Dalam kehidupan kontemporer, masyarakat global menghadapi sebuah gejala yang disebut sebagai era post-truth, suatu kondisi ketika fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Gejala ini bukan hanya berdampak pada ranah politik dan sosial, tetapi juga menyentuh secara mendalam relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan. Keduanya sering kali ditempatkan dalam posisi yang seolah-olah saling bertentangan, sementara masyarakat menjadi kebingungan dalam memilah mana kebenaran faktual dan mana sekadar opini yang dibalut narasi emosi. Era ini ditandai dengan melimpahnya informasi dari berbagai kanal digital, namun tidak semua informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis. Banyak informasi yang diproduksi berdasarkan kepentingan tertentu, tanpa melalui proses verifikasi ilmiah yang shahih. Dalam situasi semacam ini, kepercayaan publik terhadap sains pun mulai melemah. Misalnya, dalam kasus pandemi COVID-19, berbagai narasi konspiratif seputar vaksin dan teknologi kesehatan tersebar luas, mengalahkan argumen dan data medis yang sebenarnya dapat diuji secara empiris.
Kondisi ini menyebabkan sains menjadi terpinggirkan, bukan karena lemahnya argumen ilmiah, melainkan karena runtuhnya otoritas keilmuan di mata sebagian masyarakat. Di sisi lain, agama sebagai sumber makna dan nilai juga mengalami tekanan. Tidak sedikit ajaran agama yang mengalami reduksi makna akibat disalahgunakan untuk kepentingan sektarian maupun politis. Hal ini menciptakan jarak antara agama dan masyarakat, serta menimbulkan kesan bahwa agama gagal menjawab tantangan zaman yang kompleks dan dinamis.
Di sinilah peran spiritualitas menjadi sangat penting. Spiritualitas, yang dapat dipahami sebagai ekspresi terdalam dari keyakinan, kesadaran, dan relasi manusia dengan tuhan, mampu menjadi penghubung antara sains dan agama. Ia bukan sekadar ritual keagamaan formal, melainkan mencakup aspek reflektif, moral, dan kontemplatif yang dapat mengarahkan manusia untuk berpikir dan bertindak secara lebih arif. Dalam konteks post-truth, spiritualitas menjadi sumber kekuatan batin untuk menyikapi informasi dengan kritis, namun tetap berlandaskan etika dan integritas iman. Seseorang yang memiliki kedalaman spiritual biasanya tidak mudah dengan terombang-ambing oleh arus informasi yang tidak jelas sumbernya. Ia mampu menimbang informasi berdasarkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, bukan sekadar berdasarkan rasa takut, marah, atau kebencian. Dengan demikian, spiritualitas dapat menjadi dasar bagi kemampuan literasi informasi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga etis.
Di samping itu, spiritualitas juga berperan penting dalam mengurangi konflik antara sains dan agama. Dalam sejarah, relasi keduanya sering kali digambarkan sebagai antagonistik. Namun dalam pendekatan yang lebih integratif, sains dan agama dapat dilihat sebagai dua dimensi yang saling melengkapi, sains menjelaskan cara kerja alam, sedangkan agama memberikan makna dan tujuan dari keberadaan manusia di alam tersebut. Spiritualitas berfungsi sebagai jembatan antara keduanya, karena ia mampu memadukan pencarian kebenaran melalui akal dan melalui perenungan iman.
Dalam praktiknya, spiritualitas yang kuat dapat mendorong masyarakat untuk manfaatkan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan bersama, bukan sekadar untuk eksploitasi atau dominasi. Sebagai contoh, pemahaman spiritual tentang alam sebagai ciptaan tuhan akan mendorong individu maupun kelompok untuk menjaga lingkungan, mendukung riset energi terbarukan, dan mendorong keadilan ekologis. Di sinilah terlihat bahwa ketika sains dan agama dipandu oleh spiritualitas, maka lahirlah etika yang lebih holistik dan humanistik dalam menghadapi krisis global.
Lebih jauh, pendidikan spiritual yang dikombinasikan dengan literasi ilmiah perlu dikembangkan secara sistematis. Institusi pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan fakta-fakta ilmiah, tetapi juga membentuk karakter dan nilai moral siswa. Integrasi antara mata pelajaran sains dan pendidikan agama yang bersifat dialogis akan membantu siswa melihat bahwa kebenaran tidak tunggal dan tertutup, melainkan dapat dicari secara terus-menerus melalui kombinasi rasio dan iman. Kurikulum yang mengajarkan sains tanpa nilai akan melahirkan teknokrat yang dingin, sementara agama tanpa nalar kritis akan melahirkan dogmatisme.
Selain pendidikan formal, masyarakat juga membutuhkan ekosistem informasi yang sehat. Media sosial, sebagai ruang interaksi utama di era digital, perlu dipenuhi oleh narasi narasi yang membawa semangat spiritual dan nilai-nilai konstruktif. Pemuka agama, ilmuan, dan kaum muda perlu mengambil peran aktif dalam menyebarkan konten yang mencerahkan, menenangkan, dan mendorong refleksi. Spiritualitas dalam konteks ini bukan hanya bersifat individual, tetapi menjadi kekuatan sosial untuk membangun peradaban digital yang lebih bermoral dan berkeadaban. Kita juga melihat bahwa beberapa komunitas keagamaan telah berhasil membangun narasi-narasi sains yang ramah terhadap keimanan, seperti dalam kampanye kesehatan, perubahan iklim, atau bioetika. Mereka menggunakan pendekatan spiritual untuk menjelaskan pentingnya vaksinasi, menjaga kebersihan, dan merawat bumi sebagai amanah tuhan. Upaya ini menunjukkan bahwa spiritualitas dapat menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan ilmiah kepada masyarakat luas, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai iman yang mereka yakini.
Dengan demikian, dalam menghadapi era post-truth kita tidak cukup hanya dengan mengandalkan kecanggihan teknologi atau argumentasi logis. Kita memerlukan pembaruan batin, penguatan spiritual, dan kesadaran kolektif untuk senantiasa menempatkan kebenaran dalam kerangka etika, kasih, dan ketulusan. Melalui spiritualitas, kita dapat menjadikan sains sebagai alat untuk memperkuat iman, dan menjadikan agama sebagai inspirasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua-duanya bukan musuh, melainkan sahabat dalam menggapai kebenaran yang lebih utuh dan bermakna. Dengan memperkuat spiritualitas, masyarakat tidak hanya memiliki daya tahan terhadap banjir informasi, tetapi juga memiliki kompas etis dalam menyikapi perkembangan ilmu dan teknologi. Spiritualitas memampukan seseorang untuk menyaring informasi berdasarkan nilai kebenaran, bukan sekadar kenyamanan atau kesesuaian dengan opini pribadi. Lebih jauh lagi, iya menuntun manusia untuk memaknai setiap kemajuan ilmiah dalam bingkai kemanusiaan dan keberpihakan pada yang lemah. Dengan begitu, spiritualitas menjadi fondasi yang kokoh untuk membangun peradaban informasi dan penuh kasih.
Daftar Pustaka:
- Mclntyre, Lee. Post-truth. Cambridge, MA: The MIT Press, 2018.
- Hidayat, Komaruddin. “Psikologi Agama Menelusuri Relung Jiwa Beragama.’’ Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016
- Ward, Graham. Religion and Political Thought. Cambridge: Cambridge University Press, 2013. Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press, 1989.
- Attfield, Robin. Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-Frist Century. And Edition. Cambridge: polity Press, 2014.
- Jenkins, Willis. Ecologis of Grace: Environmental Ethics and Christian Theology. Oxford: Oxford University Press, 2008.
- Wuryandari, Ganjar. “Agama dan Post-truth: Tantangan Etis Bagi Masyarakat Religius.” Jurnal Filasafat, Vol.31, no.1.(2021): 57-74.
Penulis: Nabila Zanjabila