Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Realitas yang Dapat Direkayasa: Fenomena Viral, AI, dan Tantangan Literasi Digital

Pernah percaya video viral yang ternyata palsu? Di era AI dan meme absurd seperti “hidup blonde” atau “We Wok de Tok”, kenyataan bisa dimanipulasi ...

Di tengah arus informasi yang tak terbendung, kita hidup di zaman ketika kenyataan dapat dimanipulasi dan persepsi publik bisa dibentuk dalam hitungan detik. Pernahkah Anda melihat sebuah video viral yang membuat Anda tertegun, marah, atau bahkan tertawa, namun kemudian menyadari bahwa video itu tidak nyata? Dari frasa absurd seperti “We Wok de Tok”, seruan “hidup blonde” tanpa konteks jelas, hingga manipulasi visual yang menggambarkan tokoh-tokoh besar seperti Jokowi dan Prabowo dalam situasi fiktif, kita sedang menghadapi tantangan baru yang lebih besar dari sekadar hoaks: era rekayasa realitas.

Dari Meme ke Mesin Persepsi

Internet tidak asing dengan humor gelap, meme politik, dan satire sosial. Meme seperti "hidup blonde" yang awalnya mungkin berasal dari guyonan absurd di platform TikTok atau X (Twitter), bisa berubah menjadi diskursus publik ketika banyak orang mencoba memaknainya secara serius. Fenomena ini semakin rumit ketika AI, terutama AI generatif seperti deepfake dan image generator, memungkinkan siapa pun membuat konten yang menyamarkan batas antara kenyataan dan rekaan.

Fenomena Viral, AI, dan Tantangan Literasi Digital
Sumber: stock.adobe.com

Video atau gambar yang menunjukkan Jokowi dan Prabowo dalam adegan yang tidak pernah terjadi di dunia nyata, seperti berciuman, bukan hanya konten satir. Jika disebarluaskan tanpa penjelasan atau konteks, ia bisa menjadi alat disinformasi yang berbahaya, terutama di masa politik yang sensitif.

AI dan Realitas Alternatif

Teknologi AI generatif kini mampu:

  1. Membuat wajah tersenyum dalam video yang sebenarnya tidak demikian (deepfake).
  2. Menghasilkan teks, suara, atau gambar hanya dari perintah sederhana.
  3. Menciptakan narasi lengkap yang seolah-olah berdasarkan fakta, padahal fiksi.

Pada satu sisi, ini membuka peluang luar biasa dalam seni, edukasi, bahkan hiburan. Tapi di sisi lain, ia menjadi senjata potensial untuk menciptakan realitas alternatif versi kenyataan yang palsu namun meyakinkan.

Contohnya, jika seseorang menyebarkan video “Jokowi berciuman dengan Prabowo” (hasil AI), lalu diberi narasi provokatif, maka dampaknya bisa jauh melampaui sekadar candaan. Ia bisa memecah opini publik, menimbulkan kegaduhan, dan memperkuat narasi palsu.

Mengapa Konten Absurd Bisa Viral?

Ada alasan psikologis dan algoritma mengapa konten seperti “hidup Jokowi”, “hidup blonde”, atau “We Wok de Tok” menjadi viral:

  1. Kejutan dan absurditas: Otak manusia lebih cepat merespons sesuatu yang tak biasa.
  2. Kemudahan berbagi: Semakin singkat, lucu, atau emosional, semakin tinggi potensi untuk disebarkan.
  3. Algoritma media sosial: Platform cenderung mempromosikan konten yang mendorong interaksi tinggi, bukan yang akurat.

Viralitas menjadi lebih penting daripada validitas. Dan inilah salah satu krisis besar era informasi saat ini.

Antara Satir, Ekspresi, dan Etika

Tidak semua konten yang fiktif bermaksud jahat. Humor politik, karikatur digital, dan parodi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang sehat. Namun, di sinilah etika bermain peran. Konten fiktif yang tidak diberi label, atau sengaja disebarkan untuk mengecoh publik, berubah dari ekspresi menjadi manipulasi.

Misalnya:

  1. Meme satire tentang tokoh publik bisa menjadi alat kritik sosial.
  2. Tapi jika disertai narasi palsu dan dipublikasikan sebagai fakta, ia bisa mencederai demokrasi.

Tantangan Literasi Digital dan AI

Di sinilah pentingnya literasi digital dan literasi AI. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk:

  1. Membedakan fakta dan opini.
  2. Mengenali ciri-ciri konten yang dimanipulasi.
  3. Menelusuri sumber informasi sebelum mempercayainya.

Kita juga perlu mengenal teknologi yang digunakan untuk membuat konten palsu. Misalnya, aplikasi deepfake yang bisa membuat seseorang berkata hal yang tidak pernah ia ucapkan. Atau generator gambar yang bisa menempatkan tokoh publik dalam adegan yang tidak pernah terjadi.

Memahami Era Post-Kebenaran

Kita hidup dalam era post-truth, ketika emosi lebih dipercaya daripada fakta, dan persepsi lebih kuat daripada bukti. AI mempercepat laju dunia ini, dan media sosial menjadi kendaraan utamanya. Namun bukan berarti kita tidak bisa melawan arus.

Solusinya bukan melarang teknologi, tetapi mendidik pengguna. Masyarakat perlu paham bahwa tidak semua yang tampak nyata adalah benar, dan tidak semua yang viral patut dipercaya.

Kita butuh:

  1. Kebijakan etik dalam penggunaan AI.
  2. Platform yang bertanggung jawab terhadap konten yang disebar.
  3. Pendidikan digital yang dimulai sejak dini.

Hanya dengan kesadaran kolektif, kita bisa memastikan bahwa teknologi tidak membentuk kebenaran palsu, tetapi memperkuat realitas yang adil, terbuka, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Biodata Penulis:

Fadli Fathurrahman saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Matematika, di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia menggemari matematika, membuat animasi, dan meliput berita politik. Penulis bisa disapa di Instagram @fathurrahman.fadli

© Sepenuhnya. All rights reserved.