Pernahkah kamu membaca ramalan zodiak di media sosial dan merasa, “Kok pas banget ya sama kondisiku sekarang?” Entah itu tentang percintaan, rezeki, atau suasana hati, ramalan zodiak sering kali terdengar begitu tepat dan personal. Tak sedikit orang yang menganggapnya sekedar hiburan, namun tanpa sadar mulai menggantungkan harapan, keputusan, bahkan perasaan pada zodiak. Apakah ini berbahaya? Dan mungkinkah zodiak menjadi pintu masuk syirik yang tidak disadari?
Saat kita membaca sesuatu yang menggambarkan diri kita, otak cenderung menganggapnya relevan. Dalam psikologi, kecenderungan seseorang dalam mempercayai deskripsi umum sebagai sesuatu yang sangat akurat untuk dirinya secara pribadi disebut efek Barnum. Misalnya, “Kamu orang yang perhatian, tapi sering merasa tidak dihargai.” Siapa pun bisa merasa begitu, bukan? Namun ketika label itu datang dari zodiak kita, rasanya jadi lebih spesial dan “benar”.
Ramalan zodiak bisa memberikan kenyamanan emosional. Saat seseorang merasa kehilangan arah, kalimat seperti “Hari ini kamu akan menemukan cahaya baru dalam hidup” bisa menjadi harapan yang menenangkan. Tidak heran jika zodiak sering menjadi “tempat pelarian” dari kecemasan. Namun di sinilah letak bahayanya, ketika manusia mulai menggantungkan harapan pada sesuatu selain Tuhan, perlahan-lahan pintu ketergantungan pun terbuka.
Saya sendiri pernah tergoda untuk mempercayai ramalan bintang. Rasanya menyenangkan ketika hal-hal positif dikaitkan dengan zodiak yang kita miliki. Tapi di sisi lain, saat ramalan buruk muncul, saya menjadi cemas seharian. Tanpa sadar, saya mulai mengaitkan semua kejadian dengan ramalan itu, padahal belum tentu benar. Dari sini saya mulai sadar: kepercayaan kecil itu bisa tumbuh menjadi keyakinan yang keliru.
Dalam Islam, mempercayai ramalan zodiak termasuk dalam kategori syirik kecil, karena menyekutukan Allah dengan sesuatu selain-Nya dalam urusan yang seharusnya hanya milik-Nya, yaitu mengetahui hal gaib. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai ucapannya, maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad). Meskipun terlihat sepele, mempercayai ramalan bisa menggoyahkan akidah secara perlahan.
Zodiak juga bisa memengaruhi cara kita menilai orang lain. Pernahkah kamu mendengar seseorang berkata, “Jangan pacaran sama Scorpio, mereka manipulatif”? Atau “Leo itu posesif banget!” Kalimat-kalimat seperti ini menyederhanakan kepribadian manusia berdasarkan tanggal lahir, padahal setiap individu memiliki karakter unik yang terbentuk dari pengalaman, nilai, dan lingkungan, bukan dari posisi planet saat lahir.
Media sosial memperkuat budaya ini. Banyak konten kreator membuat ramalan zodiak harian, bahkan membuat konten seolah-olah “channeling” energi kosmis. Estetika astrologi yang penuh warna, simbol, dan vibe “healing” membuatnya tampak aman dan menyenangkan. Padahal, di balik itu semua ada narasi yang menjerumuskan bahwa nasib, jodoh, dan masa depan kita ditentukan oleh bintang, bukan oleh Tuhan.
Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, aku baca zodiak cuma buat seru-seruan kok.” Tapi seperti candu yang awalnya iseng bisa jadi kebutuhan. Ketika kita mulai menunggu ramalan mingguan, mulai menghindari orang berdasarkan zodiaknya, atau menunda keputusan karena “bulan ini tidak cocok”, saat itulah kita harus waspada. Mungkin saja kita sudah membuka celah bagi syirik masuk ke dalam hati, perlahan tapi pasti.
Zodiak terasa “relate” karena memang dibuat sedemikian rupa agar universal. Namun mempercayainya lebih dari sekadar hiburan bisa membawa kita menjauh dari tauhid. Hidup manusia terlalu kompleks untuk ditentukan oleh posisi bintang. Sebaliknya, Islam mengajarkan kita untuk tawakal, berusaha, dan percaya bahwa hanya Allah yang tahu masa depan. Sebab sekuat apa pun bintang bersinar, cahaya hidayah tetap datang dari Tuhan.
Maka, tak ada salahnya bersenang-senang dengan konten lucu di media sosial, tapi kita tetap harus menjaga batas. Jangan sampai apa yang tampak “keren” dan “relatable” justru membuat kita tergelincir dalam syirik yang halus. Di akhir hari, hanya kepada Allah kita bergantung, bukan pada ramalan bintang yang bersinar sementara.