Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ilir (Karya Suripan Sadi Hutomo)

Puisi “Ilir” karya Suripan Sadi Hutomo bercerita tentang seseorang yang mencoba menyejukkan diri (“dak-ilir cekben adhem”) — entah secara fisik ...
Ilir

dak-ilir cekben adhem
sega sakpulukan pawehe juru silem
pancen kamingaya wong nduwe negara
arep mangan nunggu cipratane rasa rumangsa
lan nek sesuk ora ana upa
ilire mung kanggo ngobong dupa

Sumber:  Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)

Analisis Puisi:

Puisi pendek berjudul “Ilir” karya Suripan Sadi Hutomo tampak sederhana dalam bentuk dan panjangnya, namun menyimpan kedalaman makna sosial yang getir dan tajam. Suripan dikenal sebagai penyair Jawa yang piawai menyampaikan kritik dengan gaya puitik yang halus namun menghantam. Melalui larik-larik pendek ini, ia menyampaikan realitas ketimpangan sosial dengan bahasa yang penuh ironi dan simbolisme.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah ketimpangan sosial dan penderitaan rakyat kecil dalam sistem kekuasaan yang timpang. Puisi ini mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi masyarakat yang hidup dalam kelaparan, keterbatasan, dan penantian atas sisa-sisa kemewahan mereka yang berkuasa.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mencoba menyejukkan diri (“dak-ilir cekben adhem”) — entah secara fisik atau emosional — tetapi hidupnya sangat kekurangan. Ia hanya memiliki sega sakpulukan, atau nasi sekepalan tangan, pemberian dari “juru silem” (mungkin secara literal berarti orang yang bertugas menyajikan, tapi bisa juga simbolik untuk penguasa atau elite pemberi sedekah).

Sementara itu, mereka yang "nduwe negara" — para pemilik kuasa atau elite — hidup dengan kemewahan dan berlimpah, sedangkan rakyat kecil “arep mangan nunggu cipratane rasa rumangsa”. Sebuah frasa penuh ironi yang menyatakan bahwa rakyat harus menunggu cipratan perasaan belas kasihan untuk sekadar bisa makan.

Lebih menyedihkan, jika besok tidak ada makanan (“nek sesuk ora ana upa”), maka angin yang semula ingin digunakan untuk mendinginkan tubuh (ilir) justru akan digunakan hanya untuk membakar dupa — sebuah metafora kematian, doa, atau penyerahan nasib kepada hal spiritual karena kebutuhan jasmani tak lagi terpenuhi.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini sangat dalam: kesenjangan antara rakyat kecil dan penguasa bukan hanya pada level ekonomi, tetapi juga martabat dan keberdayaan. Mereka yang berkuasa tampak hidup dalam “rasa rumangsa” — merasa tinggi, merasa berjasa, tapi rakyatnya hanya menikmati percikan rasa itu, bukan hak hidup yang sesungguhnya.

Selain itu, puisi ini menunjukkan bagaimana kehidupan rakyat kecil terpaksa dijalani dalam pasrah, ironis, dan tragis, di mana bahkan udara (ilir) pun tak bisa lagi memberikan kesejukan, melainkan digunakan untuk membakar dupa, sebagai simbol pengharapan yang nyaris putus.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah getir, panas, dan menyedihkan, meskipun dibalut dengan ironi. Ada rasa kepasrahan yang sunyi dan pedih, yang mengendap di antara larik-larik pendek, seperti napas seseorang yang lelah dan tidak lagi berharap banyak.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan dari puisi ini antara lain:
  • Kritik terhadap ketimpangan kekuasaan: bahwa negara ini dimiliki oleh segelintir orang yang merasa paling berhak, sedangkan rakyat hanya menjadi objek penderita.
  • Sindiran terhadap kemunafikan para penguasa: yang merasa dermawan dan bermoral, padahal rakyat hanya mendapat “cipratan rasa”.
  • Kesadaran sosial yang tajam: bahwa realitas hidup rakyat kecil begitu getir dan tidak bisa ditutupi dengan simbol-simbol spiritual semu.

Imaji

Puisi ini memunculkan imaji yang kuat dan kontras:
  • “dak-ilir cekben adhem” → Imaji fisik yang sederhana namun penuh harap; seseorang ingin merasakan sejuknya angin.
  • “sega sakpulukan” → Imaji kemiskinan ekstrem, hanya ada sekepalan nasi.
  • “cipratane rasa rumangsa” → Imaji abstrak namun menyakitkan: rakyat makan dari percikan belas kasihan orang berkuasa.
  • “ilir mung kanggo ngobong dupa” → Imaji spiritual sekaligus tragis, angin digunakan untuk membakar dupa karena tidak ada yang bisa dimasak.

Majas

Beberapa majas penting dalam puisi ini:

Metafora:
  • “ilir” sebagai simbol angin penyejuk, juga bisa dimaknai sebagai harapan atau penghibur — tetapi pada akhirnya digunakan untuk “ngobong dupa”, mengubah fungsinya secara ironis.
  • “cipratane rasa rumangsa” adalah metafora sindiran terhadap belas kasihan yang semu dari mereka yang merasa diri pemilik negara.
Ironi:
  • Seluruh puisi ini dibalut dalam ironi sosial: sesuatu yang semestinya menghidupkan malah justru digunakan dalam konteks kematian atau kekosongan harapan.
Eufemisme:
  • Kata-kata seperti “juru silem” dan “ngobong dupa” digunakan secara halus untuk merujuk pada figur penguasa dan simbol kematian atau kesia-siaan.
Puisi “Ilir” karya Suripan Sadi Hutomo adalah seruan sunyi dari pinggiran, suara mereka yang terabaikan dalam gegap gempita narasi kemajuan dan kebesaran negara. Dengan gaya bahasa sederhana namun menyayat, puisi ini membuka mata pembaca terhadap realitas yang kerap ditutup-tutupi oleh wacana pembangunan dan moral palsu.

Dengan tema ketimpangan sosial, makna tersirat yang tajam, serta imaji dan majas yang kuat dan penuh sindiran, puisi ini menjadi pengingat bahwa angin yang semestinya menyejukkan bisa saja berubah menjadi api kematian bagi mereka yang tidak pernah diajak duduk bersama di meja kehidupan.

Puisi Ilir
Puisi: Ilir
Karya: Suripan Sadi Hutomo

Biodata Suripan Sadi Hutomo:
  • Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
  • Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.