Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran pesantren di wilayah Pekalongan dalam membentuk karakter toleransi beragama pada santri sebagai bagian dari upaya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Sebagai kota yang dikenal dengan sebutan "Kota Santri", Pekalongan memiliki banyak lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan sikap inklusif dan toleran terhadap keberagaman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus pada beberapa pesantren yang representatif di Pekalongan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam dengan kiai dan santri, serta studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren memainkan peran strategis dalam membangun karakter toleransi melalui kurikulum pembelajaran, keteladanan kiai, serta praktik kehidupan sosial di lingkungan pesantren. Nilai-nilai seperti saling menghargai, dialog antarumat beragama, dan sikap terbuka terhadap perbedaan secara konsisten ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari santri. Kesimpulannya, pesantren di Pekalongan berkontribusi secara signifikan dalam penguatan toleransi beragama yang menjadi fondasi penting dalam membentuk masyarakat yang harmonis dan moderat.
| Sumber: Unsplash | @muh_makhlad |
Pendahuluan
Moderasi Beragama adalah pandangan, sikap, dan perilaku beragama yang selalu berusaha berada di posisi tengah, bersikap adil, dan tidak ekstrem. Dalam hal ini, pemerintah melalui Kementerian Agama memandang penguatan moderasi beragama sebagai langkah strategis dalam menjaga persatuan bangsa. Sebagai negara yang memiliki keragaman, pandangan moderasi beragama sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan kelestarian bangsa. Istilah moderasi dalam Bahasa Inggris adalah moderation, yang berarti sikap yang tidak berlebihan. Orang yang bersikap demikian disebut moderat, yang artinya tidak berlebihan.
Istilah moderation sering dipahami dalam arti rata-rata, inti, standar, atau tidak berpihak. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa moderat berarti menekankan keseimbangan dalam keyakinan, moral, dan karakter, baik saat berinteraksi dengan individu maupun ketika berhubungan dengan lembaga negara. Dalam perspektif Islam, moderat adalah sikap toleran dan terbuka terhadap perbedaan. Ini termasuk menerima keberagamaan yang beragam, baik dari sisi mazhab maupun cara beragama. Perbedaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk berkolaborasi dengan prinsip kemanusiaan. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar tidak berarti merendahkan agama lain. Dengan demikian, akan terjalin persatuan dan persaudaraan di antara umat beragama, seperti yang tercermin di Madinah di bawah pimpinan Rasulullah SAW.
Tujuan utama moderasi beragama adalah internalisasi ajaran agama secara mendalam dan mengatasi kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Integrasi nilai-nilai moderasi beragama menjadi hal yang sangat penting untuk eksistensi pesantren. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berasal dari Indonesia, pesantren telah berkontribusi signifikan dalam membangun peradaban Islam melalui pemahaman keislaman yang menyeluruh dan kontekstual yang mendukung prinsip ummatan wasat-han untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara lebih luas, dakwah yang dilakukan pesantren memiliki peran penting dalam mengembangkan pemahaman dan perilaku keagamaan di masyarakat sesuai dengan nilai-nilai agama, mencintai negara, dan mengakui keragaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kajian tentang pendidikan karakter berbasis nilai-nilai keislaman, khususnya dalam konteks moderasi beragama di lembaga pesantren. Penelitian ini juga dapat menjadi rujukan bagi akademisi dalam memahami praktik pendidikan toleransi dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang inspiratif bagi pengelola pesantren dalam menyusun strategi pendidikan yang mengedepankan nilai toleransi dan kerukunan. Selain itu, temuan penelitian ini juga bermanfaat bagi pemangku kebijakan dan masyarakat luas dalam mendukung peran pesantren sebagai agen perdamaian di tengah keberagaman sosial dan agama.
Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik studi kasus, yang bertujuan untuk menyelidiki dan menjelaskan secara rinci peran pesantren dalam menanamkan nilai-nilai moderasi dalam beragama kepada santri di Kota Pekalongan. Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan studi dokumentasi dan analisis literatur, yaitu dengan mempelajari berbagai dokumen, artikel ilmiah, kebijakan pendidikan, dan tulisan relevan yang berhubungan dengan pendidikan pesantren serta moderasi dalam beragama. Sumber data mencakup dokumen resmi pesantren (seperti profil, program, visi dan misi), referensi akademis, serta publikasi terkait moderasi beragama dari lembaga seperti Kementerian Agama dan lembaga riset pendidikan. Data dianalisis dengan pendekatan deskriptif-kualitatif, berfokus pada pengartian makna, konteks, dan kecenderungan dari praktik moderasi yang terdapat dalam dokumen yang diteliti. Analisis dilakukan secara tematik untuk mengidentifikasi pola, makna, dan implikasi dari data yang ada.
Hasil dan Pembahasan
1. Peran Pesantren dalam Menanamkan Nilai Toleransi
Pembumian nilai-nilai moderasi beragama di pesantren secara konsisten diperkuat melalui pendekatan pemahaman agama yang akomodatif dan moderat kepada para santri, terutama dalam menghadapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus berubah. Karakteristik pemahaman keislaman moderat telah mengakar dalam tradisi pesantren yang berdampak pada internalisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks kebangsaan, ekspresi keagamaan dari pendidikan pesantren tidak bertentangan dengan nilai-nilai keragaman bangsa. Kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari kedalaman dan keluasan tradisi pengembangan ilmu Islam di pesantren sebagai pusat tafaqquh fi al-din. Karakteristik pendidikan pesantren tidak hanya fokus pada pembelajaran keislaman dalam bentuk klasikal, baik melalui sistem blandongan maupun sorogan. Namun, lebih dari itu, pesantren juga memiliki karakteristik lain yang penting, yaitu berfungsi sebagai penggerak masyarakat sipil yang independen dan mandiri.
Pesantren memainkan peran penting sebagai tempat pengembangan sikap religius dengan menggunakan metode sufisme dalam bentuk pengajaran nilai-nilai tarekat yang secara historis telah dirintis melalui berbagai jaringan ulama di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun internasional. Nilai-nilai keislaman yang dibina dan dikembangkan oleh pesantren menjadi landasan dalam pembentukan karakter bangsa, yang tidak terpisahkan dari misi kerasulan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Selain itu, pesantren bertujuan untuk mengembangkan dakwah Islam yang ramah dan toleran, serta menjaga tradisi sosial budaya yang seimbang, terutama dalam melakukan transformasi sosial di masyarakat sekitar pesantren.
2. Melalui Kurikulum Pendidikan Agama
A. Kurikulum Pesantren Salaf
Kurikulum adalah suatu rencana yang dibuat untuk memfasilitasi proses pengajaran yang berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab pesantren atau institusi pendidikan serta tenaga pengajarnya. Wijoyokusumo mengungkapkan bahwa kurikulum memiliki peran yang krusial dalam pengembangan keterampilan dan karakter peserta didik. Di pesantren salaf, konsep kurikulum tidak dikenal sebagaimana di pendidikan formal. Di sini, kurikulum lebih dikenal dengan istilah manhaj, yang berarti arahan pembelajaran tertentu. Manhaj dalam konteks pesantren salaf tidak berbentuk rinci silabus, tetapi terdiri dari kitab-kitab (funun) yang diajarkan kepada santri. Dalam proses pengajaran, pesantren mengandalkan manhaj yang berupa jenis kitab tertentu dalam disiplin ilmu spesifik. Kitab-kitab ini harus dipelajari secara menyeluruh sebelum santri diperbolehkan melanjutkan ke kitab yang lebih kompleks.
waktu penyelesaian program pembelajaran tidak ditentukan oleh periode waktu tertentu, juga tidak berdasarkan pada penguasaan silabus topik tertentu, tetapi berlandaskan pada penyelesaian kitab yang ditetapkan. Standar kompetensi untuk lulusan pesantren salaf adalah kemampuan untuk memahami, menghayati, menerapkan, dan mengajarkan isi kitab tertentu yang telah ditentukan. Kurikulum di pesantren salaf mencakup hampir seluruh materi yang biasa disebut sebagai pelajaran keagamaan. Biasanya, kurikulum ini tidak mengikuti acuan dari kementerian pendidikan, karena pondok pesantren tidak berada di bawah naungan pemerintah, melainkan dikelola oleh pengasuh pesantren secara pribadi.
B. Kurikulum Pesantren Khalaf
Pesantren khalaf adalah perkembangan dari tipe pesantren lama, yang mana dalam orientasi belajarnya lebih condong untuk mengadopsi seluruh sistem pembelajaran klasik dan meninggalkan cara pengajaran tradisional. Penerapan sistem pembelajaran khalaf ini terlihat jelas pada adanya kelas-kelas yang dapat berupa madrasah atau pesantren. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum pesantren atau madrasah yang bersifat nasional. Santri di pesantren ini ada yang tinggal tetap dan juga ada yang datang dari sekitar desa lokasi pesantren. Peran para kyai sebagai koordinator dalam menjalankan proses pembelajaran dan juga sebagai pengajar di kelas sangatlah vital.
Perbedaannya dibandingkan dengan pesantren dan madrasah terletak pada fokus pendidikan agama dan bahasa Arab yang lebih diutamakan dalam kurikulum lokal. Dengan demikian, pesantren khalaf merupakan bentuk pendidikan pesantren yang telah diperbaharui untuk menyesuaikan dengan sistem pesantren atau madrasah. Kurikulum pesantren khalaf bersifat akademik dan dibagi menjadi beberapa bidang studi. Pertama, Bahasa Arab, yang mencakup Al-Imla', Al- Insya', Tamrin Al-Lughah, Al-Muthalla'h, Al-Nahwu, Al-Sharf, Al-Balaghah, Tarikh Al-Adab, dan Al-Khatt Al-Arabi, yang kesemuanya disampaikan dalam Bahasa Arab. Kedua, Diratsah Islamiyah yang meliputi Al-Qur'an, Al-Tajwid, Al-Tauhid, Al-Tafsir, Al-Hadits, Musthalah Al-Hadits, Al-Fiqh, Ushul Al-Fiqh, Al-Fara'id, dan Tarikh Al-Islam. Ketiga, Bahasa Inggris, yang mencakup Reading and Comprehension, Grammar, Composition, dan Dictation. Keempat, Ilmu Pasti yang mencakup Matematika. Kelima, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Hal yang menggembirakan dari kurikulum ini adalah pemahaman pendiri Pondok Khalaf Darussalam Gontor (KH. Imam Zarkasyi) tentang ilmu. Ia percaya bahwa Islam tidak memisahkan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum.
Maka ketika menjelaskan proporsi materi pelajaran dalam kurikulum pesantren khalaf yang diterapkannya (KMI), ia mengungkapkan 100% berkaitan dengan agama dan 100% dengan ilmu umum. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan umum sesungguhnya merupakan bagian dari pengetahuan agama dan memiliki tingkat kepentingan yang yang sama. Latar belakang pemikirannya berasal dari pengamatan bahwa kurangnya pengetahuan umum merupakan faktor utama kemunduran umat Islam (Masduki 2008).
Internalisasi dalam kurikulum pesantren tercermin dalam kurikulum tersembunyi dan kurikulum inti. Pada kurikulum tersembunyi, terdapat pengaruh terhadap materi pengajaran. Dalam perkembangannya, kurikulum yang tidak tampak ini berfungsi dalam aspek afektif melalui keteladanan pendidik yang diikuti sebagai contoh, serta berisi pesan moral dan nilai-nilai positif yang berhubungan dengan moderasi beragama. Sebagai contoh, dalam indikator moderasi beragama terdapat empat aspek: 1) komitmen terhadap bangsa; 2) toleransi; 3) penolakan terhadap kekerasan; dan 4) sikap terbuka terhadap kebudayaan lokal. Dalam hal toleransi, santri diharapkan selalu menunjukkan rasa hormat, menerima perbedaan sebagai bagian dari diri mereka, dan berpikiran positif. Penerapannya saat pembelajaran dilakukan, pendidik berupaya mengintegrasikan materi pelajaran dengan nilai-nilai atau pesan moral yang berkonteks moderasi beragama (Masduki 2008).
Kurikulum yang mencakup pengetahuan umum bagi seluruh santri sebagai bagian dari pengalaman belajar. Isi atau materi pembelajaran dirancang untuk membentuk karakter santri yang moderat. Hal ini diajarkan secara eksplisit dalam setiap pelajaran yang berhubungan dengan pembentukan karakter moderat pada santri. Pelaksanaan kurikulum inti juga mirip dengan kurikulum tersembunyi, di mana pendidik harus menjadi pelopor, karena mereka diharapkan menjadi contoh dalam pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai moral. Moderasi beragama diintegrasikan ke dalam materi sebagai bagian dari pengajaran yang berkaitan dengan pendidikan multikultural. Menurut Ainurrafiq Dawam, hal ini adalah proses pengembangan potensi manusia yang menghargai pluralisme dan keberagaman sebagai konsekuensi dari variasi budaya, etnis, suku, dan agama. Dengan demikian, lembaga pendidikan pesantren berperan dalam memberikan pengetahuan praktis tentang moderasi beragama dalam kurikulum, dan setiap akademisi akan memiliki acuan nilai yang jelas (Asrohah 2011).
Penting untuk mencapai hal ini karena mengembangkan sikap moderat pada santri adalah suatu keharusan untuk mengurangi dampak negatif dari radikalisme di pesantren. Tujuannya bukan hanya agar santri menjadi moderat, tetapi juga untuk meningkatkan keseimbangan antara kemampuan menjadi individu yang baik serta memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk hidup dengan harmonis di tengah keberagaman masyarakat (A. Z Fahri Mohamad 2022).
3. Melalui Keteladanan Kiai dan Pengasuh Pesantren serta Kegiatan Harian
Seorang kiai dan ustadz yang mengelola pesantren harus menjadi sosok yang moderat melalui perilaku dan sikapnya, sehingga para santri dapat mengikuti teladan serta akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari. Tugas utama seorang kiai atau ustadz adalah mendidik santri agar mampu menanamkan nilai-nilai moderasi dalam keragaman di Indonesia yang masyarakatnya beragam. Cara pengajaran ini dilakukan melalui empat nilai dasar yaitu toleransi, keadilan, keseimbangan, dan kesetaraan.
Sebagaimana yang terlihat dalam program pondok pesantren Al Utsmani, terdapat aktivitas rutin yang mengandung elemen penanaman nilai moderat seperti berzanji, dibaiyyah, manaqib, dan simtuduror. Pondok pesantren Al Utsmani berlandaskan ahlussunah waljamaah, dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan yasin, tahlil, dibaiyyah, berzanji, dan simtu duror. Pengembangan karakter moderat santri melalui pemahaman agama Islam secara menyeluruh dapat menghasilkan masyarakat yang beretika. Moralitas ini mampu mendorong naluri manusia untuk menjadi individu yang berakhlak, sehingga dapat terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terdapat kegiatan bahtsul masail sebagai program pondok pesantren Al Utsmani yang juga mengandung elemen penanaman nilai moderat bagi santri. Kegiatan bahtsul masail adalah sebuah pembelajaran yang mencakup debat ilmiah untuk mengasah kemampuan santri dalam berpikir kritis dan komprehensif, sehingga mereka dapat mencari solusi tepat untuk masalah dengan mendiskusikan hukum secara benar dan mendapatkan manfaat bagi umat. Berdasarkan pengamatan, bahtsul masail merupakan forum penting dalam membentuk karakter moderat santri; melalui kegiatan ini, mereka dapat berpikir kritis, tidak condong ke radikalisme maupun liberalisme, serta menghargai perbedaan pendapat. Ajibah Quroti Aini menyatakan bahwa bahtsul masail berfungsi sebagai wadah bagi santri untuk mengkaji isu-isu agama, sehingga bisa mengasah kemampuan berpikir mereka dalam menyelesaikan masalah secara kontekstual.
Melalui bahtsul masail, terlihat bahwa sistem pendidikan pesantren bertanggung jawab untuk mengajarkan Islam yang moderat dan bersikap toleran. Selain bahtsul masail, terdapat juga Syawir (musyawarah) sebagai program pondok pesantren Al Utsmani yang memiliki unsur penanaman nilai moderat. Musyawarah merupakan metode pengajaran yang mirip dengan diskusi atau seminar. Kiai atau guru memberikan tugas kepada santri dalam kelompok atau secara individu untuk mempresentasikan subtopik yang menjadi pokok bahasan. Kegiatan syawir merupakan aktivitas wajib di pondok pesantren Al Utsmani, dilaksanakan setelah Madin dan usai sholat isya. Syawir membahas permasalahan yang masih sulit dan belum ada jawabannya. Dalam kegiatan ini, para santri berkumpul sesuai dengan kelas masing-masing. Achsan menjelaskan bahwa syawir merupakan kegiatan yang berperan dalam mengembangkan karakter melalui nilai-nilai yang ada di dalamnya, di mana santri diharapkan dapat memahami dan memecahkan masalah dengan mempertimbangkan makna serta konteks agar mencapai pemahaman yang utuh tanpa bertentangan dengan pendapat para ulama yang berbeda.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa pesantren yang ada di Pekalongan memiliki peranan vital dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama kepada santri. Melalui metode pembelajaran yang mengacu pada kitab-kitab klasik, kurikulum formal, serta kegiatan keagamaan dan sosial, pesantren secara aktif membentuk karakter santri yang tolerant, terbuka, dan menghargai keberagaman. Keteladanan kiai serta pengasuh menjadi faktor utama dalam mengembangkan sikap inklusif dan moderat. Kegiatan seperti bahtsul masail dan syawir memungkinkan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan penghargaan terhadap perspektif yang berbeda. Dengan demikian, fungsi pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai agen yang penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan toleran dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saran
Untuk para pengelola pesantren, sangat penting untuk terus memperbarui kurikulum agar dapat menjawab tantangan zaman, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip keislaman yang moderat dan sesuai konteks. Perlu ditekankan pendekatan integratif antara pengetahuan agama dan ilmu umum, agar santri dapat berkontribusi secara aktif di masyarakat yang multikultural. Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan, sangat diperlukan dukungan nyata, baik dalam bentuk peraturan, pelatihan, maupun fasilitas, untuk memperkuat peranan pesantren dalam mengedepankan moderasi beragama sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa. Untuk masyarakat pada umumnya, perlu ditumbuhkan kesadaran untuk mendukung dan bekerja sama dengan pesantren sebagai mitra strategis dalam membangun kehidupan sosial yang beradab dan toleran. Untuk peneliti dan akademisi, disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam terkait penerapan nilai moderasi beragama di berbagai jenis pesantren di daerah lainnya, sehingga dapat ditemukan pola-pola umum dan cara-cara terbaik dalam menanamkan nilai-nilai tersebut di lingkungan pendidikan Islam.
Daftar Pustaka:
- Amri, K. (2021). Moderasi beragama perspektif agama-agama di Indonesia. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 4(2), 179–196.
- Muhtarom, A., Fuad, S., & Latif, T. (2020). Moderasi beragama: Konsep, nilai, dan strategi pengembangannya di pesantren. Yayasan Talibuana Nusantara.
- Rahmatika. (2021). Implementasi nilai-nilai moderasi beragama dalam TPQ melalui kegiatan mengaji Al-Qur’an di TPQ Nurul Khikmah. Altifani: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(2), 159–167.
- Anwar, R. N., & Muhayati, S. (2021). Upaya membangun sikap moderasi beragama melalui pendidikan agama Islam pada mahasiswa perguruan tinggi umum. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 12(1), 1–15.
- Syaifuddin, A. T. M. (2020). Strategi mindset system belajar kritis komprehensif. La-Tahzan: Jurnal Pendidikan Islam, 12(1), 94–113.
- Syaifuddin, M. (2024). Strategi internalisasi karakter moderat di Pondok Pesantren Al-Utsmani Kabupaten Pekalongan. El-Fakhru, 4(1), 28–44.
- Arifin, S. (2023). Internalisasi moderasi beragama dalam kurikulum pesantren. EDUKASIA: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 4(2), 1991–1998.
Penulis:
Siti Shofatul Arifina saat ini aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.