Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Saat Tata Krama Menjadi Barang Langka di Indonesia

Mari bangkitkan kembali budaya sopan santun yang mulai memudar di tengah arus modernisasi. Telusuri bagaimana tata krama membentuk jati diri bangsa ..

Indonesia adalah negeri yang dikenal luas karena keramahannya. Budaya sopan santun menjadi bagian yang melekat dalam identitas bangsa, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Setiap daerah memiliki bentuk tata krama tersendiri: menyapa orang tua dengan bahasa halus, membungkukkan badan saat melintas di hadapan orang yang lebih tua, atau mengucapkan "permisi" saat memasuki rumah orang lain. Sayangnya, nilai-nilai luhur ini tampaknya mulai tergeser, bahkan hilang, dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Transformasi teknologi, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup telah membawa dampak besar terhadap cara masyarakat Indonesia memperlakukan satu sama lain.

Saat Tata Krama Menjadi Barang Langka di Indonesia
Sumber: https://pin.it/6sHOIdYyd

Pada awalnya, tata krama bukan hanya soal formalitas, melainkan landasan moral dalam interaksi sosial. Ia mengatur bagaimana manusia saling menghargai dalam kehidupan bersama. Namun, kini kita dihadapkan pada kenyataan yang mencemaskan: masyarakat yang semakin terbuka justru menunjukkan gejala menurunnya kesantunan. Dari media sosial hingga jalan raya, dari ruang keluarga hingga kantor pemerintahan, kita menyaksikan bagaimana kata-kata kasar, sikap egois, dan perilaku tak beretika semakin sering muncul tanpa rasa bersalah.

Perubahan Sosial dan Budaya yang Mengikis Tata Krama

Perubahan sosial yang cepat sering kali tak disertai dengan kesiapan budaya untuk menghadapinya. Globalisasi membawa nilai-nilai baru yang sering kali bertabrakan dengan nilai-nilai tradisional. Ketika budaya luar yang individualistis masuk tanpa filter, masyarakat mulai menjadikan kebebasan pribadi sebagai tolok ukur perilaku, bukan lagi etika kolektif. Hal ini tampak jelas dalam interaksi sehari-hari, terutama di kota-kota besar, di mana orang terbiasa terburu-buru, jarang menyapa, dan acuh tak acuh terhadap sesama.

Peran teknologi juga signifikan dalam membentuk budaya baru yang kurang mengedepankan tata krama. Media sosial, misalnya, telah menjadi tempat di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan dampak terhadap orang lain. Anonimitas dan jarak psikologis dalam dunia digital membuat orang merasa tak perlu menjaga kata-kata.

Menurut laporan Microsoft Digital Civility Index tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-29 dari 32 negara dalam hal kesopanan digital, menandakan menurunnya kualitas etika komunikasi daring.

Tata Krama di Dunia Pendidikan dan Keluarga

Dunia pendidikan seharusnya menjadi benteng utama dalam menjaga tata krama. Namun, realitasnya justru memperlihatkan bahwa pelajaran budi pekerti hanya dijadikan pelengkap yang tidak mendapat tempat strategis dalam kurikulum. Siswa lebih sering diajarkan tentang target capaian akademik ketimbang nilai-nilai kehidupan. Guru pun, dalam banyak kasus, kehilangan wibawa untuk mendidik dengan hati karena sistem menekan mereka untuk fokus pada nilai dan prestasi semata.

Keluarga, yang sejatinya menjadi tempat pertama dan utama untuk belajar tata krama, juga mengalami degradasi fungsi. Banyak orang tua yang sibuk bekerja hingga tidak sempat membangun komunikasi yang berkualitas dengan anak-anak. Anak-anak akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar gawai dibanding mendengarkan nasihat orang tua.

Berdasarkan survei UNICEF tahun 2022, 72% anak di Indonesia mengakses internet lebih dari 4 jam sehari, dan sebagian besar dari mereka tidak mendapat pendampingan langsung dari orang tua.

Tata Krama di Dunia Kerja dan Layanan Publik

Di dunia kerja, tata krama sering diabaikan atas nama profesionalisme. Komunikasi yang efisien sering kali diartikan sebagai komunikasi yang cepat dan to the point, tanpa memperhatikan etika bertutur atau penghormatan terhadap posisi. Budaya kerja yang kompetitif mendorong karyawan untuk lebih fokus pada hasil ketimbang proses, lebih mementingkan performa individu daripada kolaborasi yang harmonis. Ini semua secara tidak langsung mengikis kebiasaan untuk saling menghargai.

Dalam layanan publik, baik pemberi maupun penerima layanan tak jarang terlibat dalam interaksi yang jauh dari prinsip sopan santun. Banyak petugas yang melayani dengan nada tinggi atau ekspresi datar, sementara warga masyarakat juga tak segan melampiaskan emosi ketika tidak dilayani sesuai harapan. Hubungan antara dua pihak ini menjadi kaku, dingin, bahkan kadang agresif

Dampak Sosial dari Hilangnya Tata Krama

Hilangnya tata krama bukanlah persoalan sepele, karena ia berpotensi menghancurkan tatanan sosial secara perlahan. Ketika kesopanan hilang, maka rasa saling percaya juga akan lenyap. Hubungan antarwarga menjadi rapuh, masyarakat menjadi mudah tersulut konflik, dan kekerasan verbal maupun fisik meningkat.

Survei LSI tahun 2023 menunjukkan bahwa 61% masyarakat Indonesia merasa suasana sosial semakin intoleran dan penuh ketegangan dalam lima tahun terakhir.

Lebih jauh, lunturnya tata krama turut berdampak pada lemahnya solidaritas sosial. Ketika tata krama tidak lagi dijunjung, maka kepedulian antartetangga pun memudar. Orang tak lagi peduli siapa yang tinggal di rumah sebelah, bahkan enggan menyapa saat bertemu di depan rumah. Dalam jangka panjang, ini menciptakan komunitas-komunitas yang dingin, rapuh, dan tidak siap menghadapi bencana sosial.

Solusi dan Aksi Nyata

Mengatasi krisis tata krama memerlukan pendekatan menyeluruh, melibatkan semua unsur masyarakat: keluarga, sekolah, pemerintah, media, dan komunitas. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembalikan tata krama sebagai nilai utama dalam pendidikan. Pemerintah dapat merevisi kurikulum nasional agar pendidikan karakter tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar secara menyeluruh.

Guru perlu diberi pelatihan tentang pendidikan etika yang kontekstual, bukan hanya normatif. Mereka harus mampu menjadi teladan dalam sikap dan ucapan, serta membangun hubungan yang menghargai martabat siswa. Di rumah, orang tua juga perlu mendampingi anak dengan membangun kebiasaan sederhana seperti menyapa, mengucapkan terima kasih, dan saling meminta maaf.

Media massa dan media sosial memiliki peran besar dalam membentuk opini dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada regulasi dan kebijakan editorial yang mendorong konten-konten positif, edukatif, dan inspiratif. Algoritma media sosial perlu diatur agar tidak hanya mengedepankan konten viral, tetapi juga konten yang berkontribusi pada pembangunan nilai.

Di ruang publik dan tempat kerja, perlu ada kode etik sosial yang disosialisasikan secara luas. Perusahaan bisa mengadopsi pelatihan komunikasi empatik dan etika profesional untuk semua staf. Pelayanan publik juga harus didesain dengan pendekatan yang humanis, bukan hanya administratif.

Selain itu, komunitas lokal bisa menghidupkan kembali forum silaturahmi dan kegiatan sosial berbasis lingkungan seperti kerja bakti atau pengajian warga, yang menjadi sarana menumbuhkan kembali rasa hormat, kebersamaan, dan kepedulian. Inilah ruang-ruang sosial yang dapat menjadi titik balik lahirnya tata krama sebagai nilai hidup yang nyata.

Bangsa Indonesia yang besar bukan hanya dinilai dari kekuatan ekonominya atau kemajuan teknologinya, tetapi juga dari kualitas manusianya. Dan kualitas manusia tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan, melainkan oleh kemampuan untuk bersikap santun, hormat, dan manusiawi. Tata krama bukanlah warisan kuno yang usang, tetapi jantung dari kebudayaan dan kemanusiaan.

Kita semua memiliki peran untuk menghidupkan kembali tata krama dalam kehidupan sehari-hari. Ia dimulai dari hal-hal kecil: senyum, sapaan, permintaan maaf, dan ucapan terima kasih. Dari rumah ke sekolah, dari kantor ke ruang digital, mari kita hadirkan kembali sopan santun sebagai roh kehidupan berbangsa. Karena tanpa tata krama, kita akan hidup dalam kebisingan tanpa makna; bersama tata krama, kita membangun masyarakat yang damai, bersatu, dan bermartabat.

Desy Astriani Saragih

Penulis:

  1. Desy Astriani Saragih merupakan mahasiswa, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  2. Helena Sihotang, S.E., M.M merupakan dosen tetap, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Prodi Manajemen, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.