Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Etika Pejabat Publik di Era Digital: Antara Gaya Hidup dan Tanggung Jawab

Masihkah pejabat publik memegang etika di era viral? Simak kasus kontroversial anggota DPRD yang hisap vape saat sidang, dan mari renungkan bersama ..

Di era ketika setiap tindakan bisa terekam kamera dan disebar hanya dalam hitungan detik, etika pejabat publik menjadi sorotan utama masyarakat. Perilaku para wakil rakyat bukan lagi urusan internal lembaga, tetapi konsumsi publik yang berimbas langsung pada kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Salah satu contoh nyata adalah viralnya video seorang anggota DPRD Kendari, Fadhal Rahmat, yang menghisap vape saat rapat dengar pendapat (RDP) pada akhir Juni 2025. Aksi ini memicu kritik luas dan memunculkan pertanyaan mendasar: masih adakah kesadaran etika dalam ruang-ruang kekuasaan?

Tindakan Fadhal memang tidak melanggar aturan tertulis secara eksplisit. Ia berdalih bahwa itu dilakukan saat waktu jeda dan tidak ada larangan tertulis dalam tata tertib. Namun, yang menjadi persoalan bukan soal legalitas semata, melainkan nilai kepatutan dan etika publik. Apakah etis seorang wakil rakyat menghisap vape ketika sedang membahas nasib tenaga kesehatan yang terkena pemutusan hubungan kerja?

Simbolisme Ruang Publik dan Keteladanan

Ruang rapat DPRD adalah simbol ruang deliberatif publik—di mana aspirasi rakyat diperbincangkan dengan serius. Menghisap vape dalam ruang tersebut sama saja dengan mereduksi makna forum menjadi sekadar tempat singgah. Sikap ini mencerminkan adanya kekeliruan dalam memahami posisi dan tanggung jawab sebagai pejabat publik. Seperti disampaikan peneliti Formappi, Lucius Karus:

“Rapat dengan aparat kesehatan kok malah menampilkan aksi perilaku yang tidak sehat. Kontras dan ironis.” (Detik.com, 2 Juli 2025)

Ungkapan tersebut menohok karena menyentuh aspek yang selama ini kerap diabaikan: pejabat publik adalah panutan. Jika mereka bersikap seolah ruang sidang adalah tempat santai, bagaimana mungkin rakyat menaruh harapan serius terhadap kerja-kerja legislatif?

Budaya Viral vs Integritas Etis

Era digital menghadirkan dilema baru dalam praktik etika: setiap tindakan bisa menjadi viral, tetapi belum tentu bernilai etis. Aksi yang dilakukan Fadhal mungkin terlihat sepele baginya, tetapi dalam lanskap digital, ia menciptakan persepsi luas: bahwa ruang sidang adalah panggung, bukan forum tanggung jawab.

Ini adalah bagian dari krisis budaya kita hari ini: viral menjadi ukuran keberhasilan, bukan integritas. Jika pejabat lebih takut tidak dilihat ketimbang berbuat salah, maka nilai-nilai etika publik terancam redup. Kita tidak bisa terus membiarkan ruang representatif berubah menjadi ajang eksistensi personal.

Reaksi Masyarakat: Cermin Harapan Etis

Kemarahan warganet atas video itu mencerminkan adanya harapan publik yang masih tinggi terhadap moralitas pemimpin. Masyarakat tidak diam ketika melihat tindakan yang tidak sesuai dengan etika jabatan. Ini harus dilihat bukan sebagai tekanan, tetapi panggilan untuk refleksi.

Sayangnya, kasus ini bukan yang pertama. Dalam berbagai forum, kita kerap menyaksikan pejabat yang tertidur, bermain ponsel, atau melakukan aktivitas pribadi saat sidang. Semua itu menunjukkan bahwa banyak pejabat belum menginternalisasi bahwa etika bukanlah tambahan dari tugas, melainkan fondasi utamanya.

Pendidikan Etika dan Tanggung Jawab Moral

Diperlukan upaya sistematis untuk membangun budaya etika publik. Pendidikan politik tidak cukup hanya fokus pada hukum dan kewenangan, tetapi harus menanamkan pemahaman tentang integritas dan sikap hormat terhadap lembaga. Dalam hal ini, partai politik sebagai penyaring calon pejabat, memiliki peran strategis.

Institusi legislatif juga harus berani menegakkan disiplin etis. Kode etik tidak boleh hanya menjadi dokumen formal, tetapi pedoman hidup bagi para anggotanya. Bila perlu, pelatihan etika publik wajib dilakukan secara berkala agar anggota DPRD selalu diingatkan tentang tanggung jawab moralnya.

Kasus “vape saat sidang” adalah gejala dari penyakit etis yang lebih besar: hilangnya kepekaan terhadap simbol, ruang, dan tanggung jawab publik. Namun, kejadian ini juga memberi peluang untuk mereformasi kesadaran kolektif. Bahwa ruang publik adalah tempat mulia, dan pejabat publik harus hadir bukan sebagai pribadi biasa, tetapi sebagai teladan.

Etika bukan soal aturan yang membatasi, melainkan tentang nilai yang menjaga. Jika pejabat publik masih ingin dipercaya, maka mereka harus mulai dari hal-hal kecil: duduk dengan tenang, mendengarkan rakyat, dan meninggalkan vape di luar ruang sidang.

Eva Feronika Simanullang
Penulis:

  1. Eva Feronika Simanullang merupakan mahasiswi, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan
  2. Helena Sihotang, S.E, M.M. merupakan Dosen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.