Pendahuluan: Tradisi sebagai Kompas atau Belenggu?
Dalam kebudayaan Jawa, weton bukan sekadar penanda hari lahir. Ia adalah simpul simbolik antara manusia dan semesta, antara individu dan tatanan kosmis yang diyakini menentukan jalan hidup. Salah satu praktik yang paling popular dan kontroversial dari penggunaan weton adalah dalam menentukan kecocokan jodoh. “Kalau wetonmu tidak cocok, bisa membawa sengkala,” begitu kata orang tua. Pernikahan bisa dibatalkan, restu bisa ditarik, dan cinta bisa terkubur, hanya karena hitungan pasaran.
Di tengah modernitas, ketika rasionalitas, cinta, dan kesetaraan menjadi dasar relasi, muncul kegelisahan di kalangan generasi muda: Apakah aku harus percaya pada hitungan hari lahir? Apakah takdirku ditentukan oleh kalender Jawa? Apakah aku durhaka jika menolak keyakinan keluarga?
Ketegangan antara menghormati budaya leluhur dan memperjuangkan otonomi pribadi inilah yang menjadi konflik batin sebagian besar anak muda Jawa masa kini.
Fenomena Sosial: Weton di Era Digital
Uniknya, kepercayaan terhadap weton kini tak hanya bertahan di desa atau kalangan tua. Ia bangkit kembali lewat media sosial. Di TikTok, konten bertema weton viral dengan jutaan views. Akun-akun yang mengulas kecocokan weton, rezeki berdasarkan hari lahir, hingga “weton pembawa bencana” tumbuh subur. Bahkan, sebagian muda-mudi kini lebih dahulu mengecek weton sebelum menjalin hubungan, seperti menelusuri zodiak atau MBTI
Sayangnya, triwikrama digitalisasi ini tak selalu dibarengi dengan pemahaman filosofis. Weton dikonsumsi sebagai “konten mistik populer” yang seringkali memicu rasa takut, overthinking, bahkan penundaan keputusan penting. Yang lebih memprihatinkan, budaya ini menjadi legitimasi tekanan sosial dalam keluarga—membuat anak muda sulit bersuara atas pilihan hidupnya sendiri.
Analisis Konseling Multibudaya: Konflik Nilai dan Ketegangan Generasi
Dalam perspektif Konseling Multibudaya, fenomena ini mencerminkan konflik nilai antar generasi antara budaya kolektif dan nilai otonomi personal. Teori yang relevan untuk menganalisis situasi ini antara lain:
1. Model Kompetensi Budaya dalam Konseling (Sue & Sue)
Model ini menekankan pentingnya konselor memahami latar belakang budaya klien, serta menyadari posisi kekuasaan dalam budaya klien. Dalam konteks ini, nilai-nilai budaya Jawa seperti “ngabekti” (berbakti), “ngajeni” (menghormati), dan “manut” (patuh) seringkali menempatkan generasi muda pada posisi yang tak seimbang dalam relasi keluarga. Konselor perlu peka terhadap ketimpangan ini agar tidak memperkuat tekanan kultural tersebut.
2. Teori Relativisme Budaya
Teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu budaya yang lebih tinggi dari budaya lain, dan setiap sistem nilai harus dipahami dalam konteksnya. Konseling berbasis relativisme budaya tidak serta-merta menolak kepercayaan terhadap weton, tetapi berusaha membantu klien menafsirkan ulang tradisi sesuai konteks dan kebutuhan pribadi mereka.
3. Teori Konflik Intrakultural
Konflik antara keinginan pribadi dan nilai tradisional yang diinternalisasi bisa melahirkan stres, rasa bersalah, dan perasaan terjebak. Dalam kasus weton jodoh, anak muda sering merasa berdosa jika melawan kehendak orang tua, padahal di sisi lain mereka merasa tidak percaya lagi pada kepercayaan tersebut. Konseling membantu klien mengelola konflik ini secara reflektif dan adaptif.
Solusi Aplikatif Konseling: Menerjemahkan Tradisi ke dalam Kesehatan Psikologis
Untuk menjawab tekanan sosial akibat tradisi weton, konselor perlu mengembangkan pendekatan konseling multibudaya yang kontekstual dan afirmatif:
1. Konseling Klarifikasi Nilai
Konselor membimbing klien menelusuri nilai-nilai yang diyakininya, termasuk apakah keyakinan terhadap weton merupakan pilihan sadar atau sekadar tekanan keluarga. Sesi ini membuka ruang bagi klien untuk menyaring nilai tanpa merasa bersalah.
2. Konseling Naratif Budaya
Melalui teknik ini, klien diajak menulis ulang kisah hidupnya secara simbolik. Alih-alih melihat weton sebagai “vonis nasib,” klien dibantu membingkai ulang kisahnya sebagai individu yang memiliki kuasa untuk memberi makna baru terhadap hidupnya.
3. Dialog Multigenerasi (Multicultural Family Counseling)
Jika memungkinkan, sesi konseling keluarga difasilitasi untuk membuka dialog sehat antar generasi. Konselor bertindak sebagai mediator antara tradisi leluhur dan kebutuhan psikologis generasi muda, tanpa memutus akar budaya.
4. Literasi Budaya Kritis
Penting bagi konselor untuk meningkatkan pemahaman budaya klien terhadap weton secara kritis. Weton bisa tetap dihargai sebagai warisan spiritual dan kearifan lokal, tanpa harus menjadi alat kontrol sosial yang merugikan otonomi pribadi.
Refleksi Penutup: Mencintai Tradisi Tanpa Kehilangan Diri
Tradisi seperti weton adalah warisan spiritual yang kaya akan makna dan refleksi hidup. Namun, ketika ia dijadikan alat penentu mutlak takdir tanpa ruang dialog, tanpa pemaknaan ulang maka tradisi beralih menjadi tekanan.
Konseling multibudaya hadir untuk tidak memisahkan anak muda dari akar budayanya, melainkan membimbing mereka agar bisa berdamai, bernegosiasi, dan memaknai ulang identitasnya secara utuh. Karena menjadi Jawa bukan hanya soal menghitung hari lahir, tapi juga soal berani menyusun hidup dengan sadar, penuh hormat, dan tanpa ketakutan.
Biodata Penulis:
Jenny Tiara Kamal saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.