Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Rumah Belandaku

Pernahkah kamu rindu pada tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecil? Yuk, tengok kisah haru tentang “Rumah Belanda” yang diam-diam ...

Ada satu tempat dalam hidupku yang tak pernah benar-benar kulupakan, meski kaki ini kini jarang melangkah ke sana: rumah budeku. Sejak kecil, aku sering diajak ke sana oleh Mama. Letaknya tidak jauh dari pusat kota, tapi suasananya seperti dunia yang lain lebih tenang, lebih lambat, dan entah mengapa, terasa lebih damai. Rumah itu adalah rumah dinas tentara, peninggalan zaman Belanda, berdiri gagah tapi tetap sederhana. Kami menyebutnya "Rumah Belanda", meski tak satu pun dari kami berdarah Belanda.

Rumah Belandaku
Sumber: Freepik

"Dulu ini rumah peninggalan zaman kolonial," kata Mama suatu hari, saat kami duduk di teras depan rumah bude. "Jendelanya gede-gede kayak di film-film, kan? Kamu suka banget main di sini dulu." Aku hanya tersenyum sambil menyeruput teh buatan bude. Udara pagi di rumah itu selalu terasa segar, seperti ada aroma masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang.

"Inget nggak, Ma, dulu aku sering sembunyi di balik lemari gede itu? Yang di ruang tamu." Mama tertawa kecil. "Iya, kamu pikir kita nggak tahu kamu di situ? Padahal suaranya kedengeran semua."

Kami sama-sama tertawa. Lucu rasanya, betapa kenangan bisa hidup kembali hanya karena duduk di tempat yang sama. Dulu rumah ini adalah surgaku. Aku berlari-lari di halaman belakang, memanjat pohon mangga, bahkan berkhayal jadi detektif karena rumah ini terasa seperti labirin kecil penuh misteri. Tapi seiring aku tumbuh, langkahku menjauh dari rumah itu. Sekolah, teman, dunia baru semuanya membuatku lupa caranya pulang.

"Kapan terakhir kamu nginep di sini?" tanya Mama tiba-tiba.

Aku berpikir. Lama. "Waktu SD, kayaknya... Sejak itu cuma mampir sebentar-sebentar."

Mama mengangguk pelan, lalu pandangannya menatap jauh ke halaman.

"Rumah ini kayak nunggu kamu pulang, Ra. Setiap pagi Budi masih buka jendela-jendela itu. Katanya biar udara masa kecil kamu tetap masuk."

Aku tercekat. Rasanya seperti dihantam pelan oleh nostalgia.

Kini rumah itu masih berdiri. Masih dihuni budeku. Tapi tak sehidup dulu. Anak-anak yang dulu bermain di halaman kini sibuk di kota. Pohon mangga masih ada, tapi jarang lagi dipanjat. Jendela besar itu masih terbuka setiap pagi, tapi tak banyak yang memperhatikannya. Kadang aku berpikir, mungkin rumah itu diam-diam merindukan kami, seperti kami yang diam-diam merindukan masa-masa dulu.

"Ra, kamu nggak pengen bawa anak-anak kamu main ke sini nanti, kalau udah gede?" tanya Mama sambil tersenyum. Aku tersenyum balik. "Pengen banget, Ma. Biar mereka tahu, dulu ibunya pernah punya dunia kecil yang indah di rumah Belanda ini." Rumah Belandaku mungkin bukan milikku sepenuhnya, tapi hatiku tertinggal di sana, di antara ubin dingin, suara pintu berderit, dan pohon mangga tua.

Andara Nadien Hapsari

Biodata Penulis:

Andara Nadien Hapsari saat ini aktif sebagai mahasiswa. Penulis bisa disapa di Instagram @___darraa

© Sepenuhnya. All rights reserved.