingkungan madrasah.

PENDAHULUAN 

Mutu pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah menjadi perhatian strategis dalam pengembangan pendidikan dasar di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan berbasis keislaman, madrasah memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam pembentukan karakter dan budaya kerja yang berkualitas. Salah satu pendekatan manajerial yang relevan untuk mendukung peningkatan mutu adalah Total Quality Management (TQM), yakni sistem manajemen yang menekankan pada perbaikan berkelanjutan, kepuasan pelanggan, dan keterlibatan seluruh komponen organisasi (Suryosubroto, 2004). Namun, efektivitas penerapan TQM sangat dipengaruhi oleh peran kepala madrasah sebagai pemimpin utama dalam penggerak budaya mutu.

Peran Gaya Kepemimpinan Kepala Madrasah
Sumber: Freepik

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala madrasah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan implementasi TQM. Mulyasa (2013) menyatakan bahwa kepala madrasah dengan gaya kepemimpinan transformasional mampu menciptakan iklim sekolah yang mendukung perubahan dan pembaruan berkelanjutan. Demikian pula, Nasution (2018) mengemukakan bahwa kepemimpinan partisipatif dan demokratis dapat meningkatkan keterlibatan seluruh warga madrasah dalam proses perbaikan mutu. Namun demikian, sebagian besar penelitian yang ada masih terbatas pada aspek kepemimpinan secara umum dan belum mengkaji secara mendalam keterkaitan antara gaya kepemimpinan, penerapan prinsip-prinsip TQM, dan pembentukan budaya mutu di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah.

Berdasarkan celah kajian tersebut, artikel ini menawarkan kebaruan ilmiah berupa sintesis literatur yang menghubungkan gaya kepemimpinan kepala madrasah, karakteristik kepemimpinan efektif, dan dampaknya terhadap budaya mutu berbasis TQM. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah bahwa gaya kepemimpinan kepala madrasah memiliki peran penting dalam mendukung penerapan prinsip-prinsip Total Quality Management dan pembentukan budaya mutu di Madrasah Ibtidaiyah. Oleh karena itu, tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis secara konseptual kontribusi kepemimpinan kepala madrasah dalam mendorong penguatan budaya mutu pendidikan melalui prinsip-prinsip manajemen mutu terpadu.

METODE PENELITIAN 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur untuk menganalisis peran gaya kepemimpinan kepala madrasah dalam mendorong budaya mutu berbasis Total Quality Management (TQM) di Madrasah Ibtidaiyah. Data diperoleh dari sumber sekunder berupa jurnal, buku, dan prosiding ilmiah relevan yang diterbitkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Fokus kajian meliputi teori kepemimpinan, prinsip TQM, dan budaya mutu dalam konteks madrasah.

Analisis data dilakukan dengan teknik analisis isi (content analysis) yang melibatkan pengelompokan dan interpretasi tema-tema utama terkait gaya kepemimpinan, implementasi TQM, dan budaya mutu. Validitas data diperkuat dengan triangulasi sumber melalui perbandingan hasil kajian dari berbagai literatur. Karena penelitian ini merupakan kajian kepustakaan, tidak terdapat lokasi fisik maupun responden langsung, sehingga fokus utama adalah pada pengolahan dan analisis dokumen akademik sebagai sumber data utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepala sekolah memegang peran sentral dalam membentuk arah, semangat, dan budaya kerja di lingkungan pendidikan. Dalam menjalankan perannya, kepala sekolah tidak terpaku pada satu pendekatan saja, melainkan memadukan beberapa gaya kepemimpinan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi nyata yang dihadapi di lapangan. Pendekatan yang digunakan pun bersifat adaptif, bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang tertib, komunikatif, dan penuh semangat kebersamaan. Adapun bentuk-bentuk gaya kepemimpinan sebagai berikut:

1. Kepemimpinan yang Tegas dan Terstruktur (Otoriter)

Gaya kepemimpinan otoriter ditunjukkan melalui konsistensi kepala sekolah dalam menegakkan peraturan. Dalam situasi tertentu, kepala sekolah mengambil keputusan sendiri, tanpa melalui musyawarah terlebih dahulu, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran tata tertib dan kedisiplinan siswa. Misalnya, siswa yang melanggar aturan langsung mendapatkan tindakan tegas sesuai peraturan sekolah, tanpa menunggu rapat guru terlebih dahulu. Kepala sekolah juga mengawasi langsung pelaksanaan aturan, serta memastikan seluruh komponen sekolah mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal ini menciptakan iklim yang tertib dan teratur, yang diyakini dapat menunjang mutu pendidikan (Miftah Thoha, 1995). Namun, gaya ini tetap dijalankan secara komunikatif oleh kepala sekolah dengan menjelaskan latar belakang dari kebijakan yang diambil agar dapat dipahami dan diterima, sehingga meskipun tampak otoriter, pendekatan ini tetap menjaga nilai-nilai edukatif dan pembinaan karakter (Danim, 2010). Hal ini menciptakan rasa aman dan kejelasan peran bagi semua pihak.

2. Kepemimpinan yang Terbuka dan Menghargai Pendapat (Demokratis)

Di balik ketegasannya, kepala sekolah juga menunjukkan keterbukaan terhadap saran dan masukan dari guru maupun tenaga kependidikan lainnya. Dalam hal-hal strategis seperti perumusan visi misi, program kerja, dan solusi atas permasalahan siswa atau guru, kepala sekolah mengadakan forum musyawarah. Setiap kebijakan penting dirancang melalui diskusi yang partisipatif. Gaya ini mencerminkan pendekatan demokratis yang mendorong keterlibatan semua pihak dalam pengambilan keputusan. Guru dan staf merasa dihargai, sehingga tumbuh semangat kebersamaan dan rasa tanggung jawab kolektif (Mulyasa, 2004). Selain itu, kepala sekolah secara aktif membuka ruang komunikasi melalui pertemuan informal, diskusi rutin, dan konsultasi personal jika ada masalah yang perlu dibahas bersama. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip school-based management yang mendorong kemandirian dan partisipasi semua elemen sekolah (Burhanuddin, 2000).

3. Kepemimpinan yang Komunikatif dan Dekat secara Emosional

Kepala sekolah juga dikenal aktif menjalin komunikasi yang baik dengan guru dan siswa. Ia bukan hanya hadir sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai pendengar yang siap menampung keluhan, gagasan, dan masukan. Hubungan yang terjalin tidak bersifat formal semata, tetapi juga emosional yang menjadikan kepala sekolah bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga sosok yang dihargai dan dekat oleh seluruh warga sekolah. Komunikasi ini menjadi jembatan untuk menghindari kesalahpahaman, menyamakan persepsi, dan menjaga semangat kerja sama. Dalam suasana sekolah yang terbuka dan saling mendukung, muncul energi positif yang mendorong seluruh elemen sekolah untuk terus berbenah dan tumbuh. Pendekatan ini menciptakan suasana kerja yang harmonis dan kolaboratif, kepala sekolah berfungsi tidak hanya sebagai pemimpin struktural, tetapi juga sebagai tokoh yang memberi teladan dan semangat kerja (Makawimbang, 2012). Dalam komunikasi sehari-hari, kepala sekolah selalu menampilkan sikap ramah, menggunakan bahasa yang sopan dan membangun, serta mampu menyesuaikan gaya komunikasi dengan kondisi individu yang dihadapi.

4. Kepemimpinan yang Mendorong Inisiatif dan Kemandirian

Gaya kepemimpinan kepala sekolah juga tampak dari kemampuannya dalam memberdayakan guru dan siswa. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan, workshop, dan pengembangan profesional lainnya. Mereka juga diberi ruang untuk berkreasi dalam metode pembelajaran dan inovasi kelas.. Kepala sekolah tidak hanya memberi instruksi, tetapi juga mendukung dan memfasilitasi setiap inisiatif yang datang dari warga sekolah (Saefullah, 2013). Dengan begitu, sekolah menjadi tempat yang dinamis dan hidup, bukan sekadar ruang transfer pengetahuan. Kepemimpinan yang mendorong kemandirian ini menjadi kunci dalam menciptakan budaya mutu yang berkesinambungan. Dalam praktiknya, kepala sekolah memberikan ruang yang luas bagi guru untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran. Misalnya, guru didorong untuk merancang metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, serta mengimplementasikan teknologi pendidikan yang relevan. Kepala sekolah juga secara aktif menginisiasi program pengembangan profesional seperti workshop, pelatihan, dan studi banding, yang bertujuan meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan.

Selain itu, kepala sekolah memberikan dukungan penuh terhadap berbagai inisiatif siswa. Siswa diajak untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan literasi, kompetisi akademik, serta kegiatan ekstrakurikuler yang menumbuhkan karakter dan soft skills, seperti kepemimpinan dan kerja sama tim. Program pembinaan karakter melalui kegiatan seperti pramuka, OSIS, dan kelompok pengembangan diri menjadi wadah bagi siswa untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab.

5. Kepemimpinan yang Adaptif dalam Mengambil Keputusan

Kepemimpinan adaptif merupakan kemampuan kepala sekolah untuk menyesuaikan gaya dan metode kepemimpinannya berdasarkan konteks dan dinamika situasi yang dihadapi. Tidak semua persoalan sekolah dapat diselesaikan dengan satu cara tunggal, sehingga fleksibilitas dalam pengambilan keputusan menjadi kunci keberhasilan. Dalam situasi krisis atau ketika dibutuhkan tindakan cepat, kepala sekolah mampu mengambil keputusan secara tegas dan langsung, sesuai dengan gaya otoriter. Contohnya, dalam kasus darurat seperti pelanggaran disiplin berat atau masalah keselamatan siswa, kepala sekolah tidak menunda proses pengambilan keputusan agar dampak negatif dapat diminimalkan. Sebaliknya, pada isu-isu yang kompleks dan berdampak jangka panjang, kepala sekolah lebih memilih pendekatan partisipatif dengan melibatkan guru, tenaga kependidikan, dan bahkan komite sekolah dalam musyawarah. Proses ini tidak hanya menghasilkan keputusan yang lebih matang dan diterima bersama, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki dan komitmen warga sekolah terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

Pendekatan adaptif ini juga mencerminkan kepemimpinan situasional, yang menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan dan kesiapan sumber daya manusia di sekolah. Kepala sekolah yang mampu membaca situasi secara tepat akan menggunakan gaya kepemimpinan yang paling efektif, baik itu mendominasi, mengarahkan, mendukung, maupun mendelegasikan tugas (Suwatno & Priansa, 2011). Selain itu, fleksibilitas dalam pengambilan keputusan juga memperlihatkan sikap terbuka kepala sekolah terhadap perubahan dan inovasi. Kepala sekolah tidak terpaku pada prosedur kaku, melainkan siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi, regulasi pendidikan baru, dan tuntutan zaman yang terus berubah. Hal ini sangat penting untuk menjaga relevansi dan daya saing lembaga pendidikan di era modern. Dengan kepemimpinan yang adaptif dan fleksibel, kepala sekolah mampu menciptakan iklim sekolah yang responsif, dinamis, dan siap menghadapi berbagai tantangan tanpa kehilangan arah visi dan misi pendidikan yang telah ditetapkan.

B. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Implementasi Total Quality Management (TQM)

Keberhasilan sebuah sekolah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang tinggi sangat ditentukan oleh kompetensi dan efektivitas kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan figur sentral dalam mengelola dan mengarahkan seluruh elemen di sekolah agar berjalan sesuai dengan visi dan misi lembaga. Kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpinan yang mampu memotivasi seluruh warga sekolah, menyinergikan sumber daya yang ada, serta membangun budaya kerja yang berorientasi pada mutu dan perbaikan berkelanjutan (Mulyasa, 2001).

Dalam kerangka Total Quality Management (TQM), kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh proses pelayanan pendidikan dijalankan berdasarkan prinsip kualitas. Beberapa aspek utama yang menjadi fokus kepala sekolah dalam implementasi TQM, antara lain:

1. Optimalisasi Peran Kepemimpinan

Kepala sekolah memiliki tanggung jawab utama dalam mengarahkan sekolah agar seluruh kegiatan yang dijalankan sesuai dengan tujuan mutu pendidikan. Peran kepemimpinan ini tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga moral dan motivasional. Kepala sekolah harus hadir sebagai pemimpin yang mampu menginspirasi, membimbing, serta menjadi panutan dalam menghadapi tantangan yang muncul di lingkungan sekolah. Contohnya, ketika terjadi konflik antar guru atau antara guru dengan peserta didik, kepala sekolah harus turun tangan langsung, tidak hanya sebagai penengah, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator solusi. Di era sekarang, tantangan seperti kelelahan guru, tekanan administratif, serta tuntutan digitalisasi juga harus direspon dengan kebijakan yang bijak dan adaptif. Kepemimpinan kepala sekolah yang partisipatif dan terbuka terhadap masukan akan menciptakan suasana kerja yang positif dan mendukung mutu pendidikan yang berkelanjutan (Mulyasa, 2001).

2. Optimalisasi Fungsi Manajerial Sekolah

Selain sebagai pemimpin moral, kepala sekolah harus mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen sekolah secara efektif, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam konteks TQM, setiap keputusan manajerial yang diambil harus berbasis data dan hasil evaluasi sebelumnya. Perencanaan ini misalnya, tidak hanya menyusun Rencana Kerja Sekolah (RKS), tetapi juga memastikan bahwa RKS tersebut didasarkan pada hasil analisis kebutuhan sekolah, aspirasi masyarakat, serta pencapaian indikator mutu. Dalam implementasinya, kepala sekolah harus mengawasi administrasi guru, pengelolaan siswa, sarana-prasarana, keuangan, dan hubungan dengan masyarakat secara terkoordinasi dan akuntabel. Penguatan manajemen berbasis data ini selaras dengan prinsip TQM yang mendorong pengambilan keputusan berbasis bukti dan hasil evaluasi nyata (Sallis, 2006).

3. Mendorong Perubahan Budaya Sekolah

Kepala sekolah bertanggung jawab dalam menciptakan dan menjaga budaya mutu di lingkungan sekolah. Budaya ini meliputi kebiasaan kerja, cara berpikir, nilai-nilai yang dianut, serta interaksi sosial warga sekolah. Dalam konteks TQM, perubahan budaya yang diharapkan adalah beralihnya sikap kerja yang pasif menjadi aktif, dari pola kerja individu menjadi kolaboratif, serta dari orientasi rutinitas ke orientasi mutu. Misalnya, kepala sekolah bisa menginisiasi program “kelas inspiratif” atau “peer coaching” antar guru sebagai bentuk budaya saling belajar. Selain itu, ia harus menanamkan nilai-nilai kerja keras, inovasi, akuntabilitas, dan pelayanan prima kepada seluruh warga sekolah. Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan mendukung pencapaian mutu pendidikan secara menyeluruh (Peterson, 2009).

4. Fokus pada Kebutuhan Pelanggan

Dalam perspektif TQM, pelanggan sekolah mencakup siswa, orang tua, masyarakat, dunia kerja, dan pemerintah. Kepala sekolah harus memahami bahwa kepuasan pelanggan merupakan indikator utama keberhasilan lembaga. Oleh karena itu, kepala sekolah perlu membangun sistem komunikasi yang baik dengan orang tua, menyediakan forum dialog rutin, serta menindaklanjuti umpan balik pelanggan secara serius. Contoh praktiknya adalah melakukan survei kepuasan orang tua terhadap layanan pembelajaran, kebersihan sekolah, pelayanan guru, dan lingkungan sekolah. Data tersebut harus diolah dan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan sekolah. Dengan begitu, sekolah menjadi lembaga yang responsif dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat (Sallis, 2006).

5. Pengawasan terhadap Proses Pendidikan

TQM menekankan pentingnya pengawasan terhadap seluruh proses, terutama proses pembelajaran yang menjadi inti kegiatan sekolah. Kepala sekolah perlu memastikan bahwa setiap tahap pembelajaran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi berjalan dengan standar mutu yang tinggi.

Kegiatan supervisi kelas, pendampingan guru dalam menyusun RPP, serta monitoring ketercapaian tujuan pembelajaran adalah bagian penting dalam proses ini. Kepala sekolah juga perlu memastikan bahwa metode yang digunakan guru relevan dengan karakteristik peserta didik dan berbasis hasil belajar. Jika proses ini dikontrol secara baik, maka kualitas output pendidikan dapat meningkat secara signifikan (Miskel, 2008).

6. Inovasi Berkelanjutan

Inovasi adalah salah satu prinsip utama dalam TQM. Kepala sekolah harus menanamkan pola pikir kreatif dan inovatif kepada seluruh staf. Bentuk inovasi bisa bermacam-macam, seperti penerapan teknologi digital dalam pembelajaran, diversifikasi media ajar, penerapan model pembelajaran aktif, hingga perbaikan sistem pelayanan administrasi. Kepala sekolah perlu memberikan ruang bagi guru untuk melakukan eksperimen dalam pembelajaran, misalnya melalui program "kelas model" atau "ruang inovasi guru". Pemberian apresiasi kepada guru inovatif juga menjadi strategi penting untuk menumbuhkan motivasi dan budaya inovatif di sekolah.

7. Profesionalisme dan Pemberdayaan Kolega

Kepala sekolah harus memastikan bahwa guru dan tenaga kependidikan bekerja secara profesional sesuai dengan peran dan kompetensinya. Hal ini dapat dicapai melalui pengembangan kapasitas berkelanjutan seperti pelatihan, workshop, pembimbingan (coaching), dan kolaborasi antar guru. Di sisi lain, pendekatan kepala sekolah terhadap guru harus berlandaskan pada prinsip kemitraan, bukan semata-mata hubungan hierarkis. Ketika guru diperlakukan sebagai mitra strategis, mereka akan merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi lebih terhadap peningkatan mutu sekolah.

8. Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Kepala sekolah berperan penting dalam menjamin kualitas pembelajaran di sekolah. Ia harus memberikan perhatian khusus terhadap penyusunan perencanaan pembelajaran, metode mengajar, penilaian hasil belajar, serta pemanfaatan sumber belajar yang mendukung ketercapaian tujuan pendidikan.

Salah satu cara untuk meningkatkan mutu pembelajaran adalah dengan melakukan supervisi akademik secara berkala dan memberi umpan balik yang konstruktif kepada guru. Kepala sekolah juga dapat memfasilitasi pembelajaran kolaboratif antar guru agar terjadi saling tukar pengalaman dan peningkatan kapasitas secara horizontal.

9. Pemasaran Internal

Pemasaran internal adalah strategi komunikasi yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada warga sekolah. Tujuannya adalah menyampaikan visi, misi, program kerja, serta perubahan-perubahan penting di sekolah secara transparan. Ini akan membangun kepercayaan dan meningkatkan partisipasi aktif seluruh staf dalam menjalankan visi sekolah.

Misalnya, kepala sekolah bisa menggunakan media internal seperti buletin sekolah, papan informasi interaktif, atau aplikasi komunikasi internal sebagai sarana sosialisasi kebijakan dan capaian sekolah. Dengan demikian, seluruh staf merasa dilibatkan dan diberdayakan dalam proses perbaikan mutu yang berkelanjutan.

C. Karakter Kepemimpinan dalam Total Quality Management (TQM)

Karakter kepemimpinan dalam Total Quality Management (TQM) ini sangat berkaitan dengan pola kepemimpinan transformasional. Pemimpin transformasional tidak hanya sebatas individu yang memiliki jabatan, tetapi juga sosok yang muncul dari proses transisi karakter dan penginternalisasian nilai-nilai etika seperti kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Tipe pemimpin ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan moral dan semangat pengikutnya ke level yang lebih tinggi, sehingga mereka termotivasi untuk meraih pencapaian yang melampaui ekspektasi pribadi ataupun organisasi.

Kepemimpinan transformasional dalam konteks TQM mengharuskan pemimpin untuk memiliki visi yang jelas serta bisa menciptakan suasana kerja yang memotivasi. Dalam dunia pendidikan, pemimpin perlu menjadi teladan nilai-nilai positif, menanamkan kepercayaan, kesetiaan, dan penghargaan dari semua anggota institusi. Dengan demikian, para bawahan terdorong tidak hanya untuk memenuhi standar, tetapi juga untuk melampaui batas kemampuan mereka dalam rangka mencapai visi bersama. Seorang pemimpin dalam TQM bertindak sebagai agen perubahan dan penggerak, bukan sekadar pengawas. Ia harus mampu mengidentifikasi permasalahan dengan menyeluruh dan selalu meluangkan waktu untuk menemukan solusi terbaik. Pemimpin tipe ini tak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses peningkatan yang berkelanjutan yang melibatkan semua bagian organisasi. Nilai-nilai yang dipegang oleh pemimpin dan yang diajarkan memiliki peran krusial dalam menetapkan arah dan kultur mutu dalam institusi pendidikan.

Implementasi TQM di sektor pendidikan memerlukan manajemen yang terpadu dan berkelanjutan yang berfokus pada kualitas. Pemimpin harus mengajak seluruh pihak untuk terlibat secara aktif, termasuk guru, staf, siswa, orang tua, dan masyarakat. Keberhasilan institusi pendidikan dalam meningkatkan kualitas sangat tergantung pada kekuatan kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh potensi sumber daya manusia dan membangun komunikasi yang erat dengan semua pihak terkait.

Ciri lainnya dari kepemimpinan TQM adalah fokus pada proses yang berlangsung dalam jangka panjang, bukan hanya perubahan sementara. Pemimpin perlu menumbuhkan motivasi dari dalam setiap individu di dalam organisasi sehingga setiap usaha peningkatan kualitas menjadi bagian integral dari budaya kerja sehari-hari. Lebih dari itu, pemimpin TQM harus bisa menciptakan lingkungan kerja yang saling menguntungkan, menghindari persaingan yang tidak sehat, serta menekankan pentingnya kolaborasi tim untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam praktiknya, TQM juga memerlukan adanya sistem desentralisasi, di mana kewenangan disebarluaskan ke semua tingkatan organisasi, khususnya yang berada di garis depan. Ini bertujuan agar partisipasi dan rasa memiliki terhadap tujuan bersama benar-benar terwujud, bukan hanya sebatas slogan. Pemimpin perlu memastikan bahwa prinsip-prinsip TQM diterapkan secara konsisten di semua aspek organisasi, sehingga budaya kualitas dapat terinternalisasi dengan baik.

Kepemimpinan dalam TQM di bidang pendidikan harus menekankan pada kepuasan pelanggan, baik itu siswa, orangtua, atau masyarakat luas. Pemimpin perlu mewujudkan layanan yang dapat diandalkan, berkualitas tinggi, memiliki tampilan yang baik, serta memberikan perhatian penuh dan responsif terhadap kebutuhan pelanggan. Dengan kata lain, karakteristik pemimpin dalam TQM memerlukan sosok yang visioner, berorientasi manusia, kolaboratif, konsisten, dan selalu fokus pada peningkatan kualitas yang berkelanjutan.

Kepemimpinan adalah kemahiran dalam mempengaruhi perilaku individu atau kelompok secara sadar untuk meraih tujuan organisasi. Dari sudut pandang ini, elemen utama dalam kepemimpinan adalah adanya interaksi yang mempengaruhi antara pemimpin dan pengikutnya, serta antara atasan dan bawahannya dalam menjalankan tugas organisasi.

Tujuan utama dari kepemimpinan adalah untuk memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki organisasi agar dapat menghasilkan kinerja yang baik dan mencapai tujuan dengan cara yang efektif dan efisien.

Rivai menjelaskan sejumlah perbedaan antara pemimpin dan manajer sebagai berikut:

  1. Pemimpin tidak selalu berada dalam organisasi, sementara manajer selalu terlibat dalam organisasi, baik formal maupun informal;
  2. Pemimpin dapat dipilih atau diangkat oleh anggota, sedangkan manajer selalu diangkat;
  3. Pengaruh pemimpin berasal dari kemampuan pribadi yang lebih dibandingkan yang lain, sedangkan pengaruh manajer diperoleh dari otoritas yang dimilikinya;
  4. Pemimpin berpikir lebih luas dan jangka panjang mengenai organisasi, sementara manajer lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab jangka pendek;
  5. Pemimpin memiliki keahlian politik dalam menyelesaikan konflik, sementara manajer cenderung menggunakan pendekatan formal dan legal;
  6. Pemimpin berpikir untuk kemajuan dan perbaikan organisasi secara keseluruhan, sedangkan manajer fokus pada kepentingan dirinya dan kelompoknya;
  7. Pemimpin memiliki kekuasaan yang lebih luas, sedangkan manajer hanya mempunyai wewenang.

Menurut beberapa penelitian, kepemimpinan yang efektif harus disesuaikan dengan tugas kelompok dan kondisi organisasi. Dengan kata lain, kepemimpinan bisa dikatakan efektif jika sesuai dengan situasi dan konteks yang ada. Hoy dan Miskel mendefinisikan empat komponen kepemimpinan yang meliputi melibatkan orang lain, membagikan kekuasaan, kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk memengaruhi organisasi lain atau pengikut, dan nilai-nilai yang mencakup sistem yang bisa menghasilkan perilaku yang dipimpin. Di sisi lain, Sergiovanni mengenali lima kekuatan kepemimpinan, antara lain:

  1. Kekuatan teknis, pemimpin sebagai penggerak individu;
  2. Kekuatan manusia, pemimpin sebagai pendorong manusia;
  3. Kekuatan simbolik, fokus pada aspek-aspek penting, pemimpin sebagai ketua;
  4. Kekuatan budaya, pemimpin sebagai tokoh spiritual.

D. Dampak Budaya Mutu terhadap Sikap dan Perilaku Kepala Madrasah, Guru, Tenaga Kependidikan Lainnya

Budaya mutu di madrasah secara signifikan membentuk dan memengaruhi sikap serta perilaku kepala madrasah, guru, dan seluruh tenaga kependidikan lainnya. Ini selaras dengan berbagai pandangan ahli mengenai budaya organisasi, yang pada intinya adalah sistem nilai dominan yang mengakar kuat di seluruh organisasi. John R. Schermerhorn (2010) menggarisbawahi hal ini, sementara Kreitner dan Kinicki (2010) memperjelas bahwa budaya organisasi adalah himpunan asumsi implisit yang dipegang bersama dan menjadi penentu bagaimana sebuah kelompok memandang, berpikir, serta bereaksi terhadap lingkungannya. Tak hanya itu, Edgar H. Schein (dikutip oleh Angelo Kinicki dan Brian Williams, 2011) juga menegaskan bahwa budaya organisasi—sering disebut budaya perusahaan—adalah sistem kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang berkembang di dalam organisasi, berfungsi sebagai panduan perilaku bagi setiap anggotanya.

McShane dan Von Glinow (2010) turut memperkaya pemahaman ini dengan menyatakan bahwa budaya organisasi terdiri dari nilai-nilai dan asumsi bersama yang mendefinisikan apa yang penting dan tidak penting di dalam perusahaan, kemudian secara konsekuen mengarahkan setiap individu dalam organisasi menuju cara yang benar dalam melakukan sesuatu. Jason A. Colquitt (2011) melengkapi dengan mendefinisikan budaya organisasi sebagai pengetahuan sosial bersama mengenai aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang membentuk sikap dan perilaku karyawan. Bersamaan dengan itu, etika memainkan peran krusial sebagai fondasi moral. Bruno Dyck dan Mitchell J. Neuber (2009) mendefinisikannya sebagai seperangkat prinsip atau standar moral yang membedakan yang benar dari yang salah. Pendapat ini diperkuat oleh Gareth Jones (2010), yang melihat etika sebagai prinsip moral, nilai-nilai, dan keyakinan batin yang memandu seseorang untuk menganalisis situasi dan memutuskan cara berperilaku yang "benar" atau tepat. Haris (2002) bahkan menyoroti bahwa etika berkaitan dengan upaya mengidentifikasi dan mendapatkan jenis perilaku yang “benar” dari individu dan kelompok.

Budaya mutu madrasah jelas terlihat pada sikap dan perilaku yang mengacu pada tuntunan agama dan norma-norma umum, seperti bersikap adil, bertegur sapa, penyambutan siswa di pintu gerbang madrasah oleh guru, bersalaman, memberi salam, berdoa sebelum dan selesai beraktivitas madrasah, serta saling menghormati. Perwujudan budaya mutu juga mendorong sikap dan perilaku yang membangun motivasi dan prestasi, tercermin dari kebiasaan selalu belajar dari pengalaman, selalu melakukan evaluasi secara berkesinambungan, dan terus-menerus memperbaiki diri untuk mencapai yang terbaik. Lebih lanjut, budaya mutu turut membentuk sikap dan perilaku dalam memberikan keteladanan dan jiwa sosial bagi siswa, di mana para kepala madrasah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya menunjukkan sopan santun, ramah, senyum, memberikan layanan yang terbaik dengan penuh sabar, bahkan hingga bersedekah. Semua indikator budaya mutu yang tampak pada sikap dan perilaku tersebut sangat selaras dengan salah satu syarat utama kelembagaan pendidikan Islam yang efektif: kemampuan untuk membentuk lingkungan pendidikan yang kondusif yang pada gilirannya mampu menciptakan iklim dan kultur madrasah yang Islami (school climate and school culture) yang dicirikan oleh suasana damai, bersih, tertib, aman, indah, dan penuh kekeluargaan, menjadikannya tempat yang ideal bagi proses belajar mengajar dan pengembangan karakter.

Dampak budaya mutu ini tidak hanya terbatas pada lingkungan internal madrasah, tetapi juga membentuk citra madrasah di mata masyarakat luas. Ketika seluruh komponen madrasah, mulai dari kepala madrasah hingga staf kependidikan lainnya, secara konsisten menunjukkan sikap dan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai mutu dan religius, kepercayaan masyarakat terhadap madrasah akan meningkat. Hal ini akan menarik minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di madrasah tersebut, sekaligus memperkuat peran madrasah sebagai pusat pendidikan Islam yang unggul dan relevan di era modern. Peningkatan kualitas pendidikan melalui budaya mutu ini juga berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia yang berintegritas dan kompeten. Lulusan madrasah tidak hanya memiliki pengetahuan akademik yang kuat, tetapi juga karakter yang mulia, etika yang baik, dan jiwa sosial yang tinggi, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Hal ini menjadikan mereka siap menghadapi tantangan global dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan agama. Dengan demikian, budaya mutu bukan sekadar konsep, melainkan sebuah praktik transformatif yang membentuk individu dan komunitas yang lebih baik. Implementasi budaya mutu yang berkelanjutan memerlukan komitmen kuat dari seluruh pihak madrasah dan dukungan dari pemangku kepentingan eksternal. Ini mencakup pelatihan berkala untuk peningkatan kompetensi, penerapan sistem evaluasi kinerja yang transparan, serta penguatan komunikasi antara madrasah, orang tua, dan masyarakat. Dengan sinergi yang baik, madrasah dapat terus berinovasi dan adaptif terhadap perubahan zaman, memastikan relevansinya dalam mencetak generasi muslim yang berkualitas dan berdaya saing global.

Meskipun budaya mutu membawa banyak dampak positif, implementasinya juga menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam adaptasi terhadap dinamika sosial dan teknologi. Madrasah perlu terus mencari cara inovatif untuk mengintegrasikan nilai-nilai mutu dan religius dengan perkembangan zaman, misalnya melalui penggunaan teknologi dalam pembelajaran atau pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri. Tantangan lainnya adalah memastikan konsistensi penerapan budaya mutu di tengah pergantian kepemimpinan atau staf, yang membutuhkan sistem pembinaan dan pengawasan yang kuat. Namun, dengan fondasi yang kokoh, madrasah memiliki prospek cerah untuk menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya menghasilkan lulusan berprestasi secara akademik dan spiritual, tetapi juga menjadi agen perubahan positif di tengah masyarakat. Madrasah diharapkan mampu melahirkan pemimpin masa depan yang berlandaskan iman dan takwa, sekaligus memiliki keunggulan kompetitif di berbagai bidang. Hal ini menuntut madrasah untuk senantiasa melakukan benchmarking dengan lembaga pendidikan lain yang lebih maju, baik di tingkat nasional maupun internasional. Upaya ini tidak hanya untuk mengadopsi praktik terbaik, tetapi juga untuk menciptakan model pendidikan Islam yang adaptif, relevan, dan berdaya saing global, sehingga madrasah dapat terus relevan dan memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan peradaban.

SIMPULAN 

Kepemimpinan kepala madrasah memiliki peran krusial dalam mendorong budaya manajemen mutu berbasis Total Quality Management (TQM) di Madrasah Ibtidaiyah. Penelitian ini, yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi literatur, menyimpulkan bahwa kepala madrasah yang menerapkan gaya kepemimpinan transformasional lebih berhasil menginternalisasi nilai-nilai TQM seperti perbaikan berkelanjutan, keterlibatan pemangku kepentingan, dan fokus pada mutu, sehingga membentuk budaya mutu yang kuat di lingkungan madrasah. Berbagai gaya kepemimpinan seperti otoriter (namun tetap komunikatif), demokratis, komunikatif-emosional, pendorong inisiatif dan kemandirian, serta adaptif, semuanya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan belajar yang tertib, partisipatif, dan kolaboratif. Dalam implementasi TQM, kepala sekolah bertanggung jawab untuk mengoptimalkan peran kepemimpinan moral dan motivasional, melaksanakan fungsi manajerial berbasis data, mendorong perubahan budaya sekolah dari pasif ke kolaboratif dan berorientasi mutu, fokus pada kebutuhan pelanggan (siswa, orang tua, masyarakat), melakukan pengawasan terhadap seluruh proses pendidikan, mendorong inovasi berkelanjutan, membangun profesionalisme dan pemberdayaan kolega, meningkatkan kualitas pembelajaran, serta melakukan pemasaran internal.

Karakteristik kepemimpinan dalam TQM sangat berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, di mana pemimpin tidak hanya berjabatan tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai etika, memiliki visi jelas, mampu memotivasi, menjadi teladan, agen perubahan, serta berfokus pada proses peningkatan berkelanjutan, kolaborasi, dan kepuasan pelanggan. Budaya mutu yang terbentuk akan memengaruhi sikap dan perilaku kepala madrasah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma umum, menunjukkan motivasi, prestasi, keteladanan, dan jiwa sosial, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menghasilkan lulusan yang berintegritas dan kompeten. Untuk keberlanjutan budaya mutu, diperlukan komitmen kuat dari seluruh pihak madrasah dan dukungan eksternal, termasuk pelatihan berkala, sistem evaluasi kinerja transparan, dan penguatan komunikasi. Madrasah juga perlu berinovasi dan adaptif terhadap perkembangan zaman, serta melakukan benchmarking untuk menciptakan model pendidikan Islam yang berdaya saing global.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ayoib, C. A., & Nosakhare, P. O. (2015). Directors’ culture and environmental disclosure practice of companies in Malaysia. International Journal of Business Technopreneurship, 5(1), 99–114.
  • Danim, S. (2010). Kepemimpinan pendidikan: Kepemimpinan kepala sekolah dalam pengembangan sekolah unggul. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Haris, A. (2002). Etika dan tanggung jawab profesi pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  • Kinicki, A., & Williams, B. K. (2011). Management: A practical introduction (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
  • Kurniawati, I., & Putri, R. M. (2021). Komunikasi kepemimpinan dalam meningkatkan motivasi kerja pegawai. Jurnal Kajian Komunikasi, 9(1), 34–45. https://doi.org/10.24198/jkk.v9i1.32576
  • Makawimbang, R. (2012). Kepemimpinan kepala sekolah dan manajemen mutu pendidikan. Jakarta: Grafindo.
  • Thoha, M. (1995). Perilaku organisasi: Konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  • Mulyasa, E. (2004). Menjadi kepala sekolah profesional dalam konteks manajemen berbasis sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Mulyasa, E. (2001). Manajemen berbasis sekolah: Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Nasution, S. (2018). Berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Saefullah, H. (2013). Kepemimpinan kepala sekolah dan budaya mutu pendidikan. Bandung: Alfabeta.
  • Sallis, E. (2006). Total quality management in education (3rd ed.). London: Routledge.
  • Syahputra, R., & Fauziah, R. (2022). Strategi komunikasi kepala sekolah dalam membangun budaya mutu pendidikan. Jurnal Kajian Komunikasi, 10(2), 112–125. https://doi.org/10.24198/jkk.v10i2.37629
  • Suwatno, & Priansa, D. J. (2011). Manajemen SDM dalam organisasi publik dan bisnis. Bandung: Alfabeta.

Penulis:

  1. Naila Najwah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
  2. Rohalinda Meyliana saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
  3. Muhammad Faruq saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.