Limbah pertanian sering kali hanya dipandang sebagai residu tanpa nilai ekonomi, padahal jika dikelola dengan baik, limbah justru dapat menjadi sumber daya lokal yang strategis. Salah satu contoh nyata adalah limbah jagung berupa batang, klobot, dan tongkol yang jumlahnya sangat melimpah di sentra-sentra produksi jagung di Indonesia. Setiap tahun, jutaan ton limbah jagung dihasilkan dan sebagian besar tidak dimanfaatkan secara produktif. Di sisi lain, peternak sapi potong menghadapi tantangan besar dalam penyediaan pakan ternak yang terjangkau, terutama saat musim kemarau dan harga konsentrat naik drastis.
Di sini kita akan coba mengkaji keterkaitan antara dua permasalahan tersebut dengan sudut pandang ekonomi pembangunan. Melalui studi lapangan dan laporan data dari berbagai wilayah, terutama Grobogan, Jawa Tengah dan Lombok Timur, NTB, diperoleh bukti bahwa pengolahan limbah jagung menjadi pakan alternatif sangat mungkin dilakukan secara mandiri di desa. Teknik seperti fermentasi silase dan amoniasi menggunakan urea terbukti mampu meningkatkan nilai nutrisi limbah, memperpanjang daya simpan, serta meningkatkan performa sapi dengan biaya yang jauh lebih rendah.
| Sumber: Unsplash | @enginakyurt |
Dampak ekonominya cukup signifikan: biaya pakan dapat ditekan hingga 30–35%, dan produktivitas ternak meningkat hingga 0,6 kg/hari dalam pertambahan bobot. Lebih dari itu, pengolahan limbah ini juga dapat dikembangkan menjadi unit usaha mikro, memperkuat ekonomi sirkular, serta membuka peluang pengembangan koperasi peternak dan bisnis desa berbasis agroindustri.
Melalui pendekatan sederhana namun berdampak luas, pembangunan ekonomi desa bisa dimulai dari pengelolaan limbah — sebuah inovasi kecil yang mampu menciptakan dampak besar jika diorganisir secara partisipatif dan berkelanjutan.
Limbah Pertanian: Sumber Daya yang Terlupakan
Menurut data Badan Pusat Statistik (2023), Indonesia memproduksi lebih dari 18,5 juta ton jagung pada tahun 2022. Dari jumlah ini, sekitar 35% berupa limbah pertanian seperti batang, klobot, dan tongkol jagung. Jika tidak dimanfaatkan, limbah-limbah ini menumpuk di pinggir ladang dan bahkan dapat mencemari lingkungan.
Cerita dari Grobogan, Jawa Tengah
Di sebuah desa di Kabupaten Grobogan, kelompok peternak bernama Sumber Makmur mulai mencoba mengolah limbah jagung menjadi pakan fermentasi (silase). Mereka mencacah batang dan klobot jagung, lalu mencampurnya dengan dedak, molase, dan EM4. Setelah difermentasi selama 5–7 hari dalam drum tertutup, limbah itu berubah menjadi pakan sapi yang lebih lunak dan tahan lama.
Hasilnya? Biaya pakan menurun hingga 30%, dan sapi yang diberi pakan ini mengalami pertambahan bobot harian lebih tinggi dibanding sebelumnya. Tanpa harus membeli konsentrat mahal, mereka bisa menjaga produktivitas ternaknya.
Cerita dari Lombok Timur, NTB
Kisah serupa juga terjadi di Desa Sakra Timur, Lombok Timur. Peternak setempat didampingi Dinas Peternakan menerapkan teknik amoniasi, yaitu menyemprot tongkol dan klobot jagung dengan urea 4%, lalu menyimpannya selama 7–10 hari dalam kondisi tertutup.
Proses ini meningkatkan daya cerna dan kadar protein kasar, membuat limbah yang semula keras dan tidak termakan menjadi pakan yang lebih bergizi. Bahkan, pakan ini bisa disimpan hingga 3 bulan—sangat berguna saat musim kering tiba.
Menurut laporan investigasi dari The Diplomat (Maret 2025), terdapat celah besar dalam pengawasan distribusi BBM, yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara Pertamina, Kementerian BUMN, dan Badan Pengatur Hilir Migas. Selain itu, tidak adanya sistem real-time berbasis teknologi dalam pemantauan jalur distribusi memperparah keadaan. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya manusianya yang bermasalah, tetapi juga sistem yang digunakan.
Ekonomi Sirkular Ala Desa
Apa yang dilakukan peternak di Grobogan dan NTB adalah contoh nyata dari ekonomi sirkular. Mereka tidak membuang limbah, melainkan mengolahnya menjadi produk yang bisa digunakan kembali dalam sistem ekonomi desa. Dalam ekonomi sirkular, tidak ada yang benar-benar menjadi sampah—semuanya adalah potensi, tergantung bagaimana kita melihatnya.
Model seperti ini tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga:
- Mengurangi pencemaran lingkungan
- Menekan ketergantungan petani terhadap pakan impor
- Membuka peluang usaha mikro di desa
Relevansi dengan Ekonomi Pembangunan
Sebagai mahasiswa Ekonomi Pembangunan, saya belajar bahwa pembangunan tidak hanya soal angka makro seperti PDB atau inflasi, tetapi juga soal bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya mereka secara efisien. Efisiensi mikro di tingkat desa bisa berdampak besar jika diterapkan secara luas.
Model pemanfaatan limbah jagung ini bisa menjadi bagian dari pendekatan partisipatif dan berkelanjutan dalam pembangunan. Masyarakat tidak hanya menjadi objek penerima bantuan, tetapi juga menjadi aktor utama dalam menciptakan solusi.
Ini sejalan dengan pendekatan pembangunan menurut Todaro & Smith, yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan pembangunan berbasis kebutuhan lokal.
Tantangan Tetap Ada, Tapi Bukan Penghalang
Meski terlihat menjanjikan, penerapan teknologi ini tentu tidak bebas hambatan. Beberapa kendala umum yang dihadapi masyarakat antara lain:
- Kurangnya pengetahuan teknis
- Keterbatasan alat pencacah atau drum fermentasi
- Stigma terhadap pakan berbasis limbah yang dianggap “jelek”
Namun, tantangan ini bukan alasan untuk mundur. Dengan pelatihan, pendampingan, dan dukungan dari pemerintah atau kampus, desa-desa bisa mulai membangun sistem sendiri. Teknologi tepat guna, seperti alat pencacah sederhana atau starter fermentasi lokal, dapat menjadi jembatan solusi.
Saatnya Berpikir Lokal dan Bertindak Nyata
Inovasi tidak selalu datang dari laboratorium atau startup teknologi tinggi. Inovasi bisa datang dari sudut desa, dari tongkol jagung yang dulu dibuang, dari peternak yang mau belajar, dan dari anak muda yang peduli akan potensi daerahnya.
Sebagai mahasiswa yang juga tertarik pada dunia bisnis dan media, saya percaya bahwa narasi seperti ini layak disebarluaskan. Bukan hanya untuk menginspirasi, tapi juga untuk membangun kesadaran bahwa kekuatan ekonomi Indonesia ada di desa-desa yang berani bergerak.
Biodata Penulis:
Alauddin Nafiul Haris, lahir pada tanggal 23 November 2005 di Jayapura, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia memiliki hobi lari, berenang, dan main game. Alauddin terlibat dalam Organisasi Eksternal KAMMI UNS sebagai anggota Media Branding (2024). Penulis bisa disapa di Instagram @aldn_ris