Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg (Karya Zeffry J. Alkatiri)

Puisi "Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg" bercerita tentang perjalanan hidup seorang pemuda yatim bernama Reinier dari Middelburg, Belanda.
Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg

Aku ikut!
Teriak seorang pemuda yatim
Kepada kapten kapal yang akan bertolak
Dari Middelburg ke Hindia

Akan kuhitung jarak
Langkah
Bintang
Akan kuhitung segala di mata
Dan akan kucatat semua di kepala.
Baik, kata sang kapten
Kini kau hitung berapa banyak
Papan kayu kapal ini

Sambil mengepel lantai palka
Reinier muda mulai menghitung dan menulis.
Delapan ribu papan besar
Dan empat ribu lembar papan ukuran sedang
Lapornya, saat kapal merapat
di Nieuw Amsterdam
Lalu Reinier menghitung dan mencatat
Jarak langkahnya menuju tangga Stadhuis
Tidak lebih dua belas tahun
Katanya, dalam hati.

Reinier menukar bedil dengan pena bulu.
Ia menghitung dan mencatat:
Ribuan orang Cina menggelepar di jalan
dan di sungai
Panjang pantai utara Pulau Jawa
Ribuan pohon pala Pulau Banda
Reinier akhirnya menjadi kruidenier
Yang mencatat secara akurat:
Luas tanah, ratusan budak, emas-perak,
vila mewah, dan hutang piutang miliknya
ke dalam daghregister.

Reinier lelah,
Seakan semua telah ditulis
Rhematik keburu memilin pergelangannya
Padahal, ia belum sempat melaporkan
dan tak akan berani melaporkan
Kepada para Heeren
Banyaknya tikus berpesta setiap hari
Di Graanpakhuizen milik mereka.

1999

Analisis Puisi:

Puisi "Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg" karya Zeffry J. Alkatiri merupakan karya sastra yang penuh sindiran halus, kritik sosial, dan ironi sejarah. Dalam balutan gaya naratif yang kuat, puisi ini menggambarkan kehidupan seorang tokoh fiktif atau semi-fiktif bernama Reinier, yang meniti karier dari seorang pemuda miskin di Middelburg, Belanda, hingga menjadi juru tulis di Hindia Belanda (Indonesia). Puisi ini mengungkapkan bagaimana kekuasaan kolonial dibangun di atas pencatatan, penghitungan, dan pengarsipan yang akurat, tetapi juga menyimpan kebusukan yang tak terucapkan.

Tema

Puisi ini mengangkat tema kekuasaan, kolonialisme, dan kekuatan narasi dalam pengarsipan sejarah. Reinier digambarkan sebagai sosok yang setia mencatat segala hal—dari benda mati seperti papan kayu kapal, hingga data-data perdagangan, perbudakan, dan kekayaan kolonial. Namun, catatan Reinier juga menjadi simbol bagaimana kekuasaan kolonial membentuk sejarah: mencatat apa yang menguntungkan, dan menutup mata terhadap kenyataan yang menjijikkan.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang pemuda yatim bernama Reinier dari Middelburg, Belanda. Ia memulai kariernya sebagai awak kapal menuju Hindia Belanda, dengan semangat untuk menghitung dan mencatat segala hal yang ia lihat. Kemampuannya menulis dan menghitung membuatnya dipercaya menjadi seorang juru tulis (scrivener), yang kemudian mencatat berbagai aspek kehidupan kolonial: jumlah penduduk, panjang pantai, jumlah pohon pala, hingga kekayaan pribadinya sendiri.

Namun, seiring waktu, Reinier menjadi lelah. Penyakit mulai menggerogoti tubuhnya, dan yang paling mencolok: ia menyadari bahwa ada banyak kenyataan busuk di balik kekuasaan kolonial yang tidak berani ia laporkan—salah satunya adalah “tikus-tikus” yang berpesta di lumbung milik para elite, sebuah metafora untuk korupsi, kerakusan, dan kebobrokan sistem kolonial.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kaya. Reinier bukan hanya satu tokoh, melainkan representasi dari sistem kolonial itu sendiri—yang mendokumentasikan kekayaan, kekuasaan, dan eksploitasi dengan rapi, tetapi menyingkirkan kenyataan yang memalukan dari catatan resmi.

Puisi ini menyindir bagaimana sejarah kolonial seringkali ditulis sepihak: mencatat prestasi, kekayaan, dan kebesaran kekuasaan, tetapi menutupi kejahatan seperti pembantaian, perbudakan, dan eksploitasi sumber daya. Tikus-tikus yang “berpesta setiap hari” adalah lambang kerakusan dan pembusukan moral yang tidak pernah tercatat dalam daghregister (buku catatan harian dagang VOC).

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini berubah-ubah namun terstruktur dengan cermat:
  • Pada awalnya, suasana penuh semangat dan harapan: Reinier muda ingin menjelajah dunia dan mencatat semua pengalaman barunya.
  • Di bagian tengah, muncul suasana yang penuh pekerjaan, tanggung jawab, dan kekuasaan—ia naik status sosial menjadi penulis penting.
  • Di bagian akhir, suasana menjadi gelap, lelah, dan muram—penyesalan, kelelahan fisik, dan kesadaran akan kebusukan sistem menyelimuti Reinier.
Perubahan suasana ini merefleksikan transformasi psikologis dan moral yang dialami oleh tokoh utama, sekaligus menggambarkan proses dekadensi dari sistem kolonial yang awalnya tampak megah namun berujung pada kebusukan internal.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang disampaikan puisi ini cukup tegas namun disampaikan secara halus dan sarkastik: bahwa kekuasaan yang hanya sibuk mencatat, menghitung, dan mengarsipkan tanpa keberanian untuk mengakui kesalahan dan kebusukan di dalamnya, akan menjadi sistem yang korup dan menua dalam kebusukan. Reinier—simbol sistem kolonial—akhirnya lelah dan lumpuh, bukan karena tak mampu mencatat, tetapi karena menyadari bahwa kebenaran tak bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam buku catatan resmi.

Puisi ini juga menyampaikan pesan bahwa sejarah harus ditulis secara jujur, bukan hanya mencatat angka, peta, dan kekayaan, tetapi juga penderitaan, kezaliman, dan kebobrokan moral di balik layar kekuasaan.

Imaji

Zeffry J. Alkatiri menghadirkan imaji yang sangat konkret dan penuh warna sejarah kolonial. Di antaranya:

Imaji visual:
  • “Delapan ribu papan besar dan empat ribu lembar papan ukuran sedang”
  • “Ribuan orang Cina menggelepar di jalan dan di sungai”
  • “Vila mewah, emas-perak, dan budak”
Imaji kinestetik dan auditif:
  • “Sambil mengepel lantai palka”
  • “Teriak seorang pemuda yatim”
Imaji ini tidak hanya menggambarkan keadaan fisik, tetapi juga membentuk gambaran konkret tentang bagaimana kerja keras dan sistem kolonial berlangsung secara sistematis.

Majas

Beberapa majas penting yang mewarnai puisi ini meliputi:

Metafora:
  • “Menukar bedil dengan pena bulu” – menggambarkan peralihan dari kekerasan fisik ke kekuasaan administratif dan intelektual.
  • “Tikus berpesta setiap hari” – menggambarkan kerakusan dan kebobrokan yang tersembunyi di balik sistem kolonial.
Ironi:
  • Reinier begitu akurat mencatat semua hal, tetapi justru tidak mampu mencatat kejahatan yang paling nyata. Ini menciptakan ironi antara presisi administrasi dan kebusukan moral.
Personifikasi:
  • “Rhematik keburu memilin pergelangannya” – menggambarkan penyakit seakan-akan memiliki kehendak sendiri, memperkuat suasana lelah dan kehabisan tenaga.
Hiperbola:
  • “Ribuan orang Cina menggelepar di jalan” – digunakan untuk menekankan kekerasan yang terjadi secara masif.
Puisi "Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg" adalah puisi yang menggugah dan kritis terhadap sejarah kolonialisme. Dengan tema kekuasaan administratif yang bias dan tidak lengkap, puisi ini bercerita tentang seorang juru tulis yang awalnya penuh semangat namun akhirnya kelelahan dan tak mampu melaporkan kebusukan di sekitarnya.

Melalui makna tersirat yang tajam, suasana dalam puisi yang berubah dari penuh semangat menjadi muram, serta penggunaan imaji dan majas yang kaya, Zeffry J. Alkatiri menyampaikan amanat tentang pentingnya kejujuran dalam pencatatan sejarah. Ia mengingatkan bahwa di balik angka dan catatan yang rapi, bisa tersembunyi kisah luka, darah, dan tikus-tikus yang berpesta dalam diam.

Zeffry J. Alkatiri
Puisi: Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg
Karya: Zeffry J. Alkatiri
© Sepenuhnya. All rights reserved.