Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pulau Sipora dalam Bahaya?

Pulau Sipora terancam akibat izin pembalakan hutan skala besar. Yuk, buka mata dan suarakan kepedulian! Saatnya kita bergerak bersama menyelamatkan ..

Pulau Sipora di Kepulauan Mentawai saat ini berada di ujung tanduk. Izin pemanfaatan hutan seluas 20.700 hektare--atau hampir separuh dari luas pulau--telah diberikan kepada perusahaan melalui skema Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Izin inilah yang menjadi awal dari ancaman serius terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat adat di pulau kecil tersebut.

Pulau Sipora dalam Bahaya?
Sumber: Instagram | @balnyes

Bukan hanya terkait legalitas izin, krisis ini juga menunjukkan wajah dari pembangunan yang masih berbasis eksploitasi sumber daya alam. Ketika pohon-pohon di hutan ditebang, Sipora akan kehilangan fungsi penting vegetasi dalam menjaga siklus air. Hal ini akan berdampak pada pengisian ulang air tanah, kelembaban udara lokal, dan debit mata air.

Hutan Bukan Sekadar Pohon

Bagi masyarakat adat Mentawai, hutan adalah bagian dari kehidupan. Hutan bukan hanya sumber pangan dan obat tradisional, tetapi juga ruang spiritual dan budaya. Penebangan hutan komersial dapat mengganggu akses masyarakat terhadap tanaman, yang mana sebagain besar hanya tumbuh di hutan alami.

Ketika akses mendapatkan tanaman obat terputus, masyarakat akan dipaksa bergantung pada obat pabrikan dan pasokan luar yang tak selalu terjangkau. Kondisi inilah yang memperlebar jurang ketimpangan ekonomi dan melemahkan kemandirian lokal. Lebih lanjut, konflik ini juga memicu adanya ketegangan horizontal, dimana sebagian warga akan tergiur janji lapangan pekerjaan dari perusahaan, sebagian lagi menolak deforestasi karena khawatir akan dampaknya terhadap tanah dan identitas mereka.

Tumpang Tindih Regulasi dan Minimnya Perlindungan

Secara keseluruhan, perlindungan terhadap pulau kecil diatur dalam UU No.1 Tahun 2024. Namun, celah regulasi telah membuka ruang bagi perusahaan untuk tetap masuk. Dalam kasus ini, skema PBPH yang dijalankan juga menimbulkan pertanyaan soal keadilan prosedural.

Prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) yang mewajibkan persetujuan masyarakat adat sebelum proyek berjalan, nyaris tak dijalankan. Situasi ini telah menggambarkan ketimpangan kekuasaan yang lebar, dimana negara dan korporasi bertindak sebagai pengambil keputusan, sementara masyarakat hanya jadi penonton dan penerima dampak. Jika pola ini terus dibiarkan, tidak hanya Sipora yang terancam. Pulau-pulau kecil lain di Indonesia juga bisa mengalami eksploitasi serupa.

Langkah-Langkah yang Bisa Diambil

Untuk menyelamatkan Pulau Sipora, beberapa langkah ini dapat segera diambil.

  1. Cabut izin PBPH secara tegas. Pemerintah perlu segera meninjau dan membatalkan izin-izin yang merusak ekosistem. Peninjauan ini dapat dimulai dari audit ekologis menyeluruh. Moratorium semestara terhadap aktivitas pembalakan juga penting agar kerusakan yang terjadi tidak semakin meluas.
  2. Terapkan zonasi ekologis berbasis adat dan sains. Pemetaan kawasan, yang meliputi hutan adat, wilayah konservasi, dan area tangkapan air, harus dilakukan secara legal dan melibatkan masyarakat lokal dan ahli lingkungan. Langkah ini penting untuk membatasi ekspansi industri ke zona sensitif.
  3. Melakukan restorasi ekologis secara terpadu. Program pemulihan ini harus mencakup penanaman kembali pohon endemik, pengembangan agroforestri, dan sistem pemanenan air hujan. Namun, upaya ini harus dirancang bersama komunitas.

Dengan pendekatan yang menyatukan ilmu pengetahuan, kearifan lokal, dan keadilan, Pulau Sipora Masih bisa diselamatkan. Bahkan ia bisa menjadi contoh global bagaimana pulau kecil bisa bertahan dan berkembang tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Biodata Penulis:

Angely Dita Lusy Istifarin, biasa dipanggil Angely, lahir pada tanggal 13 Maret 2004 di Madiun. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.