Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Setiap Rakyat Ternyata Memiliki Hak untuk Bersuara?

Dalam sejarah Indonesia, kita sudah beberapa kali menyaksikan bagaimana suara rakyat mampu mendorong perubahan besar. Reformasi 1998 adalah salah ...

Hak untuk menyampaikan pendapat adalah bagian dari kehidupan manusia yang tak bisa dilepaskan. Sejak lahir, setiap orang memiliki suara yang bisa digunakan untuk menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Dalam konteks bernegara, hak ini menjadi salah satu pondasi utama bagi kehidupan demokrasi. Demokrasi sendiri bukan hanya soal pemilu atau keberadaan lembaga negara. Demokrasi hidup ketika masyarakatnya berani dan mampu bersuara. Ketika ada ruang terbuka untuk menyampaikan pendapat, mengkritik kebijakan, atau memberi masukan, maka sistem itu akan bergerak ke arah yang lebih baik.

Setiap Rakyat Ternyata Memiliki Hak untuk Bersuara
Sumber: Freepik

Dalam sejarah Indonesia, kita sudah beberapa kali menyaksikan bagaimana suara rakyat mampu mendorong perubahan besar. Reformasi 1998 adalah salah satu contoh paling jelas. Saat itu, suara mahasiswa, buruh, dan masyarakat umum yang selama ini dipendam akhirnya meledak dan membawa pergeseran besar dalam sistem pemerintahan. Yang perlu dicatat, perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia lahir dari keresahan yang lama dipendam, dari suara-suara yang perlahan menemukan keberanian untuk bersatu. Namun, setelah reformasi berlalu, tantangan baru muncul. Hak untuk bersuara memang lebih terbuka, tetapi itu tidak serta-merta membuat semua orang merasa aman untuk menyampaikan pendapatnya. Masih ada banyak kasus di mana kritik dianggap sebagai serangan pribadi. Pendapat berbeda dimaknai sebagai bentuk permusuhan. Bahkan, dalam beberapa situasi, orang yang menyuarakan ketidaksetujuannya bisa mendapat tekanan sosial atau hukum.

Banyak orang akhirnya memilih diam. Bukan karena tidak punya pandangan, tetapi karena merasa risikonya terlalu besar. Mereka takut dianggap melawan, dicap buruk, atau dikaitkan dengan hal-hal yang tidak mereka lakukan. Dalam situasi seperti ini, ruang demokrasi yang seharusnya terbuka menjadi sempit dan penuh batas tak kasat mata. Padahal, kritik dan perbedaan pendapat justru sangat dibutuhkan. Pemerintah bukan pihak yang harus selalu dibenarkan. Mereka adalah pelayan publik yang perlu diawasi, diingatkan, dan diberi masukan. Kritik yang jujur dan bertanggung jawab bukan bentuk permusuhan, tapi upaya menjaga agar roda pemerintahan tetap berjalan di jalur yang tepat. Membungkam suara rakyat bukan hanya melanggar hak, tapi juga melemahkan fondasi dari negara itu sendiri.

Pada era digital sekarang, kesempatan untuk menyampaikan pendapat semakin terbuka. Media sosial menjadi alat yang memudahkan siapa pun untuk bersuara. Namun, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan. Banyak orang menggunakan kebebasan itu tanpa memikirkan dampaknya. Batas antara kritik dan serangan personal menjadi kabur. Tak sedikit pula yang menyebarkan informasi keliru atau ujaran kebencian dengan dalih kebebasan berpendapat. Inilah sebabnya mengapa tanggung jawab menjadi bagian penting dari hak untuk bersuara. Kita boleh menyampaikan pendapat, tapi juga harus siap mendengarkan. Kita boleh berbeda pandangan, tapi tidak berarti harus saling menjatuhkan. Ruang publik bukan medan perang. Ia seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran, bukan saling membungkam. 

Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat yang paham hak dan tanggung jawabnya. Sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial harus membiasakan anak-anak untuk berdialog sejak dini. Mereka perlu didorong untuk berpikir kritis, tapi juga diajarkan bagaimana menyampaikan ide dengan cara yang baik. Ketika anak-anak tumbuh dengan kemampuan berdiskusi, mereka akan menjadi warga negara yang tidak mudah diprovokasi, dan tidak mudah memprovokasi.

Biodata Penulis:

Humaira Meyselva saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.