Media sosial sudah menjadi hal yang lumrah bahkan wajib untuk masyarakat di era digital ini. Seperti yang kita ketahui, pada masa ini kehidupan manusia dipermudah dengan adanya elektronik berupa ponsel yang menyediakan aplikasi-aplikasi instan yang memudahkan kebutuhan manusia. Seperti, berbelanja, membeli makanan, konsultasi dan berobat, sampai dengan hiburan-hiburan seperti menonton film, membaca novel, membaca komik dan sebagainya. Media sosial adalah salah satu bentuk hiburan masyarakat saat ini yang berisi kegiatan sehari-hari masing-masing pengguna. Walau sering kali disebut sebagai tempat “pamer”, namun tak sedikit pula media sosial dijadikan sebagai tempat mengujar kebencian yang entah berasal dari rasa iri ataupun alasan lainnya.
Pada saat ini, tak sedikit pengguna media sosial yang memiliki akun lebih dari satu. Untuk orang-orang tertentu, mereka membuat beberapa akun untuk membangun beberapa image yang tidak ingin ia tunjukkan di akun utama atau tidak memiliki kepercayaan diri memposting di akun utama. Kecemasan tersebut berasal dari maraknya cyber bullying atau orang-orang yang senang menebar kebencian di akun media sosial orang lain jika postingan tidak sesuai seleranya atau mengganggu pandangannya. Hal ini tentu merenggut kebebasan dalam akun sosial pribadi.
Cyber bullying merupakan perundungan digital yang marak dalam sosial media. Biasanya dilakukan oleh akun-akun yang menyembunyikan identitasnya untuk berkomentar jahat pada platform orang lain. Namun, tak sedikit juga beberapa pengguna media sosial yang berani berkomentar jahat dengan akun pribadinya. Salah satu media sosial yang sedang ramai saat ini adalah TikTok. TikTok merupakan media sosial yang berisi postingan-postingan dalam bentuk video ataupun foto dengan lagu yang menggunakan sistem FYP (atau For Your Page) yang menunjukkan video-video berdasarkan yang sering kita tonton. Sistem FYP ini membuat video-video random dari akun yang tidak kita ikuti muncul di beranda kita, membuat orang dengan mudah berkomentar jahat pada video yang tidak mereka harapkan lewat di berandanya. Tidak seperti Instagram, pengguna TikTok lebih didominasi oleh penonton dari pada pembuat konten. Dengan begitu banyak akun-akun di TikTok yang tidak beridentitas dan tidak mengupload konten untuk sekadar mencari hiburan saja.
Salah satu faktor lebih banyaknya penonton dari pada pembuat konten adalah karena luasnya platform TikTok ini sangat memudahkan timbulnya komentar-komentar jahat dari mana saja sehingga menimbulkan ketidakpercayadirian untuk mengupload konten dalam akun pribadi. Kini slogan “mulutmu harimaumu” lebih cocok disebutkan sebagai “jarimu harimaumu”. Karena komentar-komentar jahat tersebut sangat bermacam-macam dan muncul dari mana saja. Bisa hanya karena fisik sang kreator yang tak sesuai ekspektasi penonton, gaya bicara kreator, gaya hidup kreator, pertemanan kreator, pasangan kreator, bahkan hingga kehidupan pasangan dan keluarga kreator. Seolah semua kehidupan kreator harus sesuai dengan yang penonton inginkan.
Dengan maraknya cyber bullying tersebut harus diadakan sosialisasi agar masyarakat bijak dalam bersosial media. Ketidakbebasan yang dirasakan kreator bisa menimbulkan kecemasan setiap ingin mengupload sebuah konten dalam akunnya sendiri. Komentar-komentar jahat masyarakat makin tidak masuk akal dan menggangu kehidupan pribadi kreator. Dengan begitu cyber bullying ini harus segera diatasi. Dimulai dengan tidak berkomentar jahat dan memunculkan rasa tidak peduli ketika mendapatkan komentar jahat. Dengan begitu para netizen dengan jari harimau itu akan merasa bosan dan tidak lagi menimbulkan kebencian.
Biodata Penulis:
Zafira Rachma, lahir pada tanggal 7 Desember 2003, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Padjadjaran.