Di era digital ini, profesi dokter tidak lagi hanya terbatas dalam ruang praktik atau rumah sakit saja. Kini, banyak dokter yang menjelma menjadi figure public di media sosial, dengan jutaan pengikut dan konten yang viral. Mereka memberikan edukasi kesehatan dan tips medis, hingga dari mereka menunjukan cuplikan tindakan di ruang operasi. Namun, dalam hal ini banyak masyarakat yang mulai bertanya-tanya apakah semua yang mereka lakukan masih dalam koridor etika profesi? Atau justru etika mulai terkikis demi sensasi?
Media sosial kini dipenuhi dengan akun dokter yang kini menyita perhatian publik. Dari dokter gigi yang mulai membagikan transformasi senyum pasien, dan dokter kecantikan yang memamerkan before-after operasi plastik. Banyak dari mereka yang juga menggunakan bahasa gaul, candaan, bahkan efek yang dramatis hanya ingin meningkatkan engagement. Hal ini menjadi perhatian publik yang memberikan berbagai macam komentar.
Menurut Chisolm (2014), tidak semua perhatian di media sosial itu baik, apalagi jika mengorbankan nilai-nilai profesionalisme dokter. Fenomena ini seolah menjadi tren baru. Profesi dokter yang dulu dianggap formal dan ekslusif kini tampil kasual dan menghibur. Namun, di balik itu semua muncul kekhawatiran tentang pergeseran nilai-nilai etika profesi medis yang selama ini dijunjung tinggi.
Antara Edukasi dan Algoritma
Tidak dapat kita pungkiri, media sosial memberikan ruang yang sangat luas untuk edukasi terutama edukasi kesehatan. Informasi yang dulu hanya bisa diakses lewat konsultasi langsung, kini tersedia dalam bentuk video singkat dan mudah dipahami. Namun di sisi lain, algoritma media sosial lebih menghargai konten yang menarik, cepat dan kadang sensasional.
Tekanan untuk dapat viral bisa mendorong seorang dokter melewati batas. Demi followers dan views, ada yang mulai menyederhanakan informasi medis secara berlebihan. Mereka juga menampilkan informasi medis yang seharusnya bersifat privat, atau bahkan melakukan promosi yang tidak sesuai dengan kode etik. Bagi banyak masyarakat ini adalah kemajuan besar. Mereka bisa mendapatkan pengetahuan seputar penyakit, pencegahan, dan pengobatan hanya dengan menonton video 30 detik. Di sisi lain, ada pula dokter yang mampu menyajikan edukasi secara menarik tanpa melanggar etika. Mereka menggunakan animasi, studi kasus fiktif untuk menjelaskan topik medis yang rumit. Hal ini menunjukan bahwa bersaing di media sosial tidak harus selalu sensasional, asalkan ada kreativitas dan integritas.
Batas Etika yang Mulai Kabur
Kita tahu bahwa etika profesi kedokteran bukan hanya sekadar teori, melainkan komitmen moral dan hukum. Salah satu prinsip utama dokter adalah menjaga kerahasiaan dan martabat seorang pasien. Namun, kini kita dapat melihat wajah-wajah pasien ditampilkan tanpa sensor, adegan operasi dokter dibuka untuk umum, dan izin pasien hanya sekedar formalitas saja.
Tidak sedikit konten yang menjadikan tubuh pasien sebagai “bahan tontonan” alih-alih objek perlindungan. Hal ini tidak hanya melukai martabat pasien, tapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi dokter secara keseluruhan.
Menjadi dokter berarti siap berarti siap menjaga dua hal, yaitu nyawa dan kepercayaan. Di ruang digital, tanggung jawab ini tidak boleh luntur. Seorang dokter tetap harus menjujung tinggi etika meskipun sedang membuat konten. Mereka harus sadar bahwa apa yang mereka bagikan bukan hanya berdampak pada algoritma tapi juga pada martabat profesinya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) secara jelas melarang penggunaan pasien sebagai objek promosi atau hiburan. Dalam konteks ini, organisasi profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia) pelu memperkuat pengawasan dan edukasi etika digital bagi anggotanya.
Media sosial adalah pedang bermata dua yang bisa menjadi alat edukasi yang luar biasa dan dapat diandalkan masyarakat, tapi juga bisa melukai jika digunakan tanpa kesadaran etis dan batas. Di tengah banjir konten kesehatan, masyarakat juga perlu lebih krisis dalam memilah informasi. Dan para dokter meskipun viral, tetap harus ingat bahwa popularitas bukan alas an untuk mengabaikan etika.
Penulis:
- Anisa Agustina Sitorus merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E , M.M. merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.