“Jenius”, merupakan suatu kata yang mungkin terlihat biasa saja namun makna dan dampaknya lebih besar dari yang kita kira. Jenius bisa dimaknai sebagai orang yang memiliki inovasi yang terlihat luar biasa ataupun seseorang yang memiliki kemampuan intelektual luar biasa jauh di atas rata-rata manusia. Namun apakah orang yang disebut jenius ini hanya perlu jenius saja tanpa melakukan tindakan untuk mencoba dan berkarya? Inilah akar permasalahan yang akan dibahas, yaitu dampak dari kata jenius.
Sering kali kita kita menemui fenomena seseorang terlalu mudah menyebut orang lain sebagai jenius. Saat ada teman yang nilainya selalu sempurna, atau seseorang yang bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa, dia spontan berkata, "Wah, kamu emang jenius." Namun secara tidak langsung, ucapan itu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi mengagumi, di sisi lain menyudutkan diri sendiri. Seolah-olah keberhasilan itu hanya milik orang yang "dilahirkan jenius".
Fenomena ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba. Salah satu faktornya ada dari budaya populer yang terus-menerus menampilkan kisah sukses yang seolah instan. Kita diberi cerita-cerita seseorang sukses secara tiba-tiba tanpa membahas bagaimana mereka jatuh bangun sebelumnya. Proses perjuangannya sering disensor, atau bahkan sengaja dihilangkan, seolah itu tidak penting. Inilah yang membuat mental malas belajar makin membesar dikalangan anak muda. Karena kita lebih sering diperlihatkan hasil, bukan proses untuk mendapatkan hasil tersebut. Lebih sering dipuji saat berhasil, bukan saat berjuang.
Dari sinilah muncul masalah yang lebih dalam. Kata "jenius" justru sering dijadikan alasan untuk berhenti berusaha. Mereka menyebut orang lain jenius karena dirinya sendiri malas belajar, malas meningkatkan kemampuan. Banyak orang mulai berpikir ‘aku tidak sejenius dia, wajar kalau aku tidak bisa’. Padahal banyak dari mereka yang kita anggap jenius itu, sebenarnya bukan cuma mengandalkan kejeniusannya, tapi juga kerja keras yang tidak kita lihat. Mereka belajar di saat orang lain tidak belajar, gagal berkali-kali sebelum akhirnya berhasil, dan terus mencoba meskipun hasilnya belum tentu langsung terlihat.
Mirisnya, di Indonesia, hal yang sebenarnya biasa seperti belajar justru sering dianggap luar biasa. Terlihat rajin sedikit, langsung dipuji seolah sedang melakukan hal heroik. Padahal, bukankah belajar itu seharusnya jadi hal yang wajar? Lebih dari itu, mayoritas masyarakat kita adalah muslim, yang sejak kecil diajarkan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Tapi anehnya, belajar sering diremehkan dalam kehidupan sehari-hari.
Belajar bukan cuma soal sekolah atau nilai. Belajar adalah fondasi dasar untuk bisa berkembang, berpikir kritis, dan menghadapi zaman yang terus berubah. Kalau kita tidak mau belajar, kita cuma akan jadi pengikut. Bahkan hanya akan menjadi ‘budak zaman’ yang selalu tertinggal, selalu mengekor, dan hanya tahu banyak tetapi tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi.
Selanjutnya kita akan membahas sesuatu yang jarang disadari banyak orang, yaitu bagaimana cara kita memandang kemampuan diri sendiri untuk bisa menentukan apakah kita termasuk orang yang berkembang atau tidak. Ini bukan hanya soal malas atau rajin. Ini soal mindset cara berpikir kita tentang belajar, tentang gagal, dan tentang bisa atau tidaknya kita berkembang.
Konsep ini diperkenalkan oleh Carol Dweck, seorang psikolog dari Stanford University. Dalam penelitiannya selama puluhan tahun, Dweck menemukan bahwa ada dua pola pikir yang dimiliki manusia yaitu fixed mindset dan growth mindset. Dua kata yang kelihatannya sederhana, tapi efeknya bisa mengubah hidup.
Orang dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan mereka itu tetap. Kalau pintar artinya memang pintar dari lahir, kalau tidak artinya memang tidak berbakat. Mereka melihat kegagalan sebagai bukti bahwa mereka tidak cukup baik, bukan sebagai bagian dari proses. Orang-orang seperti ini cenderung menghindari tantangan, takut melakukan kesalahan, dan akhirnya tidak ingin mencoba meningkatkan kemampuan. Karena bagi mereka, kegagalan itu aib dan usaha itu bukti bahwa mereka tidak mampu.
Sebaliknya, orang dengan growth mindset memiliki cara pandang yang lebih fleksibel dan membebaskan. Mereka percaya bahwa kemampuan itu bisa dikembangkan dan kegagalan bukanlah tanda ketidakmampuan, melainkan kesempatan untuk belajar dan bertumbuh. Bagi mereka, tantangan itu menarik. Kritik itu bahan bakar. Dan usaha? Itu adalah jalan yang wajar menuju kemajuan.
Perbedaannya jelas antara fixed mindset yang membuat kita mudah menyerah dan growth mindset yang membuat kita tahan banting. Fixed mindset membuat kita membatasi diri dan growth mindset mendorong kita terus mencoba hal baru. Dan yang paling penting growth mindset memberi kita izin untuk gagal tanpa merasa gagal sebagai manusia.
Jadi kalau hari ini merasa belum pintar, belum bisa, atau masih jatuh-bangun belajar sesuatu, bukan berarti kita tidak berbakat. Mungkin kita hanya perlu berpikir sejenak dan mengganti cara pandang yang baru. Jangan terburu-buru menghakimi bahwa kita tidak mampu. Karena semua orang yang jenius hari ini, dulunya juga pernah bodoh dan bingung. Bedanya, mereka tidak berhenti mencoba. Mereka bangun dari kegagalan sebanyak mereka gagal, dan itu semua dimulai dari mindset.
Kebanyakan dari kita, entah sadar atau tidak, sering memuji orang dengan kata-kata seperti “Kamu emang pintar banget sih!” atau “kamu mah jenius.”. Kedengarannya baik, tetapi pujian seperti itu bisa membuat seseorang terjebak dalam fixed mindset. Mereka menjadi merasa harus selalu terlihat pintar. Tidak boleh gagal. Tidak boleh salah. Ujung-ujungnya? Takut mencoba hal baru karena takut kehilangan label "pintar". Sebaliknya, coba ganti pujian itu. Katakan, “Aku suka bagaimana kamu benar-benar serius mengerjakan ini.” Fokus ke prosesnya. Karena di situlah esensi pertumbuhan terjadi.
Dari paparan yang sudah disampaikan diatas, bisa disimpulkan bahwa cara pandang kita terhadap belajar sangat menentukan apakah kita akan berkembang atau tidak. Fixed mindset membuat kita mudah menyerah, takut gagal, dan merasa kemampuan itu bawaan lahir. Sementara growth mindset mengajarkan bahwa kemampuan bisa dilatih, dikembangkan, dan mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses. Sayangnya, kita hidup di budaya yang seringkali lebih suka memuji hasil akhir dan kecerdasan bawaan, daripada menghargai proses dan usaha.
Konsep sederhana seperti growth mindset bisa jadi alat penting buat generasi kita. Karena saat dunia makin cepat berubah, bukan siapa yang paling pintar yang bertahan tapi siapa yang paling siap untuk terus belajar. Jadi, cukup sudah menjadikan kata ‘jenius’ sebagai tameng untuk malas belajar. Mari mulai hadapi proses belajar itu dengan kepala tegak. Gagal tidak membuat kita bodoh. Dan berusaha tidak membuat kita lemah. Justru di situlah tempat kita bertumbuh.
Biodata Penulis:
Alfandi Akhmad Nugroho, lahir pada tanggal 10 Mei 2006 di Magelang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Matematika, FMIPA, di UNS. Ia memiliki ketertarikan pada dunia literasi. Alfandi juga pernah mengikuti pelatihan Sasisabu yang diselenggarakan oleh Media Guru Indonesia ketika masih sekolah.