Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pasangan di Indonesia yang memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah, yang dikenal sebagai kohabitasi. Bagi beberapa pasangan, ini dianggap cara praktis untuk melihat apakah mereka cocok sebelum menikah. Namun, praktik ini sering kali menyebabkan debat karena bertentangan dengan norma budaya dan nilai agama yang dipegang teguh di Indonesia.
Di kota besar seperti Medan, fenomena ini menjadi semakin umum. Beberapa pasangan menganggap kohabitasi sebagai cara untuk lebih mengenal satu sama lain sebelum berkomitmen untuk hidup bersama selamanya. Namun, keputusan untuk hidup bersama tanpa pernikahan juga membawa dampak yang rumit, termasuk dalam aspek sosial, hukum, dan psikologis. Jadi, apakah kohabitasi benar-benar membantu membangun hubungan yang lebih kuat, atau sebenarnya menambah masalah baru?
Di Indonesia, tinggal bersama tanpa menikah sering tidak sesuai dengan aturan sosial dan agama. Walaupun hal ini makin sering terjadi di kota besar, pasangan yang memilih jalur ini sering mendapat pandangan yang tidak baik dari orang lain. Tekanan sosial dapat membuat masalah mental seperti stres dan rasa takut, terutama untuk perempuan yang sering merasa lebih terdampak.
Dari sisi hukum, Indonesia telah membuat KUHP baru yang berbicara tentang tinggal bersama. Pasal 412 KUHP mengatakan bahwa pasangan yang tinggal bersama tanpa nikah bisa dihukum dengan penjara sampai 6 bulan atau denda paling banyak kategori II. Ini menunjukkan bahwa tinggal bersama masih dilihat sebagai hal negatif oleh hukum di Indonesia.
Di Medan, kasus Vito Sinaga dan Ivana Meylanda Saragih yang terkenal sebagai pasangan di dunia tiktoker menjadi sorotan karena mereka diduga hidup bersama tanpa menikah. Hal ini memicu perdebatan tentang norma sosial dan konsekuensi hukum bagi pasangan yang memilih kohabitasi. "Kita tidak mau kumpul kebo yang dilakukan Vito Sinaga itu dianggap biasa-biasa saja, karena ini akan menjadi persoalan bagi anak-anak generasi muda ke depannya," ungkap Ustadz Rizqi.
Tekanan Mental dan Ketidakpastian Masa Depan
Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah sering menghadapi tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar, yang dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Masyarakat masih memandang kohabitasi sebagai sesuatu yang tabu, sehingga pasangan sering mendapat pandangan negatif yang dapat berdampak pada kondisi psikologis mereka.
Selain itu, ketidakpastian dalam hubungan menjadi tantangan tersendiri. Tanpa ikatan pernikahan, salah satu pihak dapat mengakhiri hubungan kapan saja tanpa konsekuensi hukum yang jelas. Hal ini bisa menjadi sumber kecemasan, terutama bagi perempuan, yang sering kali berada dalam posisi yang lebih rentan secara sosial dan ekonomi jika hubungan berakhir.
Dari sisi uang, tinggal bersama sering dianggap lebih hemat karena pasangan bisa bagi biaya hidup. Namun, bila hubungan berakhir, masalah muncul, terutama soal bagi aset yang sudah dibeli bersama. Jika tidak ada kesepakatan hukum yang jelas, salah satu pihak bisa rugi besar.
Selain itu, jika pasangan memiliki anak tanpa pernikahan resmi, status hukum anak tersebut bisa menjadi masalah. Anak yang lahir di luar pernikahan sering mengalami kesulitan dalam pencatatan akta kelahiran, yang dapat berdampak pada hak-hak mereka di kemudian hari, seperti pendidikan dan warisan.
Perlindungan Hukum bagi Pasangan yang Hidup Bersama
Meskipun tidak ada aturan khusus yang melindungi pasangan yang tidak menikah, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko hukum. Salah satu cara adalah dengan membuat perjanjian tertulis tentang kepemilikan aset. Perjanjian ini bisa mencakup cara pembagian harta, tanggung jawab keuangan, dan hak-hak lainnya yang bisa membantu menghindari masalah di kemudian hari.
Selain itu, pemerintah perlu mengkaji regulasi yang lebih jelas terkait hak anak yang lahir dari hubungan kohabitasi. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, anak-anak ini bisa mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan hak waris. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memberikan akses yang lebih mudah bagi orang tua yang hidup dalam kohabitasi untuk mencatatkan anak mereka secara sah di catatan sipil.
Dari sisi sosial, penting untuk mendidik tentang kesiapan nikah dan aturan hukum jika tinggal bersama sebelum nikah. Banyak pasangan muda memilih tinggal bersama tanpa tahu risiko jangka panjangnya. Lewat konseling sebelum nikah dan seminar tentang hukum, pasangan bisa lebih paham sebelum memutuskan hal besar dalam hubungan mereka.
Di beberapa negara, ada regulasi yang mengatur hak-hak pasangan yang hidup bersama tanpa menikah, seperti hak atas tunjangan pasangan, hak waris, dan hak pengasuhan anak. Salah satu contohnya adalah Thailand, yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis dan memberikan hak-hak hukum yang setara bagi pasangan tersebut. Indonesia dapat mempertimbangkan pendekatan serupa dengan tetap menyesuaikan dengan norma budaya dan hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, living together bukan hanya soal kebebasan dan kenyamanan, tetapi juga keputusan yang membawa konsekuensi besar. Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi jalan pintas untuk memahami pasangan sebelum menikah, tetapi bagi yang lain, ini justru bisa menjadi jalan buntu yang berakhir dengan kekecewaan. Mungkin yang lebih penting adalah bagaimana pasangan bisa membangun hubungan yang sehat, dengan atau tanpa living together.
Penulis:
- Greace Gusmita Sirait merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
- Helena Sihotang, S.E,M.M merupakan dosen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.