Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Sibuk Membandingkan Diri: Fenomena Media Sosial dan Tuntunan Syukur dalam Agama

Fenomena membandingkan diri di media sosial bukan hanya masalah emosional, tetapi juga spiritual dan neurologis. Agama dan sains sama-sama ...

Di era media sosial saat ini, kehidupan pribadi seseorang bisa terlihat oleh publik dalam hitungan detik. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menampilkan berbagai potret keberhasilan: pencapaian akademik, karier yang cemerlang, hubungan yang romantis, atau gaya hidup mewah. Meskipun terlihat sepele, paparan terus-menerus terhadap konten semacam ini dapat memicu kecenderungan psikologis yang dikenal sebagai social comparison atau membandingkan diri secara sosial.

Dari perspektif sains, menurut (Tama & Batubara, 2024) khususnya psikologi sosial, teori social comparison yang dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1954 menyebutkan bahwa manusia secara alami memiliki dorongan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain guna mengevaluasi kemampuan dan keadaannya. Dalam konteks media sosial, fenomena ini menjadi semakin intens karena kita terpapar pada pencitraan yang telah disusun dan dikurasi sedemikian rupa yang sering kali tidak merefleksikan realitas yang sebenarnya.

Fenomena Media Sosial dan Tuntunan Syukur dalam Agama

Menurut (Dinata & Pratama, 2022), perbandingan sosial yang berlebihan terutama membandingkan diri dengan orang yang lebih baik (upward comparison), berkaitan erat dengan meningkatnya perasaan iri, rendah diri, kecemasan, bahkan depresi. Hal ini diperkuat oleh riset dalam bidang neurosains yang menemukan bahwa ketika seseorang merasa tertinggal atau "kalah" dalam perbandingan sosial, bagian otak yang berkaitan dengan rasa sakit emosional (seperti korteks singulat anterior) menjadi aktif. Artinya, membandingkan diri di media sosial bisa berdampak nyata pada kesehatan mental.

Sementara itu, dari perspektif agama khususnya Islam perbandingan sosial yang berlebihan sangat tidak dianjurkan. Islam mengajarkan pentingnya syukur, yaitu sikap menerima dan menghargai nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Menurut (Rahmah, Abidin, & Abidin, 2022), beberapa ahli ilmu agama Islam, termasuk Al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jauziyah, dan Ibn al-Jauziyah, mengungkapkan konsep kebersyukuran dari perspektif Islam. Dalam Al-Qur’an disebutkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu" (QS. Ibrahim: 7). Syukur menjadi solusi atas dampak negatif perbandingan sosial karena dapat memberikan rasa cukup, ketenangan batin, dan kebahagiaan yang mandiri dari pengakuan luar.

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, "Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam urusan dunia), dan jangan melihat kepada orang yang berada di atas kalian, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah." (HR. Muslim). Hadis ini mengandung makna psikologis yang dalam, yaitu mengarahkan fokus seseorang kepada hal-hal yang bisa menumbuhkan rasa syukur daripada memperbesar kekurangan diri.

Menurut (Sormin, Masruroh, & Ibrahim, 2024), dari sisi psikologi positif rasa syukur dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting karena dianggap sebagai emosi yang dapat memperbaiki kesehatan mental. Psikolog Robert Emmons, salah satu tokoh terkemuka dalam bidang ini, menemukan bahwa individu yang secara rutin mempraktikkan rasa syukur cenderung memiliki suasana hati yang lebih stabil, hubungan sosial yang lebih baik, serta tingkat stres dan depresi yang lebih rendah (Rahman, Norhikmah, & Sarah, 2024).

Bahkan, aktivitas syukur terbukti meningkatkan kadar dopamin (hormon motivasi) dan serotonin (hormon penstabil suasana hati) dua hormon kebahagiaan dalam otak yang secara langsung berkontribusi terhadap kesejahteraan emosional.

Menurut (Meldi, Azwar, & Ilyas, 2025) selain syukur, konsep qana'ah dalam Islam, yakni merasa cukup dengan apa yang dimiliki, juga sejalan dengan temuan sains mengenai pentingnya self-acceptance (penerimaan diri). Individu yang mampu menerima diri sendiri dengan segala keterbatasannya cenderung lebih tahan terhadap tekanan sosial dan tidak mudah terpengaruh oleh pencitraan orang lain.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Baik agama maupun sains sepakat bahwa kesadaran diri adalah kunci. Dalam praktiknya, seseorang dapat mulai dengan membatasi waktu penggunaan media sosial, mengurangi konsumsi konten yang memicu perbandingan, dan memperbanyak aktivitas yang membangun koneksi dengan Tuhan serta sesama. Membuat jurnal syukur harian, memperdalam ibadah, atau sekadar menyadari hal-hal kecil yang patut disyukuri, dapat menjadi langkah konkret untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual.

Kesimpulannya, fenomena membandingkan diri di media sosial bukan hanya masalah emosional, tetapi juga spiritual dan neurologis. Agama dan sains sama-sama memberikan peringatan serta solusi: agama mengajarkan syukur dan qana'ah sebagai penyeimbang hati, sementara sains menunjukkan bahwa praktik ini berdampak langsung pada otak dan kesejahteraan jiwa. Maka, ketika keduanya berpadu, kita dapat menjalani hidup dengan lebih tenang, sadar, dan penuh rasa cukup tanpa harus terus-menerus merasa kurang dibanding orang lain.

Referensi:

  • Tama, G. C., & Batubara, A. (2024). Body Shaming dan Kepercayaan Diri: Studi Kasus Pada Remaja Putri. Jurnal Mutiara: Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah, 2(6), 126. Sumatera Utara.
  • Dinata, R. I., & Pratama, M. (2022). Hubungan antara Social Comparison dengan Body Image Dewasa awal Pengguna Media Sosial Tiktok. Jurnal Ranah Research: Journal of Multidisciplinary Research and Development, 4(3), 219. Padang.
  • Rahmah, A. M., Abidin, Z., & Abidin, F. A. (2022). Mengupas makna syukur dari sudut pandang remaja awal. Jurnal Psikologi Udayana, 9(1), 2.
  • Sormin, M. A., Masruroh., & Ibrahim, M. (2024). MEMBANGUN KESEJAHTERAAN MENTAL MELALUI SYUKUR: PERSPEKTIF ISLAM DALAM PSIKOLOGI POSITIF UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAHAGIA. AL NAQDU: JURNAL KAJIAN KEISLAMAN, 5(2), 58. Cirebon: Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI).
  • Norhikmah, M. A. R., & Sarah. (2024). AGAMA DAN PSIKOLOGI (Dampak Spritual Terhadap Kesehatan Mental). Al-Furqan: Jurnal Agama, Sosial, dan Budaya, 3(6), 2663.
  • Meldi, S., Azwar, A. J., & Ilyas, D. (2025). Konsep Qana’ah Perspektif Hamka Dalam Mengatasi Stres Di Era Milenial. Journal of Religion and Social Community, 1(3), 161.

Biodata Penulis:

Faniza Vanandhea, lahir pada tanggal 26 Agustus 2006 di Pekalongan, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, program studi Manajemen Dakwah, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah. Penulis bisa disapa di Instagram @Fvnndea

© Sepenuhnya. All rights reserved.