Ketika dunia kembali berharap pada ketenangan pasca pandemi, konflik geopolitik kawasan Timur Tengah justru kembali memanas. Serangan langsung antara Israel dan Iran, yang telah lama saling menggertak dalam bayang-bayang perang proxy, akhirnya benar-benar meletus dalam skala besar. Sejak 13 Juni 2025, operasi militer terbuka dilancarkan oleh Israel ke sejumlah target vital di Iran. Respons Iran yang cepat dan brutal tak hanya membuat kawasan memanas, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran global yang tak bisa diabaikan. Situasi ini telah menjadi perhatian utama bagi para pengamat politik internasional, termasuk media seperti tempoaktual yang dengan jeli merekam dinamika konflik ini sejak hari pertama.
Awal Mula Ledakan: Ketegangan yang Lama Terpendam
Ketegangan antara Iran dan Israel bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Revolusi Islam 1979, kedua negara secara ideologis dan strategis telah saling berseberangan. Iran mendukung berbagai kelompok bersenjata anti-Israel di Lebanon, Suriah, dan Gaza, sementara Israel secara konsisten menggagalkan upaya Iran memperkuat kekuatan militernya, khususnya program nuklirnya.
Namun, eskalasi terbaru ini berbeda, tak lagi berlangsung di ruang-ruang abu-abu konflik tak langsung, melainkan di arena terbuka. Serangan udara Israel yang diberi nama Operation Rising Lion menyasar pusat-pusat vital: fasilitas nuklir Natanz, situs militer Isfahan, hingga markas intelijen Quds Force di Teheran. Sebuah pesan kuat bahwa Israel tak akan menoleransi kemajuan nuklir Iran yang dianggap ancaman eksistensial.
Sebagai tanggapan, Iran meluncurkan ratusan rudal balistik, drone kamikaze, dan serangan siber ke wilayah Israel. Kota Tel Aviv, Haifa, dan Beer Sheva merasakan langsung deru perang yang selama ini hanya terasa di perbatasan. Meski Iron Dome dan sistem pertahanan Arrow mampu menahan sebagian besar serangan, realitas bahwa perang kini berlangsung dua arah membuat ketegangan publik di Israel meningkat tajam.
Intervensi Amerika dan Guncangan Kawasan
Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini bukan hal yang mengejutkan. Sebagai sekutu utama Israel, AS tak tinggal diam saat fasilitas nuklir Israel menjadi target. Pada 22 Juni, Washington melancarkan Operation Midnight Hammer, menghantam infrastruktur nuklir Iran dengan rudal presisi tinggi. Natanz, Fordow, dan Isfahan menjadi sasaran. Dunia menyaksikan bagaimana konstelasi kekuatan global terlibat langsung dalam konflik yang sebelumnya hanya bersifat regional.
Namun, langkah AS itu memperluas risiko. Iran membalas dengan menyerang pangkalan militer AS di Qatar, menandai bahwa wilayah Teluk pun bisa menjadi bagian dari medan perang. Walau tak menimbulkan korban jiwa, serangan tersebut menunjukkan bahwa perang dapat merembet ke basis-basis Amerika di Timur Tengah.
Di sisi lain, negara-negara Arab seperti Arab Saudi, UEA, dan Mesir memilih bersikap ambigu. Mereka khawatir akan ketegangan yang bisa menyeret mereka masuk ke dalam pusaran konflik, namun juga tak bisa menyembunyikan kekhawatiran terhadap ambisi nuklir Iran. Sebagian bahkan secara diam-diam mendukung aksi Israel, sebagaimana terungkap dari pergerakan diplomatik rahasia di Oman dan Bahrain.
Kerusakan, Korban, dan Narasi Propaganda
Data sementara menyebutkan bahwa lebih dari 600 warga Iran tewas dalam berbagai serangan udara Israel dan AS, termasuk lebih dari 60 ilmuwan nuklir, 200 lebih perwira militer, dan ratusan warga sipil. Kota-kota seperti Qom, Shiraz, dan Teheran mengalami kehancuran infrastruktur yang cukup parah. Sementara di Israel, korban jiwa mencapai 29 orang, dan lebih dari 3.200 terluka akibat hantaman rudal dan drone Iran.
Kedua negara memanfaatkan media untuk membentuk narasi masing-masing. Iran, melalui kantor berita IRNA dan PressTV, menggambarkan serangan Israel dan AS sebagai tindakan pengecut yang membunuh warga sipil tak bersalah. Sementara Israel, melalui IDF dan media pro-pemerintah, menekankan bahwa semua target adalah militer dan vital demi mencegah ancaman nuklir di masa depan.
Kedua narasi ini diperkuat oleh propaganda visual. Di Iran, ribuan orang menghadiri pemakaman massal para syuhada militer, meneriakkan slogan seperti “Mampus Israel” dan “Mati Amerika”. Di Israel, warganya menyalakan lilin di lapangan publik, memperingati para korban sambil menekankan solidaritas nasional.
Dunia Siber: Medan Perang Tak Terlihat
Perang di era digital tak bisa dilepaskan dari serangan siber. Kelompok peretas pro-Israel seperti Predatory Sparrow melumpuhkan sistem perbankan Iran, mencuri dana lebih dari USD 100 juta, dan merusak sistem keuangan domestik. Serangan ini memicu kepanikan di Iran, di mana jutaan warga tak bisa mengakses rekening atau melakukan transaksi online.
Iran merespons dengan membatasi akses internet nasional dan memblokir lebih dari 4.000 aplikasi dan situs luar negeri. Pemerintah juga memperketat pengawasan terhadap warganya yang dicurigai memiliki afiliasi asing. Ratusan ditangkap, dan setidaknya 17 orang dieksekusi atas tuduhan kolaborasi dengan Mossad.
Serangan siber ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan bagian dari strategi psywar yang mempengaruhi psikologis warga. Warga Iran mulai meninggalkan Teheran dalam jumlah besar, menuju wilayah utara seperti Mazandaran dan Gilan, yang dianggap lebih aman. Fenomena ini disebut media sebagai "eksodus sunyi", menunjukkan betapa besar dampak ketakutan yang ditimbulkan.
Gencatan Senjata yang Rawan Meledak Kembali
Pada 24 Juni dini hari, gencatan senjata diumumkan melalui mediasi Qatar dan PBB. Meski demikian, beberapa jam setelah diumumkan, Iran masih sempat meluncurkan rudal balistik jarak menengah ke arah laut Mediterania. Israel pun melakukan serangan radar terhadap pangkalan militer di Babolsar sebagai respons.
Gencatan senjata ini dianggap rentan. Tak ada jaminan keamanan jangka panjang, hanya sekadar penghentian tembak-menembak dalam jangka pendek. Banyak pihak menilai bahwa ini hanyalah “napas sesaat” sebelum badai lebih besar datang. Apalagi, kedua pihak saling mengklaim kemenangan strategis.
Israel menyebut bahwa mereka berhasil menghancurkan lebih dari 40% kemampuan nuklir Iran dan melemahkan struktur kepemimpinan militernya. Sebaliknya, Iran menegaskan bahwa kemampuannya untuk membalas dalam hitungan jam menunjukkan bahwa mereka tak bisa diintimidasi. Narasi semacam ini membuat situasi tetap tegang meski tidak ada aksi militer terbuka.
Implikasi Global: Energi, Diplomasi, dan Ancaman Baru
Konflik ini tak bisa dibatasi dalam kerangka regional semata. Imbasnya terasa ke seluruh dunia. Harga minyak mentah melonjak 17% dalam seminggu sejak konflik dimulai. Jalur pelayaran di Selat Hormuz terganggu, dan perusahaan logistik global mulai mengalihkan rute ke Laut Merah dengan risiko keamanan baru akibat potensi serangan dari kelompok Houthi di Yaman.
Diplomasi internasional pun bergerak cepat. Uni Eropa, yang sangat tergantung pada energi dari Teluk, mendesak kedua belah pihak untuk menahan diri. Sementara Tiongkok dan Rusia mengambil posisi ambigu, menjaga hubungan baik dengan Iran namun tetap membuka komunikasi dengan Israel.
Kekhawatiran utama dunia adalah potensi eskalasi ke arah penggunaan senjata non-konvensional. Meski Iran membantah memiliki senjata nuklir, para analis pertahanan meyakini bahwa Teheran telah mendekati ambang kemampuan tersebut. Serangan Israel yang menyasar pusat-pusat riset nuklir bisa menjadi justifikasi bagi Iran untuk mempercepat programnya secara tertutup.
Di tengah ketegangan ini, muncul pula ancaman dari kelompok-kelompok non-negara. Hizbullah di Lebanon mulai menunjukkan tanda-tanda siap beraksi, Hamas di Gaza mengeluarkan pernyataan dukungan penuh untuk Iran, dan kelompok-kelompok bersenjata di Irak pun mulai memobilisasi. Dengan kata lain, satu konflik bisa memicu banyak konflik lain secara berantai.
Penutup: Ketegangan yang Perlu Dikawal Dunia
Perang Iran-Israel yang meletus secara terbuka pada Juni 2025 menjadi pengingat bahwa perdamaian di Timur Tengah selalu rapuh. Konflik ini bukan hanya pertarungan antara dua negara, tetapi juga refleksi dari konflik ideologis, strategi pertahanan, dan perebutan pengaruh regional. Dalam era di mana teknologi, propaganda, dan kekuatan ekonomi menjadi senjata baru, perang tak lagi sekadar soal tank dan rudal, tetapi juga soal data, opini publik, dan stabilitas psikologis rakyat.
Meski saat ini konflik telah memasuki fase gencatan senjata, dunia tak boleh terlena. Kewaspadaan, diplomasi aktif, dan tekanan internasional tetap menjadi kunci untuk memastikan konflik ini tidak berubah menjadi perang global yang lebih besar. Dengan meningkatnya ketegangan di berbagai belahan dunia, hanya kehati-hatian dan kebijaksanaan yang dapat menjadi penawar atas ambisi dan ego yang sering kali menjadi sumber utama perang.
Melalui ketajaman analisis dan pembacaan mendalam, platform seperti Tempo Aktual memiliki peran penting dalam menjaga kesadaran publik agar tidak terjebak dalam kabut propaganda dan informasi sepihak. Di tengah derasnya arus konflik, informasi yang jernih adalah cahaya yang paling dibutuhkan umat manusia hari ini.