Dalam Khazanah spiritual islam, konsep “merayu tuhan” muncul sebagai paradigma baru yang menggabungkan dimensi rasional dan spiritual dalam berinteraksi dengan tuhan. Istilah ini. Sebagaimana yang dipopulerkan oleh Habib Husein Ja'far Al Hadar, menawarkan perspektif segar tentang bagaimana seorang hamba dapat mendekati tuhannya melalui pendekatan yang lebih humanis dan artistik, namun tetap berdasar pada fondasi teologis yang kuat.
Konsep tentang merayu Tuhan tidak hanya berbicara tentang ritual ibadah formal saja, tetapi juga tentang bagaimana spiritualitas dapat dikolaborasikan denga rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual yang perlu ditingkatkan secara seimbang.
Rasionalisasi Spiritual
Spiritualitas dalam konteks merayu Tuhan merujuk pada hubungan intim dan personal antara hamba dengan Khaliq-nya. Ini bukan hanya tentang pelaksanaan ritual ibadah, tetapi juga tentang bagaimana seseorang dapat merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Spiritualitas Jawa, misalnya, telah lama mengajarkan tentang pencarian makna hidup melalui seni pertunjukan seperti wayang, yang mencerminkan nilai-nilai spiritual masyarakat (Israfil, 2023).
Dalam masyarakat modern yang cenderung materialistik dan hedonis, pengembangan dimensi spiritual menjadi semakin penting. Manusia modern sering mengalami kekeringan spiritual yang membuat mereka rentan terhadap berbagai masalah psikologis (Supriyanti, 2016). Seni merayu Tuhan menawarkan solusi dengan mengintegrasikan praktik spiritual ke dalam kehidupan sehari-hari melalui pendekatan yang lebih relatable.
Simfoni Harmoni Rasional-Spiriual
Simfoni antara rasional dan spiritual dalam seni merayu Tuhan dapat terwujud dalam beberapa aspek: Pertama, pendekatan dialogis bukan monologis. Merayu Tuhan mengimplikasikan adanya dialog antara manusia dan tuhannya, bukan monolog. Ini menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah bukan hanya tentang meminta atau curhat menyampaikan keluh kesah semata, tetapi harus juga mengenai mendengarkan dan memahami isyarat-Nya di berbagai peristiwa dalam hidup. Tentu pendekatan ini membutuhkan kecerdasan emosional dan tingkat spiritual yang tinggi.
Kedua, adalah integrasi kesalehan ritual dan sosial. Konsep ini mengharuskan kesalehan ritual (hubungan dengan Allah) dengan kesalehan sosial (hubungan dengan manusia). Hal ini harus berjalan sesuai dengan pemahaman bahwa cinta kepada Allah harus tegak lurus dengan cinta terhadap sesama makhluk-Nya.
Ketiga, manusia harus adaptasi dengan firman yang bersifat kontekstual. Seni merayu Tuhan pasti harus dengan bahasa dan pendekatan yang kontekstual yang harus diadaptasi dengan zaman, seperti perbedaan gaya bahasa antara Generasi Milenial dan Gen Z. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas dapat diekspresikan di sepanjang zaman dan masih relevan tanpa kehilangan esensi spiritual.
Tantangan Zaman
Dalam era digital dan globalisasi saat ini, konsep seni merayu Tuhan mengahadapi berbagai tantangan. Di satu sisi, ada kekhawatiran akan terjadinya pandangan menyepelekan ajaran agama. Di sisi lain, pendekatan merayu Tuhan membuka peluang untuk menjangkau generasi muda yang mungkin merasa terjerat dalam keagamaan tradisional.
Tantangan utamanya adalah bagaimana kita dapat mempertahankan kedalaman spiritual sambil tetap relevan dengan zaman. Hal ini membutuhkan kearifan dalam merespons pesan spiritual tanpa mengurangi subtansinya. Peluangnya adalah terbuka ruang dialog yang lebih luas untuk tradisi dan modernitas dan antara spiritualitas dan rasionalitas.
Kesimpulan
Seni merayu Tuhan dapat memungkinkan individu untuk mengembangkan hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan, dibarengi dengan kehidupan sosial tetap aktif dan produktif. Hal ini sama persis dengan konsep bahwa manusia adalah khalifah di bumi yang mana harus menyeimbangi antara dimensi duniawi dan ukhrawi.
Simfoni rasional dan spiritual dalam seni merayu Tuhan juga memunculkan paradigma baru, yakni beragama harus lebih humanistik. Pendekatan ini tidak menggantikan tradisi keagamaan tradisional, melainkan memperkaya dengan dimensi-dimensi baru yang relevan mengikuti arus perkembangan zaman.
Pada akhirnya, seni merayu Tuhan adalah tentang manusia dapat mengekspresikan spiritual dirinya dengan cara yang autentik, bermakna, dan juga relevan. Hal ini adalah sebuah tantangan untuk tidak hanya beragama dengan hati, tetapi juga dengan akal, perasaan, dan dengan melibatkan seluruh eksistensi yang melekat pada manusia, yang mana hanya diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Referensi:
- Muqorrobin, Z. (2024). Konsep ikhlas pada buku Seni Merayu Tuhan karya Habib Husein Ja'far dan kontribusinya dalam meningkatkan kesehatan mental Gen Z (Skripsi Sarjana, IAIN Ponorogo). IAIN Ponorogo Repository. https://etheses.iainponorogo.ac.id/29345/
- ResearchGate. (2015). Dimensi-dimensi spiritualitas dan religiusitas dalam intensi keperilakuan konsumen. https://www.researchgate.net/publication/282854302_Dimensi-dimensi_Spiritualitas_dan_Religiusitas_dalam_intensi_keperilakuan_konsumen
- ResearchGate. (2023, Juli 11). Spiritualitas dan religi. https://www.researchgate.net/publication/373049996_SPIRITUALITAS_DAN_RELIGI
- ResearchGate. (2022). Hubungan spiritualitas dan religiusitas dengan kualitas hidup kelompok usia lanjut. https://www.researchgate.net/publication/375112259_Hubungan_Spiritualitas_dan_Religiusitas_Dengan_Kualitas_Hidup_Kelompok_Usia_Lanjut
Biodata Penulis:
Muhammad Hijaz Muhajjir Al-Munawar saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid.