Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pantun Jangan Disesal pada Tudung (Karya Marah Roesli)

Puisi “Pantun Jangan Disesal pada Tudung” karya Marah Roesli bercerita tentang realitas kehidupan yang sering tak sejalan dengan harapan manusia.
Pantun Jangan Disesal pada Tudung
(Pantun Samsulbahri)

Jangan disesal pada tudung,
tudung saji teredak Bantan.
Jangan disesal kepada untung,
sudah nasib permintaan badan.

Ke rimba berburu kera,
dapatlah anak kambing jantan.
Sudah nasib apakan daya,
demikian sudah permintaan badan.

Sudah begitu tarah papan,
bersudut empat persegi.
Sudah begitu permintaan badan,
sudah tersurat pada dahi.

Dikerat rotan belah tiga,
Nakoda belayar dekat Jawa.
Jangan diturut hati yang luka,
binasa badan dengan nyawa.

Analisis Puisi:

Puisi berjudul "Pantun Jangan Disesal pada Tudung" karya Marah Roesli, seorang pelopor sastra modern Indonesia, menawarkan renungan dalam bentuk pantun lama yang sarat nasihat dan kebijaksanaan hidup. Melalui empat bait pantun yang tampaknya sederhana, Marah Roesli menyingkap pemikiran mendalam tentang penerimaan nasib, kendali diri, dan bahaya larut dalam luka hati. Pantun ini tidak hanya menjunjung nilai-nilai tradisional, tetapi juga menghadirkan pesan moral yang tetap relevan di zaman modern.

Tema

Tema utama dari pantun ini adalah kepasrahan terhadap takdir dan perlunya kebijaksanaan dalam menerima hidup apa adanya. Puisi ini mengajarkan bahwa nasib tak bisa selalu dikendalikan, dan manusia harus berlapang dada dalam menyikapi hasil dari segala upaya.

Pantun ini bercerita tentang realitas kehidupan yang sering tak sejalan dengan harapan manusia. Dalam bentuk nasihat, puisi ini menggambarkan bagaimana seseorang tidak boleh menyesali keadaan, karena apa yang terjadi sudah merupakan "permintaan badan" — istilah klasik yang berarti pilihan dan keputusan yang dibuat dengan kehendak sendiri, meski hasilnya tidak sesuai harapan.

Secara implisit, penyair menyampaikan bahwa segala akibat harus diterima dengan sikap dewasa, karena bisa jadi itu sudah "tersurat di dahi", atau takdir yang sudah ditetapkan sejak awal.

Makna Tersirat

Di balik bait-baitnya yang tampak sederhana, terdapat makna tersirat yang dalam:
  • Kita harus belajar mengendalikan harapan — jangan menyesali hasil dari tindakan yang sebelumnya dilakukan dengan kesadaran.
  • Nasib bukan untuk ditangisi, tetapi untuk dimaknai — karena ia adalah bagian dari jalan hidup yang dipilih atau tidak bisa dihindari.
  • Emosi yang tidak terkendali, seperti mengikuti "hati yang luka", hanya membawa kerusakan lebih jauh, bahkan sampai "binasa badan dengan nyawa".
Dengan kata lain, pantun ini mengandung ajaran stoik yang halus: menerima yang tak bisa diubah, dan bertanggung jawab atas tindakan sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam pantun ini terasa tenang dan penuh perenungan, dengan nada kebijaksanaan khas sastra lama Melayu. Tidak ada emosi meledak-ledak, namun justru menyuguhkan ketenangan hati dalam menerima realitas hidup. Nuansa ini dikuatkan oleh rima dan irama khas pantun yang mengalun tenang.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat penting dari pantun ini antara lain:
  • Jangan menyalahkan nasib atas apa yang sudah menjadi pilihan sendiri.
  • Hindari mengikuti dorongan hati yang diliputi amarah atau luka, karena bisa menghancurkan diri sendiri.
  • Terimalah kehidupan sebagaimana adanya, dan tetaplah bersikap bijak dalam menghadapi kesulitan.
Pesan ini relevan dalam berbagai konteks kehidupan modern — dari urusan percintaan, pekerjaan, hingga keputusan-keputusan besar dalam hidup.

Imaji

Meskipun berbentuk pantun yang singkat, puisi ini mengandung imaji visual yang kuat, antara lain:
  • “Tudung saji teredak Bantan” – menghadirkan gambaran lokal yang konkret, memberi sentuhan tradisional.
  • “Berburu kera, dapat kambing jantan” – menciptakan bayangan bahwa harapan dan hasil kadang berbeda jauh.
  • “Tarah papan, bersudut empat persegi” – imaji simbolis tentang ketetapan atau kepastian, karena papan yang sudah dipotong tak bisa diubah.
  • “Dikerat rotan belah tiga” dan “Nakoda berlayar dekat Jawa” – menghadirkan bayangan tentang persiapan dan perjalanan, sebagai metafora hidup.

Majas

Pantun ini kaya akan majas, seperti:

Metafora:
  • “Sudah tersurat pada dahi” adalah metafora klasik yang menyimbolkan takdir yang telah ditentukan.
  • “Permintaan badan” menggambarkan kehendak atau pilihan pribadi, bukan permintaan secara harfiah.
Personifikasi:
  • “Hati yang luka” diberi sifat manusiawi, sebagai subjek yang bisa membawa kebinasaan jika diikuti.
Peribahasa & Kiasan:
  • Banyak ungkapan dalam pantun ini merupakan ungkapan kiasan khas Melayu, misalnya: “binasa badan dengan nyawa” yang berarti kehancuran total.
Paralelisme:
  • Pola dan pengulangan dalam struktur baris ke-3 dan ke-4 tiap bait memperkuat pesan yang disampaikan.
Puisi “Pantun Jangan Disesal pada Tudung” karya Marah Roesli adalah karya klasik yang mengajarkan ketabahan, tanggung jawab atas pilihan hidup, dan bahaya mengikuti luka hati. Dengan gaya pantun Melayu yang indah dan berakar dalam tradisi, puisi ini berhasil menyampaikan nilai-nilai moral dalam kemasan sastra yang santun dan simbolis.

Di balik keindahan irama pantunnya, puisi ini mengajak kita untuk lebih bijak menatap kehidupan: bahwa apa yang sudah menjadi nasib, bukan untuk disesali, tetapi untuk diterima dan dijalani dengan tegar. Pantun ini adalah refleksi tentang hidup, pilihan, dan kekuatan hati.

Puisi: Pantun Jangan Disesal pada Tudung
Puisi: Pantun Jangan Disesal pada Tudung
Karya: Marah Roesli

Biodata Marah Roesli:
  • Marah Roesli (dieja Marah Rusli) lahir di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 7 Agustus 1889.
  • Marah Roesli meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 17 Januari 1968 (pada usia 78 tahun).
  • Marah Roesli adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
  • Pantun di atas merupakan bagian dari buku Sitti Nurbaya (1920).
© Sepenuhnya. All rights reserved.