Dalam dunia manajemen modern, keberhasilan sering kali diukur dari kemampuan mencapai target. Angka-angka seperti persentase penjualan, pertumbuhan pasar, atau efisiensi biaya menjadi patokan kinerja yang dominan. Namun, orientasi yang terlalu kaku pada hasil membuat sebagian manajer lupa bahwa cara mencapai target sama pentingnya dengan target itu sendiri. Di sinilah etika profesi dan profesionalisme diuji secara nyata.
Seorang manajer tidak hanya dituntut untuk pintar membaca dan mengatur strategi, tetapi juga untuk menjaga arah moral dari keputusan yang diambil. Profesionalisme bukan hanya soal kepiawaian kerja, tetapi juga soal sikap: bagaimana ia menjaga kejujuran, menempatkan kepentingan bersama di atas ego dan tetap pada prinsip ketika godaan hasil instan muncul.
Antara Target dan Integritas:
Manajer yang hanya mengejar performa bisa saja tampak sukses secara kasatmata, namun sesungguhnya sedang mengikis integritas profesionalisme secara perlahan. Ia mungkin mencapai target bulanan, tetapi mengorbankan kesejahteraan tim, kejelasan proses, bahkan melanggar aturan yang semestinya dijunjung. Saat hasil menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, nilai-nilai etika mulai tersingkir secara sistematis.
Ketika Budaya Hasil Mengikis Nurani
Banyak organisasi tanpa sadar membangun budaya yang menekan etika. Karyawan dan manajer didorong untuk mencapai angka, tanpa banyak ruang untuk menimbang bagaimana angka itu dicapai. Akibatnya, jalan pintas menjadi normal dan keberanian untuk berkata jujur tergantikan dengan kepintaran menyiasati system.
Dalam kondisi seperti itu, profesionalisme kehilangan makna. Padahal menurut Melilia dkk (2025) penerapan prinsip etika seperti integritas, objektivitas dan tanggung jawab merupakan fondasi penting dalam menjaga kepercayaan terhadap profesi. Artinya, integritas bukan nilai tambahan, tetapi pusat dari keseluruhan kerja manajerial. Tanpa integritas, profesionalisme hanya jadi kosmetik yang mudah luntur saat diuji.
Etika Bukan Beban, Tetapi Penjaga Reputasi
Etika kerap dianggap sebagai sesuatu yang ideal tetapi tidak praktis. Bahkan ada anggapan bahwa mereka terlalu etis sulit bersaing dalam dunia yang keras. Tetapi justru sebaliknya, etika adalah pertahanan paling kokoh bagi reputasi jangka panjang. Manajer yang teguh pada prinsip mungkin tidak selalu disukai, tetapi akan selalu dihormati.
Hal ini ditegaskan oleh Monique dan Nasution (2023) yang menyatakan bahwa profesionalisme, independensi dan etika profesi berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Ini membuktikan bahwa etika bukan sekadar nilai moral, tetapi juga berkaitan langsung dengan kualitas kerja yang dihasilkan. Seorang manajer yang bekerja dengan jujur, terbuka dan adil akan memimpin tim yang loyal, solid dan percaya pada proses.
Menjadikan Etika Sebagai Kompas Harian
Etika profesi tidak hanya dibicarakan dalam pelatihan atau dipajang dalam poster. Ia harus menjadi kebiasaan harian dalam mengambil keputusan, menyusun kebijakan, hingga dalam cara berbicara dengan tim. Etika perlu hadir bukan hanya saat kondisi aman, tetapi terutama saat tekanan muncul, ketika manajer dihadapkan pada pilihan untuk menyelamatkan citra atau mengatakan kebenaran.
Organisasi pun memegang peran penting dalam memperkuat etika. Jika sistem hanya memberi penghargaan pada angka, maka pelanggaran akan terus terjadi diam-diam. Tetapi, jika integritas juga dihargai, maka keberanian untuk jujur akan tumbuh. Tim yang dipimpin oleh manajer yang beretika tidak hanya berkerja untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga untuk menjaga nama baik bersama.
Target memang penting. Tanpa target, organisasi kehilangan arah. Tetapi jika target dicapai dengan cara yang salah, maka hasil itu tidak layak dibanggakan. Profesionalisme sejati tidak bisa hanya diukur dari apa yang dicapai, tetapi juga bagaimana sesorang menjalaninya.
Manajer yang kuat bukan hanya sesorang yang hanya bisa menyusun strategi jitu, tetapi yang tetap menjaga nurani ketika banyak orang memilih mengabaikannya. Dunia kerja saat ini tidak kekurangan orang cerdas, tetapi sangat membutuhkan orang yang bisa berpikir benar dan bertindak dengan hati. Sebab keberhasilan tanpa etika adalah kemenangan palsu dan pada akhirnya, hanya mereka yang tetap setia pada nilai yang akan dipercaya dan bertahan. Ketika profesionalisme dan etika beriringan, barulah muncul kinerja yang abadi yang bukan hanya mengesankan di formulir laporan, tetapi juga dihargai oleh orang-orang di sekitarnya dan oleh masyarakat luas.
Penulis:
- Santa Kartika Pebriani Silaban merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E., M.M. merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.