Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Silat Makin Top, Tapi Citra Makin Drop?

Pencak silat bukan sekadar jurus dan kebanggaan perguruan—ini warisan budaya yang penuh nilai luhur! Yuk, kembalikan citra pesilat sebagai sosok ...

Kalau dengar kata “pesilat”, apa yang biasanya langsung terpikir? Jurus-jurus keren? Sparing? Lomba pencak seni? Atau…geng motor yang bawa bendera besar perguruan sambil teriak-teriak di jalan?

Yap, sayangnya, yang terpikir terakhir itu yang sering muncul lebih duluan. Padahal, pencak silat tuh budaya lokal yang luar biasa. Di Madiun, misalnya, silat sudah kayak nafas kota. Nggak heran kalau kota ini sampai diberikan julukan “Kota Pendekar”. Tiap acara ada atraksi silat yang bikin kagum, tiap kampung ada padepokan, tiap RW punya jagoannya, bahkan, tiap rumah punya pendekarnya. Keren, bukan? Tapi masalahnya, makin ke sini, citra keren itu makin buram.

Silat Makin Top, Tapi Citra Makin Drop
Sumber: pagarnusa.or.id

Orang-orang sekarang malah banyak yang mikir “Duh, ada rombongan anak silat nih, harus waspada!”. Kok bisa pikiran itu muncul? Bukankah harusnya itu jadi kebanggaan? Kenapa malah bikin masyarakat was-was?

Well, alasannya simpel tapi kompleks. Salah satunya karena banyak pesilat yang terlalu fanatik sama perguruannya. Bangga sih boleh, tapi ya kalau sudah bawa-bawa nama perguruan buat tawuran, flex di media sosial, atau senggol bacok karena beda pilihan ya jadi nyebelin dan malesin. Belum lagi gaya mereka yang suka banget tampil mencolok. Rambut dicat terang, pakai kaos “gapura” ke mana-mana, fandalisme, nongkrong ramai-ramai di pinggir jalan sambil teriak-teriak, terus naik motor knalpot brong. Serius, ini silat apa cosplay geng jalanan tukang rusuh?

Label “jamet” pun akhirnya nempel di para pesilat ini. Bukan karena silatnya yang jelek, tapi karena kelakuan sebagian oknumnya. Dan ironisnya, yang kayak gini malah yang makin viral. Aksi keroyokan karena beda perguruan, beda pendapat, konvoi ugal-ugalan, sampai nyindir-nyindir di medsos sudah kayak konten rutin. Orang luar jadi mikir “ini tuh bela diri atau ajang adu ego sih?”

Padahal nih ya, esensi pencak silat itu dalam banget. Di dalamnya, ada nilai hormat, kedisiplinan, pengendalian diri, bahkan filosofi hidup. Tapi, semua itu kayak ketutup sama gaya hidup urakan dan fanatisme yang nggak pada tempatnya. Yang harusnya ngajarin “menang tanpa menyakiti”, malah jadi “sakitin dulu biar dihormati”.

Yang rugi siapa? Ya semuanya. Nama baik silat jadi jelek. Masyakarat jadi ilfeel. Anak muda yang mau belajar silat pun jadi mikir-mikir. Bahkan, sekolah dan kampus ada yang sampai ngebatasin kegiatan silat karena takut ada bentrok.

Makanya, ini udah waktunya buat para pendekar muda ngaca. Mau jadi pesilat yang ditakuti karena urakan dan anarkis atau dihormati karena bijak? Mau budaya ini terus dijaga, dilestarikan, dikembangkan sampai dunia mengenal atau dibiarkan rusak cuma karena ego?

Silat itu warisan hebat. Tapi pesilat yang sok jagoan dan ngerasa benar sendiri cuma ngerusak nama baik sendiri. Yuk bisa yuk, balikin lagi maksa pencak silat ke tempat yang seharusnya. Bukan di jalanan, tapi di hari dan sikap.

Biodata Penulis:

Angely Dita Lusy Istifarin, biasa dipanggil Angely, lahir pada tanggal 13 Maret 2004 di Madiun. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.