Sadarkah bahwa entah kenapa suara semakin sunyi, bukan bising mesin, bukan juga celotehan para politisi, bahkan bukan kata kata keilmuan yang sering diajarkan oleh guru. Suara lebih dari itu, bukan hanya kata tapi juga bisa ide, protes, harapan yang makin lama makin sunyi. Meski ada itupun sebatas pengalihan, suruhan, ada pula yang asli dari hati nurani, dari akal tapi bagaimana tanggapan yang diterima, ya tentu saja diabaikan. Suara makin sunyi bukan karena tidak ada tapi karena diabaikan, karena sejak awal kita diajari untuk tidak bertanya, dan mereka yang kita ingin agar mendengar suara kita malah tidak mendengar. Selamat datang di negeri Konoha.
Pembungkaman Sejak Dini
Halo generasi eksperimen kurikulum, bagaimana rasanya mengamati bahkan mengalami sendiri perubahan kurikulum di tengah sibuknya kehidupan, untung saya tidak. Pernah ada berita viral soal anak SMA yang tidak bisa perkalian, bukannya mereka sebelumnya punya kesempatan untuk bertanya kalau gak paham? Kenapa gak dipakai? Malu? Takut? Hal seperti itu bisa ditelusuri akarnya dari pola pengasuhan orang tua mereka, yang mungkin terlalu otoriter atau overprotektif, terlalu mengatur anak, tidak memberikan mereka ruang untuk bertanya karena takut salah dan dihukum, sehingga terbawa hingga saat ini, padahal masa kecil adalah masa yang krusial untuk seorang anak, karena dengan bertanya sehingga kemampuan memahami sesuatu berkembang. Kembali ke masa ini meskipun kurikulum sudah dirubah, sebagian guru kerjaannya hanya menjelaskan materi, kurang memancing diskusi atau murid bertanya. Belum lagi sistemnya yang masih terlalu fokus ke nilai, bikin siswa hanya fokus ke jawaban yang benar menurut guru atau buku, dan menghalalkan segala cara seperti mencontek teman, atau mencari jawaban di internet, bahkan saya masih ingat di SD saya dan teman teman bisa menghitung 23 x 23 secara manual, tapi pas SMA menghitung 6 x 5 butuh kalkulator HP.
Lingkungan Dikalahkan Ekonomi
Sekarang beralih dari bagian pendidikan ke aksi nyatanya di aspek lingkungan. Ada yang berani bersuara tapi bagaimana tanggapan dari pendengar yang dituju, apakah didengarkan? Kalau didengarkan apakah digubris? Meski ada respons, kerap kali respons tersebut justru meremehkan atau mengabaikan substansi kritik, ambil contoh kasus yang terbaru tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat dan respons pemerintah, PT Gag Nikel hanya ditutup sementara, tidak seperti 4 perusahaan lainnya yang dicabut izinnya, suara seruan untuk penutupan tidak digubris dengan alasan dinilai telah mematuhi aturan lingkungan hidup dan tata kelola limbah sesuai dokumen AMDAL dan lokasi jauh dari kawasan konservasi dan Geopark Raja Ampat serta tidak berdampak langsung pada ekosistem laut utama Raja Ampat. Mungkin karena pemerintah ngebet banget dengan program hilirisasinya, kita tahu nikel merupakan mineral penting bagi industri nasional dan global, terutama untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik dan pengembangan energi hijau, sehingga keberlanjutan operasinya dianggap penting untuk ekonomi nasional. Tapi apakah harus mengorbankan ekosistem yang ada di sana, menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, izin untuk pertambangan memerlukan AMDAL yang benar tapi mengapa KLH tidak ikut mensanksi PT Gag Nikel, apakah karena dampaknya tidak signifikan, apakah itu benar? Nggak perlu pakai UU Lingkungan, mengizinkan penambangan saja di Pulau Gag sudah melanggar UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), di mana penambangan dilarang di pulau pulau kecil, Pulau Gag hanya memiliki luas 60 km 2 sementara pertambangan boleh dilakukan di pulau dengan luas minimal 2000 km 2.
Mau kasus yang lain, ada pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng oleh PT Semen Indonesia, yang awalnya mau dibangun di Sukolilo, Pati namun dipindahkan ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, di kawasan Pegunungan Kendeng. Nah di sini permasalahan muncul, pada tahun 2012 gubernur Jawa Tengah mengeluarkan izin lin lingkungan, namun masyarakat sekitar terutama petani Kendeng, mulai menolak keras karena wilayah tersebut adalah kawasan karst yang berfungsi sebagai cekungan air tanah dan sumber kehidupan pertanian. Mereka menilai pembangunan pabrik akan merusak sumber air dan lingkungan. Maka terjadilah bentrok pada tahun 2014, bahkan terjadi aksi protes dengan mengecor kaki dan berlanjut ke gugatan hukum oleh Petani Kendeng bersama organisasi lingkungan seperti WALHI mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan kemudian ke Mahkamah Agung terkait penerbitan izin lingkungannya. Meski sudah ditolak 2 kali akhirnya permohonan dikabulkan dan izin lingkungannya dicabut, namun pada tahun 2017 gubernur Jawa Tengah menerbitkan izin lingkungan baru. Dan apakah pemerintah bersikap adil dan netral, tentu tidak jelas lebih lebih memihak PT Semen Indonesia, selain dari aksi penyelundupan hukum dalam perizinan, bahkan aparat melakukan kekerasan dan aksi represif pada protes tahun 2014 bahkan warga terutama petani sampai dikriminalisasi. Mengapa pemerintah mengabaikan suara penolakan dari petani, Jelas karena pemerintah menganggap pabrik semen akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi daerah, menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan industri nasional dengan pengaturan tata ruang yang mendukung, namun mengesampingkan kerusakan lingkungan, ekonomi bagi para petani serta masyarakat sekitar dan konflik sosial serta pelanggaran hak hak warga sekitar.
Demokrasi yang Tidak Ada Artinya
Setelah dari sisi lingkungan, kita beralih ke sisi kehidupan bernegara, apalagi kalau bukan demokrasi. Di mana kita memiliki hak untuk bebas bersuara, tentunya harus disertai dengan tanggung jawab. Meski begitu pada kenyataannya ketika kita bersuara baik di sosmed maupun di lapangan, belum tentu akan didengar para penguasa bahkan disambut baik. Tidak jarang suara rakyat hanya dianggap nyinyiran belaka bahkan pernah dituduh merupakan didanai pihak asing oleh pemerintah, hanya karena tidak sejalan dengan visi dan kepentingan pemerintah. Entah kenapa pemerintah hanya mau mendengar suara yang memuji bukan kritik yang membangun, sehingga suara kritik dibungkam. Bahkan pembungkaman suara masih ada di zaman sekarang meskipun tidak sekeras di zaman orba di mana banyak aktivis yang mengalami kekerasan, pelecehan, penculikan bahkan pembunuhan, di zaman sekarang pembungkaman berupa penyensoran dan pembatasan media, manipulasi informasi, disinformasi, tekanan sosial dan di tempat kerja, kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, bahkan masih terjadi kekerasan saat aksi demo. Bagaimana suara rakyat tidak hilang jika yang bersuara saja dibungkam bahkan dihilangkan. Apakah suara kritik hanya boleh datang dari lembaga, bukan rakyat.
Penutup
Agar suara suara tersebut tidak hilang, sang pendengar benar-benar harus mendengarkan dengan adil dan netral serta harus berdasarkan kepentingan banyak orang. Tidak boleh hanya satu yang bersuara sementara yang mendengar seenaknya sendiri. Tidak peduli yang bersuara besar atau kecil, kuat atau lemah tetap memiliki tempat, jadi harus didengar, hal tersebut bisa dimulai dari kita dengan mendengarkan kritik kritik terhadap kita dengan baik lalu introspeksi diri dan berubah menjadi individu yang lebih baik. Suara-suara yang hilang bukan karena lenyap, tapi karena kita memilih menutup telinga. Mungkin sekarang waktunya kembali mendengar, sebelum benar-benar kehilangan.
Biodata Penulis: