Di era digital saat ini, media sosial bukan hanya menjadi tempat untuk bersosialisasi, tetapi telah bertransformasi menjadi etalase kehidupan bagi banyak orang. Salah satu fenomena yang mencolok adalah "flexing", yaitu tindakan memamerkan kekayaan, barang bermerek, liburan mewah, atau gaya hidup serba glamor yang ditampilkan secara sengaja kepada publik melalui unggahan foto maupun video.
Fenomena ini menjadi begitu populer, terutama di kalangan generasi muda dan influencer media sosial. Tak jarang kita melihat seseorang membagikan momen berbelanja di butik mewah, makan di restoran bintang lima, atau naik kendaraan kelas atas dengan caption yang memancarkan kesan kesuksesan dan prestise. Media sosial, dalam konteks ini, telah menjadi panggung tempat seseorang membangun citra diri, menunjukkan status sosial, dan mencari validasi dari masyarakat digital dalam bentuk likes, views, dan followers.
Namun, pertanyaannya kemudian muncul: benarkah semua yang kita lihat di media sosial itu nyata? Apakah benar gaya hidup mewah yang dipertontonkan merupakan representasi dari kehidupan sehari-hari mereka, atau justru sebuah rekayasa yang dirancang sedemikian rupa demi pencitraan?
Dalam konteks teori sosial, sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa manusia sering menggunakan simbol-simbol budaya dan materi sebagai cara menunjukkan posisi sosial mereka dalam masyarakat. Media sosial, sebagai ruang ekspresi yang sangat visual, memperkuat kecenderungan ini. Orang merasa terdorong untuk menunjukkan bahwa dirinya "berhasil" dengan cara menampilkan kemewahan yang dimiliki atau dialami, walaupun kenyataannya bisa jadi bertolak belakang. Beberapa orang bahkan rela berhutang atau menyewa barang mewah hanya untuk menciptakan kesan tertentu di dunia maya.
Fakta ini bukan sekadar dugaan. Kompas.com dalam salah satu laporannya pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sejumlah influencer di Indonesia mengakui berutang demi mempertahankan citra glamor mereka di media sosial. Mereka merasa terjebak dalam ekspektasi audiens dan tekanan untuk selalu tampil "wah". Flexing yang awalnya menjadi strategi branding berubah menjadi beban psikologis yang merugikan diri sendiri.
Dampak dari flexing tidak berhenti pada individu yang melakukannya, tetapi juga menyentuh para penontonnya. Remaja dan pengguna media sosial lainnya sering kali terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak sehat. Melihat unggahan-unggahan yang menunjukkan kesuksesan orang lain membuat sebagian orang merasa hidupnya tertinggal, tidak cukup baik, atau tidak berhasil. Studi yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health di Inggris pada tahun 2021 menunjukkan bahwa platform seperti Instagram memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental remaja karena menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis.
Namun menariknya, dalam beberapa tahun terakhir, mulai muncul kesadaran baru di kalangan pengguna media sosial. Muncul tren yang menekankan keaslian, seperti gerakan "no filter", "real life vs Instagram", dan konten “behind the scenes” yang memperlihatkan kehidupan apa adanya. Banyak pengguna yang mulai jenuh dengan pencitraan dan mulai lebih menghargai kejujuran serta cerita kehidupan yang otentik. Hal ini menjadi sinyal bahwa publik mulai mampu membedakan antara pencapaian nyata dan rekayasa visual yang dirancang untuk konsumsi media sosial.
Flexing sendiri, bila dilakukan dengan sadar dan jujur, sebenarnya bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Ia bisa menjadi motivasi atau inspirasi, terutama jika disertai dengan proses perjuangan dan narasi keberhasilan yang jujur. Namun ketika dilakukan secara berlebihan, semu, dan menyesatkan, flexing berpotensi merusak persepsi masyarakat terhadap makna sukses yang sesungguhnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fenomena flexing di media sosial adalah gabungan antara realita dan rekayasa. Ada yang benar-benar sukses dan memilih membagikannya secara terbuka, namun ada pula yang menciptakan dunia maya sebagai cermin dari ilusi yang dibangun secara hati-hati. Masyarakat digital perlu menjadi lebih kritis dalam mengonsumsi konten, tidak mudah terpengaruh oleh kemewahan yang ditampilkan, serta mampu menilai bahwa tidak semua yang tampak gemerlap adalah gambaran utuh dari kenyataan.
Penulis:
- Weni Aido Arta Saragih merupakan mahasiswa di Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Manajemen.
- Helena Sihotang S.E., M.M. merupakan dosen di Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Manajemen.