Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Nama Nadiem Disebut, Etika Terseret: Dugaan Korupsi yang Merusak Dunia Pendidikan

Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang menyeret nama Nadiem Makarim menguji integritas sistem pendidikan kita.

Nadiem Makarim, mantan Mendikbudristek, disebut dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun. Kasus ini membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan, meskipun masih dalam proses klarifikasi. Ini bukan hanya masalah anggaran hal ini juga menyangkut kerusakan moral dalam pendidikan dan pekerjaan. Proses pengadaan laptop sekolah harus dilakukan dengan cara yang jelas dan akuntabel. Namun, kecurigaan disebabkan oleh perubahan sistem operasi tanpa penjelasan teknis dan teknis dan spekulasi markup harga.

Nama Nadiem Disebut, Etika Terseret
Diilustrasikan dengan chatgpt.com

Jika pelanggaran terjadi, itu bukan hanya pelanggaran hukum tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah pendidikan. Etika pejabat publik adalah kewajiban, bukan pilihan. Program pendidikan tidak boleh menjadi bisnis untuk keuntungan pribadi. Pendidikan harus dibersihkan dari tujuan yang merusak moral bangsa.

Dunia Pendidikan Digital Mengalami Krisis Etika

Digitalisasi pendidikan seharusnya menjadi tonggak penting dalam transformasi sistem pendidikan Indonesia, terutama dalam menangani tantangan yang muncul di era teknologi informasi dan komunikasi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memulai program pengadaan Chromebook sebagai bagian dari program "Digitalisasi Sekolah" untuk mendukung pembelajaran berbasis teknologi. Program ini, bagaimanapun, justru menimbulkan konflik di seluruh negeri dan menimbulkan masalah etika dalam tata kelola pendidikan. Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam proyek pengadaan perangkat teknologi dengan nilai hampir Rp9,9 triliun yang menarik perhatian publik.

Menurut Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, total Rp3,58 triliun dari dana satuan pendidikan dan Rp6,39 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK), masing-masing. Dengan angka ini, Chromebook menjadi salah satu pengadaan terbesar dalam sejarah pendidikan nasional. Dari perspektif manajemen anggaran publik, penggunaan sumber daya sebesar ini seharusnya dilakukan melalui proses evaluasi yang ketat dan transparan. Namun, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya—program tersebut diumumkan untuk dilaksanakan tanpa mempertimbangkan temuan dari analisis teknis awal yang mengusulkan penghentian pengadaan.

Perubahan yang signifikan terhadap rekomendasi awal adalah fakta yang paling menonjol dalam hal ini. Uji coba 1.000 unit Chromebook pada tahun 2019 menunjukkan bahwa perangkat ini tidak efektif digunakan di banyak tempat, terutama karena infrastruktur jaringan internet yang terbatas di wilayah terpencil. Sebenarnya, penelitian awal mengusulkan penggunaan perangkat berbasis Windows yang lebih kompatibel. Namun, dari Mei hingga Juli 2020, penelitian tersebut diubah secara tiba-tiba untuk mendukung penggunaan Chrome OS. Tidak ada penjelasan teknis yang diberikan kepada publik. Pertanyaan besar muncul sebagai akibat dari perubahan kebijakan yang tiba-tiba ini: apakah ini disebabkan oleh kepentingan lain atau kebutuhan pendidikan?

Karena pengadaan Chromebook dilakukan dengan harga yang diduga di-markup, kecurigaan semakin meningkat. Teori mark-up ini mencakup harga unit yang jauh lebih tinggi dari harga pasar, kemungkinan jumlah produk yang meningkat, dan bahkan tanda-tanda pengadaan palsu. Kejaksaan Agung menemukan bukti pemufakatan jahat (conspiracy) dalam proses penetapan spesifikasi teknis, pemilihan vendor, dan penetapan sistem operasi. Skema ini menunjukkan bahwa pengadaan dilakukan bukan untuk pelayanan publik, tetapi untuk keuntungan pribadi atau kelompok yang menyalahgunakan anggaran pendidikan.

Kejaksaan telah memeriksa 28 saksi dalam kasus ini, termasuk tiga mantan staf khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim: Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief. Selain itu, apartemen mereka telah diperiksa untuk menyita dokumen proyek dan perangkat elektronik lainnya. Bahkan, Nadiem Makarim telah diperiksa sebagai saksi selama dua belas jam pada 23 Juni 2025. Meskipun statusnya belum berubah, ia telah dikenakan pencegahan ke luar negeri selama enam bulan, yang menunjukkan bahwa investigasi masih berlangsung dan keterlibatannya sedang diperiksa secara menyeluruh.

Krisis ini menunjukkan bahwa prinsip moral dan kejujuran birokrasi pendidikan mulai tergerus. Kebijakan dan keputusan publik yang dibuat oleh pejabat negara juga memiliki etika, bukan hanya tanggung jawab individu seperti guru atau murid. Ketika kepentingan politik dan ekonomi mengambil alih pengelolaan pendidikan daripada tujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa, kepercayaan publik dan masa depan generasi penerus bangsa menjadi korban.

Membangun Ulang Etika dan Transparansi dalam Digitalisasi Pendidikan

Krisis etika yang terjadi dalam program pengadaan Chromebook merupakan bukti yang signifikan bahwa integritas sistem pendidikan nasional telah melemah. Program digitalisasi, yang seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan akses, justru berubah menjadi perdebatan yang merusak prinsip-prinsip dasar pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan teknologi pendidikan memerlukan prinsip yang kuat tentang integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Dalam situasi seperti ini, etika birokrasi seharusnya menjadi dasar utama untuk membuat dan menerapkan kebijakan pendidikan berbasis teknologi.

Ketertutupan proses pengambilan keputusan dari pemilihan sistem operasi hingga pelaksanaan pengadaan adalah masalah utama dalam kasus ini. Rekomendasi teknis awal yang menyarankan untuk mengakhiri program justru diabaikan tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem manajemen pengadaan, yang seharusnya terbuka untuk evaluasi dan pengawasan, memiliki kelemahan. Untuk mencapai hal ini, transparansi diperlukan di setiap langkah kebijakan. Ini termasuk menerapkan sistem pengawasan digital yang dapat diakses publik dan melibatkan lembaga independen dalam proses pengambilan keputusan.

Pada akhirnya, digitalisasi pendidikan harus dikembalikan pada tujuan utamanya, yakni meningkatkan kualitas pembelajaran dan pemerataan akses pendidikan. Proyek teknologi tidak boleh direduksi menjadi sekadar pengadaan perangkat keras, tetapi harus didasarkan pada kebutuhan nyata peserta didik, kesiapan infrastruktur, dan orientasi pedagogis yang tepat. Reformasi sistem digital pendidikan harus dibarengi dengan reformasi etika dan kebijakan, agar pendidikan Indonesia tidak lagi menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomi semata, melainkan menjadi instrumen pemajuan peradaban bangsa.

Adanya dugaan korupsi dalam program pengadaan Chromebook sebagai bagian dari digitalisasi pendidikan menunjukkan perubahan nilai dalam manajemen sektor pendidikan Indonesia. Karena tidak transparan, tidak akuntabel, dan mengabaikan hasil kajian teknis yang seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan, program yang dimaksudkan untuk mendukung kemajuan pembelajaran berbasis teknologi justru menjadi perhatian. Situasi ini menunjukkan bahwa masalah utama dalam birokrasi pendidikan tidak hanya terletak pada hal-hal administratif dan teknis; mereka lebih mendasar dan berfokus pada krisis integritas dan etika. Jika prinsip-prinsip pendidikan seperti kejujuran, tanggung jawab, dan pelayanan publik diabaikan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan akan merosot.

Selvia Arfani Sinaga

Penulis:

  1. Selvia Arfani Sinaga merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  2. Helena Sihotang, S.E., M.M. merupakan dosen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.