Perkembangan teknologi digital telah membawa dampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal spiritualitas. Transformasi ini bukan hanya menyangkut kemajuan teknis, tetapi juga menyentuh sisi filosofis dan makna keberadaan manusia. Ketika teknologi mulai menjadi bagian integral dari kehidupan, melalui media sosial hingga kecerdasan buatan, agama pun turut mengalami perubahan. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: apakah spiritualitas dapat beradaptasi dalam dunia digital, atau justru bertentangan dengannya?
Tradisi keagamaan yang dulunya dilakukan di ruang-ruang fisik seperti tempat ibadah, rumah, dan komunitas lokal, kini mulai merambah ke dunia digital. Aplikasi seperti Muslim Pro menjadi contoh bagaimana umat beragama kini bisa mengakses ajaran suci dan menjalankan ibadah secara fleksibel, kapan saja dan di mana saja, asalkan terhubung ke internet. Ini mencerminkan munculnya fenomena networked religion, yaitu bentuk baru dari kehidupan beragama yang terhubung lewat teknologi digital. Dalam konteks ini, otoritas agama yang bersifat hierarkis mulai berbagi peran dengan komunitas virtual dan budaya online yang dinamis.
Selain agama yang terorganisir secara formal, bentuk spiritualitas yang lebih pribadi juga mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan teknologi digital. Banyak orang, terutama generasi modern, yang meskipun tidak mengidentifikasi diri dengan agama tertentu, tetap mencari makna hidup, ketenangan batin, dan hubungan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Era digital sangat mendukung tumbuhnya bentuk spiritualitas ini karena menyediakan akses informasi yang luas dan memungkinkan pengguna menyesuaikan pengalaman spiritual mereka secara fleksibel sesuai kebutuhan pribadi. Sementara itu, media sosial menjadi sarana baru bagi tokoh agama dan komunitas spiritual untuk menyebarkan pesan-pesan keagamaan secara lebih luas. Tokoh seperti Ustaz Abdul Somad, misalnya, memanfaatkan YouTube dan Instagram untuk berdakwah dan menjangkau umat lintas wilayah. Namun, di balik kemudahan ini, muncul pula tantangan baru. Tidak semua ajaran yang viral memiliki dasar yang kuat atau dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Media sosial juga melahirkan fenomena “influencer spiritual” yang kadang lebih mengedepankan citra dan popularitas dibandingkan kedalaman ajaran. Fenomena ini dikenal sebagai religious commodification, yaitu saat agama diperlakukan layaknya produk yang dikemas dan dipasarkan, lebih untuk dikonsumsi secara cepat daripada dipahami secara utuh dan dijalankan dengan kesadaran mendalam.
Salah satu tantangan terbesar dalam pertemuan antara agama dan teknologi adalah disinformasi. Penyebaran kutipan palsu, interpretasi yang menyimpang, dan konten provokatif berbasis agama telah menjadi pemicu konflik dan polarisasi sosial. Meningkatnya konsumsi informasi agama melalui media sosial berkorelasi dengan tingginya kesalahpahaman antar umat beragama. Selain itu, ruang digital yang terbuka tanpa kurasi otoritatif memungkinkan munculnya ajaran-ajaran ekstrem. Dalam konteks ini, teknologi bukan netral algoritma media sosial justru mendorong konten yang membangkitkan emosi negatif karena lebih memnarik. Spiritualitas juga memiliki peran penting sebagai penyeimbang dalam dunia digital yang cepat dan kompetitif. Nilai-nilai seperti kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab bisa menjadi prinsip etis dalam mengembangkan dan menggunakan teknologi. Seiring berkembangnya kecerdasan buatan, big data, dan realitas virtual, spiritualitas dapat memberi landasan moral agar teknologi tidak kehilangan arah kemanusiaannya. Dalam tradisi berbagai agama, spiritualitas selalu menekankan keharmonisan dengan diri, sesama, dan lingkungan. Spirit ini bisa ditanamkan dalam pengembangan teknologi yang etis dan berkeadilan.
Untuk memastikan bahwa pertemuan antara agama dan teknologi membawa dampak yang konstruktif, masyarakat perlu dikuatkan dengan dua bentuk kecakapan penting: literasi digital dan literasi spiritual. Literasi digital mencakup kemampuan untuk menilai kebenaran informasi, memahami cara algoritma bekerja, serta menjaga etika dalam berinteraksi di ruang digital. Sementara itu, literasi spiritual berkaitan dengan pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai inti ajaran agama, kemampuan untuk merefleksikan diri, dan sikap empati terhadap keberagaman. Kedua literasi ini penting untuk diajarkan sejak dini melalui pendidikan formal, keluarga, dan lingkungan keagamaan. Para tokoh agama juga dituntut untuk melek teknologi agar dakwah dan bimbingan spiritual yang mereka berikan tetap relevan dengan tantangan zaman.
Era digital bukanlah akhir dari kehidupan spiritual, melainkan membuka fase baru yang penuh potensi dan tantangan. Perpaduan antara agama dan teknologi melahirkan cara-cara baru dalam mengekspresikan iman yang lebih pribadi, lentur, dan bersifat global. Namun, perkembangan ini juga membawa risiko, seperti menjadikan agama sebagai komoditas, meluasnya hoaks keagamaan, dan meningkatnya perpecahan sosial. Karena itu, pendekatan yang kritis, kolaboratif, dan berakar pada nilai-nilai spiritual sangat dibutuhkan agar spiritualitas tidak terseret arus digitalisasi, tetapi justru mampu tumbuh sebagai kekuatan penuntun bagi manusia dalam mencari makna hidup di tengah perubahan yang cepat.
Biodata Penulis:
Naima Ulya Salima, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN.