Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Tuhan dalam Lorong Gravitasi: Ketika Cinta Menembus Lubang Hitam

Kamu pikir Interstellar cuma film fisika yang bikin pusing? Coba pikir lagi. Ayo selami kisah tentang cinta, waktu, kehilangan, dan mungkin... Tuhan.

Waktu pertama kali film Interstellar muncul di bioskop tahun 2014, banyak orang langsung mikir, “Wah ini pasti film pusing. Penuh teori fisika, lubang hitam, relativitas waktu, pokoknya berat.” Dan memang iya sih, otak bisa sedikit keriting kalau nonton sambil makan popcorn. Tapi ternyata, di balik semua grafik luar angkasa dan rumus relativitas itu, ada suatu hal yang lebih dalam. Yaps, film ini bukan cuma menceritakan soal bagaimana cara untuk menyelamatkan umat manusia dari bumi yang rusak tapi juga soal cinta, waktu, kehilangan, dan… mungkin juga Tuhan.

Iya, Tuhan. Jangan kaget dulu!

Cinta, NASA, dan Janji Pulang

Tokoh utama kita, Cooper, mantan pilot NASA yang dikontrak lagi untuk cari planet baru, berangkat ke luar angkasa. Misinya mulia: nyari rumah baru buat umat manusia. Tapi buat Cooper sendiri, misi ini sebenarnya soal satu hal “pulang”. Bukan pulang ke bumi, tapi ke anak perempuannya, Murph.

Film Interstellar

Dan di sinilah Interstellar mulai menunjukkan wajah aslinya. Ini bukan film soal pesawat luar angkasa. Ini film soal cinta. Bahkan Dr. Brand (Anne Hathaway) dengan mantap bilang, "Love is the one thing that transcends time and space." Ngomongnya sambil serius banget, seolah cinta itu bisa jadi variabel dalam persamaan Einstein.

Absurd? Mungkin. Tapi siapa tahu, justru cinta itu bentuk spiritualitas paling jujur. Yang nggak kelihatan tapi bisa bikin orang waras menembus lubang hitam.

Tuhan Masuk Tesseract?

Nah, bagian paling mistis dari film ini terletak pada ending filmnya. Cooper terjebak di tesseract, suatu ruang lima dimensi tempat waktu bisa dilihat dari segala arah. Dia nggak lagi jadi manusia berdaging, tapi ia menjadi sebuah entitas yang ngasih pesan ke masa lalu, ke si Murph. Pakai… gravitasi.

Aneh? Banget. Tapi juga indah.

Buat yang suka sains, ini mungkin cuma spekulasi ekstrim dari teori relativitas. Tapi buat yang sensitif spiritualitasnya, ini kayak bentuk campur tangan dari Tuhan. Semesta yang membantu seorang ayah bicara ke anaknya demi menyelamatkan dunia. Bukan pakai doa, tapi pakai fisika.

Di titik ini, penonton dibuat bertanya-tanya sembari merenung dalam pikiran mereka dan hati mereka.

“Ini benaran Tuhan, atau cuma metafora cinta saja?”

Christopher Nolan? Dia diam aja. Nggak ngasih jawaban. Ya seperti biasa, beliau tuh seniman yang lebih suka ngajak orang mikir, bukan ngasih kesimpulan.

Ketika Fisika Ketemu Keyakinan

Interstellar mengajarkan kita bahwa cinta dan keyakinan itu nggak kalah penting dari data dan logika. Bahwa seorang ilmuwan bisa aja percaya pada hal-hal yang nggak bisa diukur oleh logika manusia biasa, misalnya seperti soal cinta, intuisi, atau perasaan bersalah karena meninggalkan seorang anak.

Di dunia yang makin disesaki angka, statistik, dan validasi akademik, film ini mengingatkan kita bahwa masih terdapat hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, dan itu hal yang wajar.

Itulah kenapa Interstellar jadi film yang nggak cuma bikin kita pusing, tapi juga bikin kita diam sebentar setelah kredit selesai. Nggak cuma karena sukses bikin dada sesak, tapi karena film ini bikin kita mikir bahwa Cooper bisa saja mencari Tuhan melalui gravitasi.

Jadi, Ini Film Sains atau Film Agama?

Jawabannya? Ya dua-duanya. Interstellar itu kayak roti lapis isi relativitas dan spiritualitas. Logika dan keyakinan jalan bareng. Kayak pasangan yang bertengkar tiap malam tapi nggak bisa pisah karena saling lengkapi.

Pada akhirnya, kita semua kayak Cooper. Lagi menyusuri lorong waktu, nyari jalan pulang. Kadang kita ngerti arah, kadang kita cuma ngikutin naluri. Tapi yang pasti, kita semua nyari sesuatu yang bisa bikin hidup kita punya makna.

Dan bisa jadi, di ujung pencarian itu… kita nggak cuma nemu sains, tapi juga, secara perlahan-lahan bertemu dengan Tuhan.

Erliana Astisya Budi Cantika

Biodata Penulis:

Erliana Astisya Budi Cantika, lahir pda tanggal 7 Mei 2006 di Wonogiri, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis bisa disapa di Instagram @eastisyaa

© Sepenuhnya. All rights reserved.